Pernikahan kami berlangsung seminggu kemudian, jauh dari sorotan media. Hanya keluarga dan teman dekat yang diundang, sesuai permintaan Rain. Gaun putih itu terasa seperti beban, bukan kebahagiaan. Aku melihat Rain mengucapkan janji pernikahan dengan wajah dingin seolah ia sedang membacakan kontrak bisnis yang sudah ia hafalkan di luar kepala.
Setelah acara selesai, sebuah mobil mewah mengantarku ke apartemen Rain. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah keluar ke sebuah ruangan yang begitu sama karakternya dengan pemiliknya. Dingin, minimalis, dan cuek. Dindingnya berwarna putih, perabotannya terbuat dari metal dan kaca, dan tidak ada satu pun hiasan yang menunjukkan kehangatan. Semua barang tertata rapi, sangat rapi.
"Kamar tamu di sebelah sana," kata Rain, suaranya terdengar dari belakangku. Ia berjalan melewati ruang tamu, lalu meletakkan jasnya di sebuah kursi. Aku menatapnya. Ia baru saja meletakkan jas di kursi? Tidak, dia meletakkannya dengan cara tertentu, agar tidak ada satu pun lipatan. Aku menghela napas.
"Kita... tidur terpisah?" tanyaku, memecah keheningan.
Rain menoleh, mengangkat satu alisnya. "Kau mengharapkan sesuatu yang lain?"
"Tentu tidak," jawabku cepat, merasa canggung. "Hanya saja... wasiat itu bilang harus ada keturunan."
Rain menyeringai. "Jangan khawatir. Itu bisa diurus nanti. Dan yang jelas, tidak akan dengan caramu." Ia berjalan ke sebuah lemari es, mengeluarkan sebotol air, lalu meminumnya. "Selama kita di sini, jangan berani-berani mengganggu aktifitas ku. Apartemen ini adalah wilayah pribadiku."
Aku merasa wajahku memanas. Ia tidak hanya menganggap aku sebagai orang asing, tapi juga sebagai gangguan.
"Aku akan mencampuri apa pun yang kuinginkan," jawabku. "Sekarang kan aku juga tinggal di sini. Aku tidak akan membiarkanmu mengaturku."
Rain tertawa kecil, suara tawa yang tidak sampai ke matanya. "Kita lihat saja nanti."
Aku melangkah ke kamar tamu. Kamarnya sama dinginnya dengan ruangan di luar. Ada kasur berukuran sedang, sebuah lemari pakaian, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Aku menjatuhkan diriku di kasur, lalu menatap langit-langit.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara langkah kaki di luar. Aku membuka pintu dan melihat Rain sedang menuangkan sesuatu dari sebuah teko ke dalam cangkir. Aromanya... pahit.
"Teh hijau," katanya, seolah ia bisa membaca pikiranku.
"Aku... belum makan malam," gumamku.
Rain tidak menanggapi. Ia menyesap tehnya. Aku melangkah keluar, lalu menatapnya. Aku tidak akan membiarkan dia memperlakukanku seperti tidak ada.
"Aku lapar. Di mana dapurnya?" tanyaku.
"Di sana," Rain menunjuk dengan dagunya, matanya tetap menatap cangkirnya.
Aku berjalan ke dapur, membuka lemari es, dan menemukan beberapa bahan makanan. Aku memutuskan untuk memasak sesuatu. Tiba-tiba, aku mendengar suara alarm berbunyi. Aku terkejut, panik. Aku menoleh ke arah Rain, yang matanya menatapku dengan tajam.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, suaranya dingin, menatapku seperti aku telah melakukan kejahatan besar.
"Aku... aku tidak tahu," kataku. "Aku hanya menyalakan kompor."
Rain berjalan mendekat, mematikan alarm itu, lalu menatapku. "Kompor itu sudah didesain khusus agar tidak mengeluarkan asap. Kau melakukan sesuatu yang salah," katanya, suaranya penuh rasa kesal. "Jangan sentuh apa pun. Sudahlah biar aku yang memasak."
"Ok baiklah... Tuan muda," ucapku sambil mengangkat tangan menyerah.
Aku hanya bisa diam melihatnya. Pria dingin ini... dia bahkan tidak bisa membiarkan ku menyentuh apapun. Dan aku mulai kesal dengan pria arogan itu, yang memberikan aturan-aturan yang tidak masuk akal.