Karier

1387 Kata
Ucapan Mentari terputus, ia tidak jadi berucap karena bos baru yang tengah kami bicarakan itu keluar dari dalam ruangannya. Matanya tajam menatap ke sembarang arah, mencari sesuatu. "Mana yang namanya Larasati?" teriaknya menggema di ruangan. Aku mengangkat telapak tangan kananku, "Saya, Pak." Bos baru itu melambaikan tangan, tanda isyarat agar aku menghampiri ke tempatnya berdiri. "Masuk," katanya setelah aku sampai beberapa meter di hadapannya. Aku masuk ke dalam ruangan yang semula adalah ruangan bos lamaku, Pak Baskoro. Ruangan ini masih tetap sama. Namun, terlihat sedikit berantakan dengan berkas-berkas dan map-map yang berserakan. "A-Ada apa, Pak?" tanyaku gugup. "Kamu Larasati? Karyawan terbaik di kantor ini?" tanyanya dengan nada sedikit sinis. "I-Iya," "Tolong bereskan semua berkas dan map yang berserakan itu, saya gak mau tahu, harus rapi seperti semula." Tunjuknya pada semua kertas yang berserakan di lantai. Aku patuhi perintahnya, tak ingin kinerjaku di nilai jelek olehnya. "Sudah selesai, Pak." Aku ulurkan tangan dengan semua berkas yang telah tersusun rapi. "Kamu cek, tanda tangani, lalu kembalikan lagi kepada saya secepatnya." "Tapi, Pak. Ini semua sudah saya tanda tangani, tinggal di setujui atau tidaknya oleh Bapak. Dan, ada beberapa berkas yang perlu di tanda tangani oleh Bapak, sebagian harus di cek berulang, Pak." "Kamu pisahkan," "Maksudnya?" "Kamu pisahkan, mana yang perlu saya setujui dan mana berkas yang perlu saya tanda tangani. Mana pula berkas yang harus saya cek berulang, ayo! cepat kerjakan." Aku menganggukkan kepala dan segera berlalu keluar ruangannya, menghembuskan napas berat. "Kenapa?" tanya Mentari padaku setelah aku duduk di kursi meja kerjaku. "Berkasnya harus gue pisahin," "Sabar," katanya dengan senyum lebar, mencoba memberi semangat. Aku mulai memisahkan berkas tersebut sesuai yang di perintahkan bos baruku itu, kemudian meletakkannya dengan tiga bagian di atas meja. Di masing-masing map paling atas, aku beri tanda dengan stick note yang berbeda warna. Masing-masing bertuliskan sesuai tugas yang diminta. Stick note kuning bertuliskan minta persetujuan, stick note hijau bertuliskan tanda tangani, dan terakhir stick note berwarna pink bertuliskan cek berulang. DRRKK.. DRRKK Suara mesin printer di mejaku berbunyi, itu artinya ada berkas lain yang masuk ke komputerku. Printer di meja kerjaku terhubung dengan komputer dari meja lain, salah satunya terhubung dengan komputer bosku. Aku lihat layar komputerku, berkas tersebut dikirim dari komputer nomor lima. Aku menoleh pada meja kerja bertuliskan nomor lima, orang di meja tersebut berdiri dan melambaikan tangan ke arahku. "Tolong cek ya," teriaknya, aku menganggukkan kepala. Printer sudah berhenti, total kertas yang keluar dari printer sebanyak sepuluh lembar. Aku ketuk-ketukkan kertas itu ke atas meja agar tersusun rapi, lalu mulai membacanya satu persatu. "Oh, harus di tanda tanganin bos," batinku. Aku menstepler kertas itu menjadi sebuah berkas, lalu memasukkannya ke dalam map biola berwarna hijau. Gegas berlalu menuju ruangan bos kembali. Tok.. Tok.. Tok "Masuk!" teriak seseorang dari dalam ruangan. "Maaf, Pak. Ini berkas yang Bapak minta, sudah saya pisahkan. Dan, ini ada berkas baru yang perlu Bapak tanda tangani." Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali, lalu mengibaskan tangan di udara mengisyaratkan padaku untuk pergi. "Permisi, Pak." Aku pamit keluar ruangan, tetapi baru saja pintu ruangan terbuka, dia sudah kembali memanggilku. Aku kembali menghampiri mejanya. "Iya?" tanyaku. "Bawa sekalian," katanya sembari memberiku berkas baru yang beberapa saat lalu aku berikan. "Sudah di tanda tangani?" "Buang," ucapnya tegas. "Ma-Maksud Bapak?" tanyaku heran. Tanpa menjawab, dia kembali mengibaskan tangannya di udara, menyuruhku untuk pergi dari ruangan ini tanpa memberi penjelasan. Dalam kebingungan aku pun keluar dari ruangan, mendengus kesal di depan pintu ruangannya. "Ta, malah disuruh buang sama bos." Aku mengulurkan berkas itu kepada Nita, orang di meja lima yang mengirimiku berkas tersebut. "Duh, gimana dong? Ini berkas penting yang kemarin Pak Baskoro minta," ucapnya dengan wajah memprihatinkan. "Sorry, ya, gue gak tahu. Coba aja Lu sendiri deh yang kasihin, siapa tahu dia terima langsung." Nita menganggukkan kepalanya, dia segera berlalu menuju ruangan bos. Baru saja bokongku menempel pada kursi, Nita yang berada di ambang pintu kaca ruangan bos, memanggilku untuk menghampirinya. Ada apa? Bukankah dia baru saja masuk ke dalam ruangan? Lalu, kenapa memanggilku? "Kenapa?" bisikku setelah sampai di hadapannya. "Bos panggil kita berdua," Kami berdua masuk kembali ke dalam ruangan, berdiri di depan meja bos dengan jarak satu meter. Ck.. Ck.. Ck.. Bos berdecak sembari menggoyang-goyangkan kursinya, dia duduk dengan menyilangkan kaki kanan yang bertopang pada kaki kiri. Kedua tangannya bertaut di atas paha, bisa kami lihat karena dia duduk di atas kursinya yang jauh dari meja, dekat dengan jendela di belakangnya. "Kalian bodoh?" ujarnya dengan sebelah bibir yang menyungging ke atas. "Saya sudah bilang pada kamu untuk membuangnya," ucapnya menatapku. "Lalu, kenapa dia datang ke ruangan membawa berkas itu lagi?" sambungnya menatap ke arah Nita. "Itu berkas yang kemarin Pak Baskoro pinta, ‘kan?" tanyanya pada Nita. "I-Iya, Pak." jawab Nita gugup. "Berkas itu penting, kamu juga tahu. Lalu, kenapa kamu baru mengerjakannya sekarang?" "Sa-Saya baru bisa mengerjakannya, Pak." "Baru bisa mengerjakannya?" tanya bosku dengan nada yang ditekankan di setiap katanya. Nita menganggukkan kepala dengan cepat, kami sama-sama menundukkan kepala karena tidak berani menatap sorot mata bos baru yang tajam seolah menusuk kami sampai ke tulang belulang. BRAKK~ Bos menggebrak meja dengan cukup keras sampai tubuh kami berdua terlonjak kaget, sepertinya dia marah. "Kamu tahu itu berkas penting tapi baru dikerjakan sekarang, saya udah gak butuh karyawan seperti kamu." Bos mengibaskan tangan di udara. Aku dan Nita saling pandang tak mengerti. "Ma-Maksudnya?" tanya Nita dengan wajah yang sudah pucat. "Kamu saya pecat." Bos mengibaskan kembali tangannya, lalu memutar kursinya membelakangi kami. Mataku terbelalak tak percaya, memandang Nita yang mulai berurai air mata. Aku memeluknya, kami keluar ruangan bersama. Semua mata karyawan di ruangan ini menatap kami, kami seolah menjadi badut yang tengah ditonton