Bagian dua

1507 Kata
Mobil Barry berhenti di depan rumah mungil berwarna biru. Barry duduk dari balik kemudi sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya. Barry menyapukan pandangannya dari pagar sampai pintu masuk, seakan-akan sedang meraba-raba kenangan masa lalunya. Tidak ada yang berubah dari rumah tersebut. Masih sama dengan sepuluh tahun lalu, ketika ia sering ke sini bersama Marsha untuk mengunjungi kakeknya. Setelah ayahnya meninggal setahun yang lalu. Sekarang rumah tersebut sudah sah menjadi miliknya, Barry berniat melihat kondisi rumah itu sebelum menempatinya. Barry mengurungkan niatnya untuk turun, ketika dilihatnya sebuah pickup warna hitam melesat keluar dari lapangan parkir. Detik berikutnya, pintu mobilnya terbuka dan seorang wanita sudah menduduki kursi di sebelahnya. "Cepat ikuti mobil itu." Barry ternganga keheranan melihat tingkah wanita itu. "Apaan?" Wanita itu berpaling padanya, mata bulatnya terbelalak lebar menyorotkan kepanikan. "Ayo dong buruan!" Penampilan wanita ini terlihat berantakan. Kaos kebesaran yang berwarna kuning cerah, serta celana training berwarna hijau neon. Dari pakaiannya saja, Barry merasa kalau wanita ini gila. "Buruan dong! Nanti keburu kabur." "Gue gak akan kemana-mana, kecuali ke rumah itu." "Aduh, ini darurat nih!" Gerutu wanita itu sambil merogoh-rogoh kantung plastik yang dibawanya dengan kalang kabut. Detik berikutnya, dia sudah mengeluarkan satu botol saos sambal. "Jangan sampai gue pake ini buat maksa elo!" Barry tahu rasa saos sambal extra pedas itu, dan wanita itu mau memaksanya dengan ancaman saos? memangnya dia apa? Sejenis bakso gitu? "Ayo dong," pekik wanita itu putus asa. "Ada bayi di mobil itu, ibunya juga!" Kalimat terakhir menepiskan segala keraguan Barry. Cepat-cepat ia menyalakan mesin mobil, memasukkan gigi, dan menekan pedal gas kuat-kuat. Wanita itu sampai terpelanting ke belakang saat mobil meninggalkan halaman rumah kakeknya. Sedan lexusnya melesat menembus keramaian lalu lintas. "Kenapa gak bilang dari tadi kalau lo mau ngejar penculik?" "Kejadiannya cepat banget..." suara wanita itu menghilang, saat dia mencondongkan kepalanya keluar, membuka matanya lebar-lebar mencari pickup tersebut di antara banyak mobil di jalan raya. "Itu dia!" Pekiknya sambil menunjuk mobil hitam yang melesat menerobos lampu kuning. Saat itu lampu lalu lintas berganti merah, membuat Barry terpaksa menginjak pedal rem kuat-kuat. Lexusnya berhenti dengan suara rem yang berdecit keras. Maju sedikit lagi, mereka pasti sudah dijemput malaikat Izroil. Wanita itu menoleh ke arahnya dengan wajah garang. "Apa-apaan sih lo? Kenapa berhenti?" "Mau gimana lagi?" Bentak Barry, masih gemetar. Dia masih lemas membayangkan tabrakan hebat yang nyaris menimpanya. "Gak mungkin kita bisa ngejar mobil itu, lalu lintasnya padat begini. Dan tolong pakai sabuk pengamannya!" "Kalau gitu percuma dong, gue nyuruh elo ngebut tadi." Wanita berteriak, tanpa mempedulikan Barry yang mulai kesal. "Gara-gara elo nih, mereka jadi hilang!" Barry kesal bukan main melihat tingkah wanita itu. Tanpa komentar ia mencondongkan badan dan meraih sabuk pengaman di samping wanita itu dan mengencangkannya kuat-kuat. Sekilas ia bisa mencium wangi samar-samar parfum apel yang dipakai wanita itu. Ia bahkan tanpa sengaja bisa melihat kalau wanita itu tidak memakai bra. Dan langsung saja benak Barry langsung membayangkan apa yang ada di balik kaos itu. Barry cepat-cepat memukul dahinya sendiri, dan kembali ke posisinya di balik kemudi. Lampu menyala hijau, cepat-cepat di injaknya kembali pedal gas. Dengan gesit dibawanya kembali mobil mencari-cari pickup tersebut. Namun, pickup tersebut sudah menghilang entah kemana. "Hilang sudah." Hati Barry luluh mendengar nada sedih yang menggayuti suara wanita itu. Ia membelokkan mobilnya kembali ke tempat semula. "Udahlah. Kita bisa lapor polisi." "Percuma!" Sahut wanita itu. Setetes airmata mengalir menuruni pipi wanita itu. Barry cepat-cepat mencabut sehelai tissue dan menyodorkannya. "Ini semua salahku." Bisik wanita itu. "Jangan menyalahkan diri sendiri." "Memang gue yang salah kok." Sergah wanita itu. "Semua gara-gara gue ceroboh. Coba gue gak taruh kardus itu sembarangan." Kata-kata itu membuat Barry jadi penasaran, tapi saat ini tidak ada waktu untuk penjelasan panjang lebar. "Siapa nama mu?" "Maghia," jawab wanita itu sambil membuang ingus. "Maghia Fumala." Alis Barry kontan berkerut mendengarnya. Maghia Fumala. kayanya Barry pernah mendengar nama itu. Tapi di mana ya?. Sesaat Barry sempat panik. Jangan-jangan, dulu ia pernah berkencan dengan wanita ini. Soalnya dia tidak asing dengan mata bulat itu. Barry mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. Astaga! Wanita ini, kan? Barry menggelengkan kepala tidak percaya. Wanita berantakan ini adalah wanita yang sama dengan wanita yang berusaha mengambil uang di bawah mobilnya, kan? Barry merasa dirinya rendah sebagai laki-laki, karena ia telah mencium bibir wanita yang sudah bersuami. Dan tololnya, dia masih bisa mengingat bagaimana rasa ciuman itu. "Dasar bego! Bego!. Tadinya gue pikir kalau bayi itu gue jemur pakai  kardus bakal aman, tapi waktu gue tinggal sebentar udah hilang aja." Maghia menghela napas gemetar. "Kirain itu mobil parkirnya lama." Barry mengerjapkan mata, nggak percaya sama pendengarannya. Ibu macam apa coba yang jemur bayinya dalam kardus. Kemudian dia meneliti Maghia dengan pandangannya. Masih muda begini, pantaslah kalau belum ada rasa tanggung jawab. "Ya Tuhan, kalau orang yang nitipin bayi itu marah gimana?" Maghia kembali meratap. "Bisa nggak makan gue buat gantiinnya, itukan peranakan harganya mahal, beda sama bayi kampung biasa. Barry nampak kaget, dia menarik napas dalam-dalam. Terlihat emosi dengan cara Maghia memperlakukan si bayi. "Tunggu sebentar, kita bicara tentang... bayi... kan?" "Bukan bayi sih... tapi kucing." Sergah Maghia sambil mengusap airmatanya. "Kucing yang dititipin sama tetangga, lumayan uang penitipannya. Tapi kalau hilang gini..." Barry terdiam beberapa saat, sampai jawaban Maghia tercerna dengan baik oleh otaknya. "Lo udah gila ya! Jadi gue hampir mati cuma gara-gara ngejar kucing?" "Terus masalahnya dimana, toh kucing itu juga gak ketemu, 'kan?" Tukas Maghia dengan pipi merah padam menahan marah. "Lo tau nggak berapa harga anakan kucing itu? Mahal!" Maghia berpegangan kuat-kuat saat Barry menekan rem mendadak dengan keras. Barry kehabisan kata-kata melihat Maghia yang melipat tangannya di d**a tanpa rasa bersalah. "Perempatan ini udah lumayan dekat sama daerah rumah lo, kan? Turun sana!" Perintah Barry dengan bibir yang terkatup rapat. Maghia tidak mempedulikan perintah Barry. Dia hanya mengangkat bahu dengan cuek. "Jauh kali kalau jalan. Maju dikit dong, dekat tukang ojek, kek!" Tanpa peduli, Barry sudah memberi tanda belok kiri, dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. **** "terus dia narik gue keluar dari mobilnya." Geram Maghia sambil meraih teh di depannya. Rena duduk bersila di atas sofa dengan ponsel di tangannya dan sebungkus kripik kentang. Ia sibuk berbelanja di s****e, sementara Maghia masih mengoceh. "Lo denger gue gak sih, Na?" "Denger lah, kuping gue sehat kok." "Kok lo diem aja, kasih komentar kek!" Rena berhenti sebentar dari kesibukannya melihat-lihat sepatu. "Lho, tadi lo bilang cuma butuh didengerin ya gue dengerin lah." "Bodo ah, yang penting gue masih kesel sama orang itu. Awas aja kalau ketemu lagi." "Jadi gimana penampilan orang itu? Ganteng?" Maghia meneguk cola-nya lagi. Ingatannya melayang ke wajah Barry yang tampan namun terlihat sedih. Rasa-rasanya Maghia pernah melihat wajah itu, tapi dia lupa di mana. "Ganteng dan kelihatan kaya." Rena mendesah sambil mengempaskan dirinya ke kursi. "Seharusnya elo minta no teleponnya, siapa tahu dia jodoh gue." "Otak lo ya, Na. Jodooohhh mulu." Tukas Maghia kesal. Detik itu juga, terdengar ketukan dari luar kost-an Rena. "Lo lagi nunggu tamu?" "Astaga!" Seru Rena meloncat dari duduknya. "Kayaknya lo harus pulang deh, Ghi. Gue mau pergi sama cowok gue. Duhh mana belum siap-siap. Gara-gara elo nih!" Maghia mengentak-entakkan kakinya, lalu pergi dari rumah sahabatnya. Tiba-tiba perutnya merasa lapar. Ia menyesal tidak menghabiskan makanan di rumah Rena. Sebelum pulang ke rumah yang disewanya, Maghia mampir ke minimarket untuk membeli mie instan, ciki dan dua kaleng teh O'olong yang selalu ia minum. Dan di perjalanan pulang, ia mampir ke warung pinggir jalan lalu membeli sate dan gorengan. Kemudian ia membuka semua makanan yang ia beli di ruang tengah dan memakannya dengan lahap. Maghia memang selalu bahagia kalau sudah bertemu makanan kesukaannya. Selesai makan, ia berbaring di lantai dengan kaki ditopang ke atas sofa. "Kenapa banyak yang jual mukena ya?" Maghia bicara sendiri dengan tangan yang sibuk di layar ponselnya. "Aissshh gila banget nih artis, diendors mukena aja cantik banget." Maghia ingat banget, dulu pernah teman kerjanya nawarin dia endors mukena, tapi dia kapok. Soalnya waktu fotonya di unggah, banyak yang komen di foto endors-nya Awalnya Maghia senang, tapi jadi senep pas scroll ke bawah dan liat komen yang rata-rata nanya. "Sis, itu kain kafan berapa harga permeternya?" Atau "Gewlaaa ya, sekarang pocong udah terima endors di Ig." Maghia mencomot bakwan, dan memasukkannya ke mulut. Eh suara apa tuh? Maghia mendengar suara langkah kaki dan benda yang di seret. Refleks wanita itu melirik jam dinding, hasil dari menukarkan 10 bungkus sabun colek. Masih jam 7 malam, gak mungkin kan, setan udah keluar jam segitu? Ketika Maghia belum sempat berbuat apa-apa, pintu rumahnya terbuka. Maghia berjalan ke pintu depan dan badannya jadi terdiam kaku. Ia kaget bukan main melihat tamu yang muncul di ruang tamunya. Tamu yang baru masuk dengan menyeret kedua tasnya juga terdiam sambil membelalakkan matanya. "Eh? Apa-apaan,nih? Ngapain lo di sini?" Barry memasuki rumah Maghia tanpa permisi. Dia tersenyum dengan kaku, saraf-sarafnya hampir putus melihat tempat tinggal yang begitu tidak terawat. Kaleng-kaleng bekas minuman bersoda dan bungkus makanan menghiasi lantai. Baju-baju, dan apa itu? Barry meraih plastik yang berisi pembalut. Astaga, bisa-bisanya wanita ini menaruh barang pribadinya sembarangan. "Dimana sapunya?" Tanya Barry sambil menutup hidung. "Eh?" "Cepat ambil sapu! Bersihin rumahnya," Barry melirik Maghia yang tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Buruan, tunggu apa lagi? Jangan lupa barang-barang lo dirapiin." Maghia mengerutkan dahi dengan tangan terlipat di d**a. "Emangnya lo siapa? Ujug-ujug ngusir orang dari sini?" "Gue pemilik baru rumah ini? ada masalah?" Melihat Maghia yang terdiam, Barry hanya tertawa pelan. Dia duduk di kursi setelah menyingkirkan barang-barang Maghia. "Kenapa? Gak punya duit buat pindah? Makanya jangan jadi orang miskin!" Maghia mendengus, meninggalkan Barry sendiri. Memang siapa dia? Berani-beraninya mengusir dirinya, sampai lebaran kucing dia gak akan pindah dari rumah ini. Toh, dia punya surat perjanjian sama orang yang menyewakan rumah ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN