Beberapa hari setelah pertemuan di lokasi proyek, aku masih bisa merasakan sentuhan Rain di leherku. Pria itu benar-benar tidak terduga. Di apartemen, ia sedingin es. Di tempat kerja, ia bisa begitu profesional, namun juga begitu... berbahaya.
Sore itu, aku sedang sibuk mendesain di laptop saat ponselku berdering. Rupanya Rain yang menghubungiku.
"Kita akan makan malam di luar," ucapnya tanpa basa basi.
"Hhh... Dengan siapa?" tanyaku.
"Teman-temanku. Pakai gaun yang pernah ku belikan untukmu."
Aku menarik napas perlahan. Ia tidak memintaku. Ia memerintah. Namun, aku tak punya pilihan menolak.
Malam harinya, aku mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan. Rain menungguku di ruang tamu. Ia tampak sempurna dengan jas abu-abu, jauh lebih tampan dari yang seharusnya. Matanya menilai ku, dari atas ke bawah.
"Tidak buruk," katanya. Itu adalah pujian pertamanya, meskipun terdengar seperti sebuah sindiran.
Kami tiba di sebuah restoran mewah. Di sana, sudah duduk dua pria. Yang satu berambut hitam, mengenakan kemeja polos dengan wajah tenang. Satunya lagi, dengan senyum ramah dan mata yang nakal, langsung berdiri saat melihat kami.
"Rain Louis! My brother! Kau akhirnya menikah," katanya, sambil memeluk Rain. Ia menoleh ke arahku. "Hai... Aku Eric. Dan ini Danu," katanya, menunjuk temannya yang pendiam. "Dan kau pasti Jeslyn. Kami banyak mendengar tentangmu."
"Hai Eric," balasku, berusaha tersenyum.
Makan malam dimulai dengan percakapan yang canggung. Eric yang terkenal pemain wanita mencoba menggodaku. "Rain tidak pernah memberitahu kami kalau dia punya kekasih. Kau menyembunyikan wanita cantik ini dariku, teman?" tanyanya, melirik Rain.
Rain menatapku. "Dia bukan kekasih ku. Dia istriku." Suaranya datar, tapi ada nada posesif di sana.
Danu hanya tersenyum. "Rain tidak pernah bercerita tentangmu, Jeslyn. Kami jelas terkejut."
Aku menatap Rain. Ia sibuk dengan makanannya, seolah ia tidak peduli. Tapi Eric tidak menyerah. Ia menyentuh tanganku di atas meja. "Kau tahu, jika aku jadi suamimu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."
Jantungku berdebar tak karuan. Ini adalah permainan berbahaya. Aku menatap Eric, lalu ke arah Rain. Pria itu mengangkat kepalanya, matanya menatapku lekat. Ada kilatan yang membara di matanya.
"Kau berani menyentuh apa yang bukan milikmu, Eric?" kata Rain, suaranya pelan dan berat.
Eric menarik tangannya, dan tertawa. "Wow, santai, bro. Aku hanya bercanda."
"Jangan bercanda tentang istriku," kata Rain, tatapannya penuh ancaman.
Aku menatap Rain, bingung. Bukannya Ia tidak peduli padaku, kan? Tapi mengapa ia bereaksi seperti itu.
Setelah makan malam, kami berjalan keluar. Eric membisikkan sesuatu pada Rain, lalu mereka berdua tertawa. Saat Eric dan Danu pergi, tinggallah hanya kami berdua.
"Kau berbohong pada mereka," kataku. "Bukannya kau tidak serius dengan pernikahan kita."
Rain menatapku lekat, matanya tajam di bawah cahaya lampu jalan. "Mereka tidak perlu tahu tentang kontrak kita. Dan untuk apa yang Eric lakukan tadi, itu hanya untuk memperingatinya saja," katanya.
"Memperingatinya saja... Kau yakin? Hey, Tuan Louis... Kau tampak seperti akan membunuhnya."
Rain menyeringai. Ia melangkah mendekat, lalu mencengkeram tangan Jeslyn. "Kau tahu, Jeslyn," bisiknya serak. "Meskipun kita hanya pura-pura, kau tetap milikku. Dan aku tidak suka jika orang lain menyentuh apa yang menjadi milikku." Ia menarik ku lebih dekat, lalu mencium bibirku. Ciumannya lembut, tapi intens.
Aku mematung. Pikiranku kosong. Ciuman itu tidak romantis, tapi penuh dengan peringatan. Bahwa aku adalah miliknya.
Lama kami dalam posisi ini. Ciuman ini… membakar ku. Bukan ciuman lembut yang manis, tapi sebuah kepemilikan. Sebuah klaim. Bibirnya dingin, namun sentuhannya di pinggangku dan cengkeraman tangannya di tengkukku terasa begitu panas, membuat seluruh tubuhku merinding. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat berpadu dengan napas terengah-engah ku.
Ia menarik diri, hanya beberapa inci. Matanya yang gelap menatapku tajam di bawah cahaya remang-remang lampu jalan. Bibirnya sedikit bengkak, sisa dari ciuman barusan.
"Kau... tidak bisa melakukan itu," gumamku, suaraku nyaris tak terdengar.
Rain menyeringai. Senyum tipis yang berbahaya. "Aku sudah bilang, Jeslyn. Kau milikku. Dan aku akan melakukan apa pun yang kuinginkan dengan milikku."
Tangannya masih mencengkeram pinggangku, menarik ku lebih dekat lagi hingga tidak ada jarak di antara kami. Aku bisa merasakan setiap lekuk tubuhnya, kekar dan penuh kekuatan. Gaun hitamku terasa menempel erat, membakar kulitku.
"Ini... hanya kontrak," kataku, berusaha mendorongnya. Tapi ia terlalu kuat.
"Kontrak atau bukan," bisiknya, suaranya serak, "fakta bahwa kau sekarang adalah istriku. Dan aku tidak akan membiarkan orang lain menyentuh apa yang menjadi milikku." Ia menunduk, bibirnya mendekat ke telingaku. "Termasuk dirimu sendiri, jika kau mencoba untuk memberontak."
Aku menelan ludah. Kata-katanya, bisikannya, sentuhannya... semuanya seperti racun manis yang perlahan merasuki setiap sel tubuhku. Aku tahu ini salah, aku tahu ia hanya bermain-main, tapi ada bagian diriku yang merespons, yang merasakan getaran aneh dari dominasinya.
Rain akhirnya melepaskan ku, tetapi tatapannya masih mengunci. Ia menatap bibirku yang sedikit membengkak, lalu tersenyum puas. "Ayo pulang."
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil terasa hening. Aku duduk di sisi jendela, menatap lampu-lampu kota yang bergerak cepat. Jantungku masih berdebar kencang. Aku mencoba menenangkan diri, tapi bayangan ciuman itu terus berputar di benakku.
Sesampainya di apartemen, Rain berjalan langsung ke kamarnya. Aku mengikutinya dengan pandangan. Aku merasa marah, bingung, dan... anehnya, sedikit penasaran.
Aku melangkah ke kamarku, lalu mengunci pintu. Aku menyentuh bibirku. Rasanya masih ada jejak bibirnya di sana. Aku tidak bisa mengerti pria itu. Ia dingin, arogan, tapi sentuhannya... begitu memabukkan.
Aku melemparkan gaun hitamku ke lantai, lalu berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang membasahi tubuhku tidak bisa memadamkan panas yang kurasakan di dalam diriku.
"Rain Louis," gumamku, menatap pantulan diriku di cermin. "Kau akan menyesali permainan ini."