oleh puluhan pasang mata. Tubuh Nita bergetar dalam pelukanku, dia menangis sejadinya. Aku membawa dia ke mejanya, mendudukkannya ke kursi. "Kenapa?" tanya beberapa karyawan lain, satu persatu menghampiri kami di meja Nita. Kami tak mampu berucap kata, Nita larut dalam tangisnya. Aku tidak menyangka, sifat anaknya sangat berbanding terbalik dengan ayahnya. Pak Baskoro begitu lembut, tidak pernah sekali pun memarahi kami meski ada salah. Berkas penting yang begitu sangat penting pun, tak sampai hati dia memecat karyawannya. Pak Baskoro selalu memperlakukan kami dengan baik, semua karyawannya selalu di perlakukan dengan adil. Bahkan ketika beberapa hari lalu aku mendapatkan penghargaan karyawan terbaik, kami semua di traktir makan enak di restoran mewah. Tiga puluh lima karyawan di ruangan ini, yang berada langsung di bawahnya. Hanya semua karyawan yang berada di ruangan ini, yang menjadi kepercayaan Pak Baskoro. Kami karyawan yang berada di lantai lima, tepat satu atap dengan ruangan pribadi CEO. Di perlakukan dengan istimewa dan sangat baik, berbeda dengan puluhan karyawan yang berada di ruangan lain di lantai bawah. Namun, semua kenikmatan kami bekerja, kini akan berubah. Baru sehari saja CEO muda itu menjabat, sudah ada satu orang karyawan yang di pecat hanya karena masalah yang sepele. Padahal sebelumnya, berkas penting yang telat di kumpulkan oleh kami, masih selalu bisa diterima oleh Pak Baskoro. Sungguh, entah akan seperti apa hari-hari kami berikutnya. *** Satu bulan sudah kami menderita menjadi karyawan di bawah naungan CEO baru. Entah mungkin karena usianya yang masih muda, dia hanya mengikuti kesenangannya. Baru satu bulan saja dia menjabat menggantikan Pak Baskoro, sudah ada tiga karyawan yang dipecat dengan cara tidak hormat. Mereka bertiga dipecat hanya karena telat mengirimkan berkas, aku tidak menyangka hal kecil seperti itu sampai membuatnya tega memutuskan rezeki orang lain. TRINNG~ Ada email masuk, malas sekali rasanya membuka pesan tersebut. Tertulis di dalam layar, Pak Aditya. [Keruangan saya] Dia membuatku menghembuskan napas kesal, rasanya ingin menamparinya bertubi-tubi. Baru jam sebelas pagi, tetapi sudah empat kali aku keluar masuk ruangannya. Jengkel dan kesal bertumpuk di dalam dadaku, dia memerintahku seenak hatinya. Hanya karena salah satu berkas di dalamnya terdapat beberapa kata yang tidak nyaman dibaca, dia memerintahkanku untuk terus merevisi ulang. Dia tidak mau menandatangani berkas itu sebelum semua tulisan di dalamnya benar-benar rapi, padahal berkas itu harus segera di kirimkan kembali kepada perusahaan lain. "Permisi ...." Aku membuka pintu perlahan, sudah malas untuk mengetuk pintu lebih dahulu. Dia menggerakkan jarinya, mengisyaratkan padaku untuk segera menghampirinya. "I-Ini berkasnya, Pak." Aku menaruh berkas bermap biru itu di atas meja kerjanya. Baru beberapa kertas yang di balik, dia sudah menatapku dengan tajam. Terlihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya riwayatku akan tamat hari ini. Aku pasrah, menyerah, dan sudah lelah. BRAKK~ "Ini kinerja orang yang katanya karyawan terbaik? Begini cara kerja karyawan terbaik di perusahaan ini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN