Aku berdiri di depan butik perhiasan mewah, seperti boneka pajangan yang dijual dengan harga yang tidak terjangkau. Rasanya aneh, bahkan menggelikan. Pagi ini, aku seharusnya menghabiskan waktu di studio, memilih palet warna untuk proyek kafe, bukan memilih cincin yang akan mengikatku pada pria es yang berjalan di sampingku.
"Cepat pilih," suara Rain louis terdengar datar. Ia menatap jam tangannya, seolah setiap detik yang terbuang bersamaku adalah kerugian finansial. "Aku tidak punya banyak waktu."
Aku memutar bola mata malas. "Kalau begitu, kenapa tidak sekalian saja suruh asisten mu yang memilih?" sindir ku. "Pasti lebih efisien,kan?"
Rain mengabaikan ku. Ia memanggil seorang staf wanita yang langsung datang dengan senyum profesional. "Kami butuh cincin pernikahan."
Staf itu tersenyum manis. "Apakah Anda sudah memiliki model yang diinginkan?"
Rain menunjuk sebuah cincin berlian sederhana tapi elegan di balik etalase kaca. "Yang itu, ada kembarannya."
Aku menatapnya tidak percaya. "Hanya itu? Tidak ada yang lain? Jangan bilang kamu tidak punya selera."
Rain menoleh ke arahku, tatapannya tajam. "Aku tidak punya waktu untuk hal-hal sepele. Cepat pilih yang lain jika kau mau."
Aku berjalan mendekati etalase, mataku mencari model yang lebih rumit. Tapi tidak ada yang menarik. Semuanya terasa aneh. Aku tidak bisa memaksakan diriku menyukai sesuatu yang akan menjadi simbol dari pernikahan palsu ini.
"Jeslyn." Suara Rain terdengar, lebih dekat dari yang kuduga. Ia berdiri tepat di belakangku. Aku bisa merasakan napasnya di leherku, membuat bulu kudukku meremang. "Apa kau sungguh-sungguh tidak punya pilihan? Aku tidak suka membuang waktu."
Aku berbalik, dan secara tidak sengaja, tubuh kami terlalu dekat. Sangat dekat hingga aku bisa melihat pantulan diriku di mata gelapnya. Ada sesuatu di sana, bukan cuma kebosanan, tapi juga sedikit ketidaksabaran.
"Ak...Aku... tidak tahu harus pilih yang mana," gumamku, suaraku tiba-tiba tersendat.
Rain menunduk. Tiba-tiba tangannya terangkat, menyentuh rambutku yang menutupi leherku, dan ia menyelipkan seuntai rambut di belakang telingaku. Sentuhan itu tidak kasar, tapi cukup membuatku mematung.
"Kalau begitu, pilih yang paling mahal," bisiknya, suaranya pelan dan rendah, hanya untukku. "Anggap saja itu kompensasi."
Jantungku berdebar tak karuan. Bukan karena kata-katanya, tapi karena sentuhannya. Dia... menyentuhku. Dengan sengaja. Dan di matanya, aku melihat kilatan yang bukan lagi kebosanan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbahaya.
"Tolong siapkan dua model ini," kata Rain pada staf toko, suaranya kembali normal. Ia mundur selangkah, menciptakan jarak di antara kami. Tapi kehangatan sentuhannya masih terasa di kulitku.
Aku menatapnya, bingung. Apa tadi itu? Apakah dia baru saja menggodaku? Atau hanya bercanda? Entah mengapa, hatiku merasa… tersentuh. Bukan dengan cara romantis, tapi dengan cara yang penuh tanda tanya.
Setelah membeli cincin, Rain langsung memerintahkan sopirnya untuk mengantarku pulang. Ia bahkan tidak basa-basi untuk makan siang. Sepanjang perjalanan di mobil mewahnya, tidak ada yang bicara. Rain sibuk dengan ponselnya, sementara aku memandangi cincin berlian yang terasa begitu asing di jariku.
---
Malam harinya, aku duduk di meja makan yang dihiasi lilin, di antara kedua orang tuaku dan orang tua Rain. Ruang makan itu begitu hening, kecuali suara dentingan sendok. Ibu Rain, seorang wanita elegan dengan senyum ramah, memulai percakapan.
"Jadi, Jeslyn, Rain bilang kalian akan segera menikah. Sejak kapan kalian berpacaran?" tanyanya, matanya berbinar penasaran.
Aku menelan makananku. Rain menatapku, wajahnya datar, seolah-olah dia sedang menunggu jawaban yang benar. Aku menunduk, mencari kata-kata.
"Kami kan... sudah saling mengenal cukup lama, Tante. Sejak kecil," jawabku, berbohong. Aku tidak ingin orang tuaku curiga.
Rain diam-diam menyikut aku. Aku menoleh ke arahnya, dan ia tersenyum tipis. "Ya, kami berdua sudah saling mengenal lama" katanya, suaranya tenang. "Hanya saja... kami menyembunyikan hubungan ini."
Ayahku tersenyum lebar. "Wah, Ayah tidak tahu kalau kamu sedekat itu dengan keluarga Louis, Jeslyn."
Aku membalas senyum Ayah, tapi di bawah meja, kakiku menendang kaki Rain. Dia tetap diam, tidak bereaksi sama sekali.
"Rain sering memuji Jeslyn," Ibu Rain melanjutkan. "Dia bilang Jeslyn adalah wanita yang cerdas dan bersemangat. Mereka sangat cocok."
Aku terkejut. "Memujiku? Kapan? Dia bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun yang baik. Dia hanya menganggap aku sebagai gangguan. Dasar lihat saja," batinku.
"Aku juga sangat tahu tentang Rain," balasku cepat. "Menurutku... Rain itu sangat perfeksionis. Bahkan sampai ke hal-hal kecil." Aku sengaja menekankan kata-kata itu, berharap ia akan marah. Tapi dia tetap tenang, hanya menatapku dengan mata yang seolah mengganggap ku konyol.
Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Rain duduk di seberangku, mengobrol dengan Ayah. Ia tampak begitu berwibawa, menjawab pertanyaan Ayah dengan tenang.
Ketika akhirnya Ayahku izin ke toilet, Rain menoleh kepadaku. "Kenapa kau menendang ku?" bisiknya.
"Kau berbohong!" jawabku, kesal. "Mengapa kau bilang kita sudah saling mengenal sejak kecil? Dan memujiku?"
"Itu bagian dari akting, Jeslyn," jawabnya, sangat pelan. "Aku harus membuat orang tua kita percaya bahwa pernikahan ini adalah hal yang kita inginkan." Ia bersandar di sofa, menatapku dengan tatapan yang penuh perhitungan. "Dan jangan merusak aktingku. Nanti, mereka akan curiga."
Aku terdiam. Jadi, semua itu hanyalah bagian dari rencana besarnya. Ia tidak pernah memujiku, tidak pernah peduli. Baginya, pernikahan ini hanya sebuah drama, dan aku hanyalah aktrisnya.
Rasanya menyakitkan.