Diam-diam Perhatian

860 Kata
Esok pagi, aku bangun dengan semangat baru. Setelah mandi dan berpakaian, aku berjalan ke dapur. Ada jadwal tertempel di kulkas, ditulis dengan rapi menggunakan huruf yang terlalu sempurna. "Senin- Rapat Direksi," "Selasa - Kunjungan Proyek," dan seterusnya. Jadwal Rain begitu terperinci, bahkan jam makannya pun sudah diatur. ​Aku menarik napas berat. Di sebelahnya, ada catatan kecil dengan tulisan tangannya. "Jangan sentuh apa pun." Aku sengaja mengabaikannya. ​Aku mengambil kopi di mesin kopi, lalu meminumnya. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki. Rain sudah berpakaian rapi, dengan jas hitam yang sempurna. Ia menatapku. ​"Apa yang kau lakukan?" tanyanya. ​"Minum kopi," jawabku, mengangkat cangkirku. ​Ia berjalan ke arah mesin kopi, mengambil cangkirnya, lalu menuang kopi. Tapi ia tidak meminumnya. Ia hanya menatapku, seolah menungguku pergi. ​"Kau tidak akan minum kopi?" tanyaku. ​"Aku akan minum setelah kau pergi," jawabnya. "Aku tidak suka diganggu." Aku berdecak sambil mengangkat bahu heran. "Manusia aneh." Lalu berjalan ke ruang tamu. Aku memutuskan untuk membawa laptopku dan bekerja di sana. Aku membuka email, sebuah email dari klien lamaku langsung menarik perhatianku. Klien itu, pemilik firma properti, meminta bantuanku untuk mendesain interior sebuah hotel baru. Namanya... Louis & Co. ​Jantungku berdebar kencang. Itu adalah perusahaan Rain. Aku menatapnya. Ia masih berdiri di dapur, menatapku, seolah ia bisa membaca pikiranku. ​Aku menekan tombol balas, lalu menulis. Saya akan mengambil proyek ini. "Ini adalah kesempatan emas. Aku akan mengganggu Rain dari tempat kerjanya," ucapku pelan. --- ​Sore itu, aku bertemu dengan klienku di sebuah kafe. Aku menunjukkan portofolioku. Klien itu tersenyum puas. "Kami senang bisa bekerja sama dengan Anda, Nona Jeslyn. Tuan Louis sudah mendengar tentang Anda, dan dia percaya pada bakat Anda." ​Aku terkejut. "Rain Louis? Dia yang merekomendasikan ku? Aku tidak mengerti. Setelah semua yang terjadi, mengapa ia merekomendasikan ku," pikirku. ​Malam harinya, aku melihat Rain sedang membaca dokumen di ruang kerja. Aku melangkah masuk. ​"Kenapa kau merekomendasikan aku?" tanyaku. ​Rain mendongak. Ia menatapku, tatapannya dingin. "Itu untuk kepentingan perusahaan," jawabnya. "Kau punya bakat. Dan aku tidak akan membiarkan urusan pribadi mengganggu bisnisku." Ia kembali menatap dokumennya. "Jangan salah paham. Ini bukan karena aku peduli. Ini hanya bisnis." ​Aku menatapnya. Ia begitu rumit. Di satu sisi, ia menyebalkan. Di sisi lain, ia profesional. Aku tidak bisa mengerti. ​"Baiklah," jawabku. "Kalau begitu, aku akan menganggap ini sebagai tantangan. Aku akan membuat desain yang akan membuatmu terkejut." ​Rain mengangkat pandangannya dari dokumennya. "Aku tidak akan terkejut," katanya, menyeringai. ​"Kita lihat saja," balasku. "Aku akan membuktikan bahwa kau salah." Aku berjalan keluar, meninggalkannya sendirian di ruang kerja menuju ke kamar. --- Minggu ini, hidupku terasa terbagi dua. Pernikahan yang dingin di apartemen Rain, dan medan perang yang penuh ketegangan di proyek Louis & Co. Aku mendesain, bekerja keras, dan berulang kali harus mengingatkan diri sendiri, bahwa pria di hadapanku ini juga suamiku. ​"Menurutmu bagaimana jika kita gunakan marmer putih ini untuk lobi? Kesannya bersih dan mewah," kataku, memegang sebuah sampel marmer. ​Rain menatapnya. "Terlalu biasa," jawabnya pendek. Ia menoleh pada asistennya, seorang pria berpenampilan profesional bernama Kevin. "Cari opsi lain yang lebih unik." ​Aku menarik napas. Ini caranya berkomunikasi. Melalui perantara, seolah aku tidak ada di sana. ​"Biasa itu seperti apa, Tuan Louis?" sindir ku, tak bisa menahan diri. "Jangan bilang kamu ingin lantai lobi terbuat dari koin emas?" ​Rain menoleh ke arahku, ada senyum tipis di bibirnya. "Aku ingin sesuatu yang bisa membuat orang betah berlama-lama, Jeslyn. Sesuatu yang bisa membuat mereka merasa... ingin pulang. Seperti sebuah rumah." ​Aku terdiam. Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan yang memiliki makna pribadi. Aku menatapnya, mencari sesuatu di matanya, tapi ia kembali menatap arsitek. ​"Bawa aku ke proyek. Aku ingin melihat ruangannya secara langsung," titah Rain. ​Kami pun berjalan ke tengah-tengah kerangka bangunan. Debu beterbangan, dan suara bising dari alat-alat berat terdengar di mana-mana. Rain berjalan mengelilingi ruangan, matanya tajam, seolah ia bisa melihat setiap sudut yang akan diisi oleh propertinya. ​"Ruangan ini terlalu sempit," gumamnya. Ia menoleh pada Kevin. "Kita harus merombak dindingnya." ​"Tunggu," aku melangkah mendekatinya. "Kau tidak bisa begitu. Itu akan membuang waktu dan biaya," protes ku. ​Rain berbalik, dan secara tidak sengaja, tubuhku bersentuhan dengan tubuhnya. Jarak kami begitu dekat, sangat dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Aroma maskulin yang bercampur dengan parfum mahal menguar, membuat jantungku berdebar tak karuan. ​"Waktu dan uang tidak penting," bisiknya, dengan suaranya pelan dan rendah. "Yang penting, aku mendapatkan apa yang kuinginkan." ​Ia menunduk, matanya menatapku lekat-lekat. Kilatan yang berbahaya itu kembali muncul. Tangannya terangkat, menyentuh leherku. Sebuah sentuhan yang lembut, tapi membakar kulitku. "Dan aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, Jeslyn," bisiknya. ​Aku mematung. Pikiranku kosong. Rasanya seperti ada aliran listrik yang mengalir dari sentuhannya ke seluruh tubuhku. Ia begitu dekat, hingga aku bisa merasakan napasnya di leherku. ​"Kita perlu mengubah desainnya," bisiknya lagi, tatapannya tidak lepas dariku. ​Aku menelan ludah. "Tentu," jawabku. "Kita akan melakukannya." ​Rain menyeringai. Ia melepaskan sentuhannya dari leherku, lalu melangkah mundur. Ia kembali menjadi pria dingin yang tidak peduli. Tapi kehangatan sentuhannya masih terasa di leherku, dan jantungku masih berdebar kencang. ​
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN