Dijodohkan

1362 Kata
Tubuhku tersentak kaget, dia menggebrak meja dengan sangat keras. Aku yakin, semua karyawan pasti mendengarnya. "Kamu gak pantas menerima predikat karyawan terbaik, buang saja semua penghargaan karyawan terbaik yang kamu punya. Sepertinya, ayah saya salah memilih orang seperti kamu menjadi karyawan terbaik di perusahaan. Keluar!" teriaknya. Tanpa kusadari, aku tengah menangis. Bahkan tidak mengeluarkan isak tangis, tetapi air mataku terus berderai menganak sungai. Tubuhku lemas, rasanya seluruh tulang di dalam tubuhku telah patah dalam waktu yang bersamaan. Aku membalikkan badan, mencoba sekuat tenaga untuk tetap berjalan tegak. Langkahku gontai, rasanya tubuhku begitu berat, tak mampu kuseret kaki sedikit pun. Rasanya gagang pintu itu begitu jauh untuk ku raih, berjalan pun terasa begitu jauh sekali. Hingga sampailah di depan pintu, aku berhasil memegang gagang pintu. Rasanya tubuhku akan segera limbung. "Ehem, kamu saya beri satu kesempatan. Besok, kamu masih bisa bekerja di sini." BLAM~ Aku menutup pintu dengan sisa tenaga yang kumiliki, tubuhku merosot seketika di depan pintu. Mentari dan beberapa karyawan lain mendekatiku, tubuhku terasa sangat lemas, lalu pandanganku gelap seketika. *** "Ras, Larasati, bangun!" teriak suara seseorang di sampingku, suaranya terdengar sangat familiar di telingaku. Ah, kepalaku terasa pusing sekali. Aku mencoba membuka mata perlahan, terlihat tubuh seseorang, seorang wanita dengan rambut pendek sebahu. Pandanganku masih kabur. "Ras, udah siuman?" tanyanya ketika aku memegangi kepalaku. Dia Mentari, mataku memutar melihat sekeliling, aku tengah berada di sebuah ruangan berbau antiseptik dan obat-obatan. Ada kotak p3k di dinding, tirai dan kasur pasien tempatku berbaring. Sepertinya, aku berada di UKS kantor. Padahal, aku berharap berada di rumah saja. "Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Mentari lagi, kini raut wajahnya terlihat begitu cemas. Aku mencoba menahan tawa, tetapi tidak bisa. Tawaku perlahan mulai menggema di dalam ruangan, sampai perutku terasa sakit. Mentari kebingungan melihatku tertawa, dia meringsut mundur, wajahnya kini terlihat pucat, dan panik. "Ras, kamu kenapa? Kamu kesurupan? Jangan buat aku takut," katanya lagi yang semakin membuatku terpingkal, ah, rahangku sudah sakit karena terus menerus tertawa. "Hahaha, aduh sakit." Aku memegangi perut dan rahangku bergantian, dia mulai kembali mendekatiku. "Kamu kesurupan?" tanyanya. Sungguh, aku ingin tertawa kembali, tetapi rahang dan perutku sudah sakit sekali. Aku mengatur napas, mencoba menahan tawa. Dia duduk di kursi sebelah ranjangku, wajahnya masih menyiratkan kebingungan dan kecemasan. "Heh, elu yang kenape? Elu kesurupan ape?" tanyaku dengan nada khas betawi. "Maksud?" tanyanya kebingungan, halisnya bertaut dengan kening yang berkerut. "Kesambet di mana lu? Sejak kapan lu sebut gue dengan bahasa kamu? hahaha, bikin gue sakit perut aja lu." Aku mengusap air mataku yang turun dari sudut mata karena kebanyakan tertawa. Bibirnya cemberut, dia bangkit berdiri dan memukul lenganku terus menerus. "Aduh, gila lu ya. Sakit dih, gue bisa pingsan lagi, nih, gara-gara lu tabokin mulu." Hiks~ Eh, dia menangis? Barusan telingaku mendengar suara isak tangis, aku mendundukkan kepala, melihat ke wajahnya yang menunduk tertutupi rambut pendeknya. "Tar, Tari!" panggilku sedikit meninggikan suara, mencoba menatap wajahnya. Dia mengibaskan tanganku yang berada di kedua lenganya, kemudian dia menyeka air matanya. Duh, kenapa anak ini? Apakah dia benar-benar kesurupan? Aku mengusap tengkukku. "Gimana sih, bisa-bisanya ketawa di atas kekhawatiran orang." Dia mengusap pipinya, kembali duduk di kursi. "Tar, lu beneran gak kesurupan kan?" tanyaku, kini aku yang mulai khawatir padanya. Dia kembali memukul lenganku, "Elu yang kesurupan gila, ketawa tiba-tiba, bikin orang takut." Aku menghela napas lega, dia benar-benar Mentrari. Temanku, sahabatku yang kukenal. "Lagian, tiba-tiba lu nyebut kamu. 'Kan gue jadi ketawa, lucu aja lu tiba-tiba jadi bidadari." "Ya, ampun Ras. Lu kagak lihat apa gue beneran panik, khawatir sama lu?" "Iya, gue tahu. Makasih ya, lu beneran sahabat terbaik gue." Aku memeluk Mentari. "Udah, udah dulu pelukannya. Nih, makan." Mentari menyodorkan sekotak tempat makanan yang berisi sepotong ayam bakar, daun selada, prekedel kentang, sambal, nasi, kerupuk dan sepotong kecil buah semangka. "Lah, malah lu lihatin. Buruan makan, bentar lagi gue di suruh balik kerja." "Lah, emang belum waktunya pulang?" Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, celingukan mencari jam dinding. "Apaan, nih, sekarang lu mimpi? Ngehalu?" Dia menyentuh keningku, "Gak panas, ah." "Ih, serius. Ini jam berapa?" "Jam dua, sayang." Aku membulatkan mata, memeluk kedua kakiku sendiri. Masih ada tiga jam lagi sebelum pulang, mau di taruh di mana wajahku ini. "Kenapa?" tanyanya. "Gue malu," "Malu kenapa?" "Malu sama karyawan lain, gue pingsan pas keluar dari ruangan bos gila itu 'kan? Pasti yang lain denger juga deh, dia ‘kan ngomongnya teriak-teriak." Aku menjambak rambutku sendiri. Mentari menatapku, dia menutup kembali kotak makan siang yang dibawakannya untuku. Memasukkannya ke dalam tas kerjaku yang berada di atas nakas, mengemasi semua barang pribadiku. "Ke mana?" tanyaku kebingungan. "Pulang," jawabnya datar. "Katanya masih jam dua," "Udah, lu pulang aja. Biar gue yang mintain lu surat izin pulang sebelum waktunya." Aku mengerucutkan bibirku, mencoba menahan haru. Aku peluk tubuhnya, "Makasih, lu beneran sahabat terbaik gue." "Yu, buruan. Gue masih ada tugas yang belum selesai, gue cuma bisa anter lu sampe depan kantor." "Gak apa-apa, makasih Tar." Aku menyeka air mataku. "Lebay dah, lu." Kami tertawa bersama, ah, sungguh dia adalah satu-satunya teman terbaik yang aku punya. *** Sudah satu minggu aku tidak masuk bekerja. Mentari membuatkanku surat izin sakit selama tiga hari, lalu surat cuti tahunan selama tujuh hari. Total selama sepuluh hari, bersemedi di dalam rumah. Seharusnya, tidak bisa seenaknya mengambil cuti dadakan. Apalagi, cuti tahunan yang jatahnya hanya 12 kali. Namun, Mentari mengurusnya dengan sangat baik. Akhirnya aku bisa mengambil cuti tahunan secara mendadak. Katanya, dia bilang kepada staff absensi bahwa sakitku berkepanjangan. Entah alasan sakit apa yang dia pakai. Tok.. Tok.. Tok.. "Ras, kita bicara, yuk." Ibu memanggilku, pasti ada obrolan serius yang akan mereka sampaikan kepadaku. Aku mengikuti ibu ke ruang keluarga. Sudah ada ayah, adik dan adik iparku di sana. Wajah mereka terlihat serius, pasti ini ada hubungannya dengan pernikahan. Ah, menyebalkan. Ayah mengulurkan telapak tangannya, mengisyaratkan padaku untuk duduk. Aku duduk menghadap ayah dan ibu, sedangkan adik dan adik iparku duduk di kursi sebelah kananku. "Kamu pasti sudah tahu 'kan, apa yang akan Ayah katakan?" Aku menundukkan kepala dan mengangguk sekali, sebagai tanda mengerti sekaligus mengiyakan perkataannya. "Sesuai kesepakatan kita, kamu akan ayah jodohkan." Aku kembali menganggukkan kepala dengan lemas, ya, kesepakatanku dengan ayah satu tahun yang lalu. Saat itu, ayah ingin menjodohkanku dengan anak dari temannya. Aku menolak, mengatakan padanya bahwa belum siap menikah. Aku masih ingin mengejar karirku yang sedang dalam masa keemasan. Kami membuat kesepakatan. Jika dalam waktu satu tahun karirku masih bagus, maka aku boleh memilih jodohku sendiri dan boleh menikah kapanku sesuai keinginanku. Namun, jika dalam setahun karirku menurun atau mendapati sebuah masalah di kantor, aku berjanji akan menuruti keinginan ayah untuk menyetujui perjodohan dan menikah dengan pilihannya. Ah, aku menyesal telah membuat kesepakatan konyol seperti itu. Ingatan ayah masih kuat, baru seminggu saja di rumah, dengan sigapnya memanfaatkan keterpurukanku. Ya, aku tak pernah absen dalam masa kerjaku. Bahkan cuti tahunan pun tidak pernah kupakai. Sebagai gantinya, aku selalu mendapat reward uang tunai yang cukup besar dari Pak Baskoro untuk cuti tahunan yang tak kuambil itu. Katanya, sebagai bentuk apresiasi atas keloyalanku terhadap perusahaan. "Kamu tepat janji, 'kan?" tanya ayah, membuyarkan lamunanku. Aku kembali menganggukkan kepala. "Oke. Besok, keluarga calon kamu akan datang. Ayah dan Bunda harap kamu bisa berkelakuan baik, Ayah harap kamu menepati janji kamu." Ayah dan ibuku berlalu begitu saja, tinggalah aku, adik dan adik iparku. Aku menatap mereka dengan tatapan sendu, menghembuskan napas berat. Mereka berdua hanya menatapku dengan senyuman, tanpa kata berlalu begitu saja. Ayu menepuk bahuku, ya, mau bagaimana lagi. Aku menjambak rambutku yang dikuncir kuda, frustasi karena tidak bisa berbuat apa-apa. *** Semua telah berkumpul di ruangan tengah bersama keluarga teman ayah, samar terdengar percakapan mereka dari ruang keluarga. "Ayo," ajak ibu menghampiriku yang sendirian di ruang keluarga. Ibu menggandeng tanganku, aku sudah rapi dengan balutan dress selutut berwarna peach. Memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku ketika beberapa meter lagi menuju sofa. DEGH~ Mataku membulat dengan sempurna, jantungku berdetak dengan kencang seolah hendak melompat dari tempatnya. "Kamu?" teriak seorang pria muda, satu-satunya pria muda dari tiga orang di hadapanku. Dua diantaranya adalah seorang wanita paruh baya yang elegan dan seorang pria paruh baya yang tak asing lagi bagiku. Aku tersungkur di lantai, orang yang akan dijodohkan denganku adalah ... CEO baruku yang galak. Seketika pandanganku menjadi gelap, aku tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN