Bagian tiga

1455 Kata
Hari Senin adalah hari paling sial menurut Maghia. Ia mendapatkan menstruasi pertamanya saat kelas satu sekolah menengah pertama. Kalau boleh milih, Maghia lebih suka semua siswa menertawakannya ketika ia buru-buru menarik bendera yang baru sampai di tengah-tengah tiang padahal lagu sudah selesai, dari pada noda merah yang melingkar tanpa dosa saat dia bertugas sebagai pembawa bendera. Di hari Senin minggu berikutnya, dia tersengat lebah yang membuat keningnya sebesar alien. Sengatan lebah sih gak seberapa sakitnya, tapi malunya itu, lho. Soalnya Maghia di sengat lebah waktu ngintip kakak kelas yang ia sukai lagi ganti celana olah raga, gara-gara lebah itu aksinya ketahuan. Padahal dia cuma mau membuktikan teori, dari jempol kaki yang besar, terdapat alat kelamin yang besar juga. Tapi itu semua terjadi di masa lalu. Tentunya sekarang berbeda. Dia selalu berdoa lebih khusyuk menjelang hari Senin, kecuali semalam. "Pasti berhasil kali ini!" Maghia meyakinkan dirinya sendiri. Sambil mengangkat dagunya, menegakkan bahu dan memasang senyum meyakinkan, Maghia berhenti di depan sebuah pintu yang merupakan kantor pusat dari jaringan perhotelan dan cottage yang cukup ternama. Dia berhenti sebentar untuk untuk sekadar menarik napas. Tangannya memegang pintu mewah yang terbuat dari kaca dan krom mengkilat. Namun, belum sempat ia membuka pintu tersebut, seseorang sudah menarik pintu itu dari dalam. Membuatnya kehilangan keseimbangan. Keseimbangan bukanlah kelebihan yang dimiliki oleh Maghia. Maghia berusaha mencari sesuatu untuk pegangan, namun nihil. Lalu ia tersandung, membuat tubuhnya kehilangan kendali dan meluncur jatuh ke ruangan yang tidak bisa dikatakan sepi. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Maghia selain berteriak histeris. "Aduhhh!!" Tas yang dibawanya terbang melayang, jatuh dengan isi berhamburan di depannya, dan sebelah sepatunya melayang ke dalam. Ketika ia jatuh ke atas karpet halus, rok midinya tersingkap, memperlihatkan celana dalamnya. Ini bukan kesan yang ingin ditampilkannya. Dengan wajah merah, Maghia membetulkan roknya, mengambil sepatunya, dan mencoba memasukkan kembali isi tasnya yang berhamburan. "Lihat-lihat dong kalau mau buka pintu!" Tuntutnya kepada manusia yang menyebabkannya terjatuh. Lalu ia bergumam sendiri. "Ahh sudahlah, emang nasib gue lagi jelek. Gara-gara cowok sial itu gue sampe lupa berdoa semalem." "Maaf," seorang pria berkata sambil mengulurkan tangannya. "Aku gak lihat kamu di depan pintu." Maghia mengulurkan tangannya untuk menerima uluran tangan pria itu. Namun, saat melihat wajah pria itu dengan jelas, ia menarik kembali tangannya cepat. Oh. My God. Dia Salendra, kan? Seniornya sewaktu sekolah dulu? Gara-gara naksir berat sama Salendra, Maghia sampai melanjutkan ke SMIP setelah lulus SMP. Keputusan yang dia rasa salah, masa sekolah bayar mahal-mahal cuma belajar gimana bersihin debu dan rapiin kamar dengan benar, kalau cuma begitu sih, dia bisa kursus kilat di kantor penyalur pembantu. Melihat Salendra yang masih mengulurkan tangan, Maghia mendadak merasa malu. Astaga, bisa-bisanya gue gak hati-hati. Pasti tadi ia melihat adegan memalukan tadi. Maghia mengerutkan dahi, kemudian menarik napas perlahan saat tidak berhasil mengingat motif celana dalam yang ia pakai. Seingatnya sih celana dalamnya walau gak baru masih terlihat bersih. "Kamu gak apa-apa kan?" Salendra masih mengawasi Maghia terus menerus sejak tadi, matanya tidak beralih sedikitpun dari wajahnya. "Ma-maaf, seharusnya saya enggak berdiri di sana." Maghia berdiri, agak goyah, tetapi bisa bangkit sendiri dan mengingat dirinya agar menarik napas. "Saya yang salah, kok. Kenapa kamu yang minta maaf?" Pria itu masih belum memalingkan matanya dari wajah Maghia. "Tunggu sebentar...kamu GG kan?" Maghia tidak pernah berharap, pria yang jadi cinta monyetnya itu masih ingat sama dia. Jadi boleh dong, Maghia senang sekaligus geer sewaktu tahu Salendra masih ingat dia, sekaligus nama bekennya waktu sekolah. "Bener, kan elo, GG. Cewek m***m yang telat puber?" Maghia bergidik. "Please, deh. Jangan ingat-ingat soal itu lagi." Sahut Maghia sebal. Masa dari sekian banyak kenangan indah tentang dirinya, cuma dua hal itu yang diingat Salendra. "Elo ngapain di sini?" Dari caranya bertanya, kelihatan jelas kalau Salendra penasaran. "Yaah. Coba-coba peruntungan di sini." Salendra terdiam, ibu jarinya mengelus-elus bekas luka kecil di sudut bibirnya. "Elo yakin, Gi? bukannya mau buat elo down, tapi di sini cuma terima lulusan luar negeri lho." Maghia menyelesaikan kuliahnya di bidang perhotelan tanpa kesulitan yang berarti. Bahkan lulus menjadi salah satu yang terbaik, ternyata itu semua tidak cukup. Karena lulusan dari luar negeri yang diutamakan, ditambah lagi sikapnya yang ceroboh selalu saja membuatnya gagal mendapat pekerjaan. "Yahh... yakin gak yakin, sih. Tapi harus yakin, soalnya gue perlu uang buat bayar tagihan sama buat hidup." "Well, kalau begitu semoga berhasil, deh. Siapa tahu elo hoki, dan kita bisa satu kantor." Maghia tidak menjawab, dia hanya bisa tersipu. Setelah bertukar no telepon, Salendra meninggalkannya. Maghia mengembuskan napas lega, saat punggung lelaki itu menghilang dari koridor. Waktu telah mengubah lelaki itu jadi jauh lebih menarik. Jujur, Maghia beberapa kali menghayalkan Salendra, tapi dia tidak menyangka kalau sosok remaja kurus itu sudah berubah menjadi lelaki dewasa yang tampan. Membuat Maghia sedikit tidak percaya diri. Mana mungkin sih, dia bisa berjodoh dengan lelaki setampan itu! Bukan berarti dirinya jelek, lho. Beberapa tahun belakangan ini, penampilannya sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Rambutnya yang dulu lepek dengan potongan ala kadarnya, kini panjangnya sebatas leher ala-ala member Idol Jepang. Jerawat-jerawat puber di wajahnya hilang tanpa bekas. Setelah berhasil menghentikan kebiasaannya ngemil, badannya yang dulu gemuk kini sudah langsing. Hanya ada satu yang kurang, dadanya masih sebesar telur ceplok! **** Deringan suara ponsel terdengar sangat menjengkelkan di telinga Barry. Deringan itu tidak berhenti sampai Barry menggulingkan tubuhnya, dan melemparkan selimutnya keluar dari ranjang. Barry yang masih mengantuk, menghardik si penelepon tanpa melihat namanya. Kemudian dia meringis saat Merry mengoceh panjang lebar, mengingatkan Barry tentang tanggung jawabnya sebagai pewaris Wira Hospitality Group. Memangnya siapa yang peduli? Gara-gara hotel sialan itu, Barry harus kehilangan wanita yang sangat berarti baginya. Pria itu hanya mendengarkan ocehan ibunya dengan mata setengah terpejam. Ketika Merry mengakhiri pembicaraannya, mood Barry sudah terlanjur rusak membuatnya malas melanjutkan tidur lagi. Saat dia merapikan tempat tidur, Barry sudah menyusun beberapa rencana dalam benaknya. Hal yang pertama kali harus dia lakukan adalah merapikan barang gadis itu, dan membuangnya jauh-jauh dari rumah ini! ***** Maghia, yang ingin segera masuk ke rumahnya, sibuk memasukkan anak kunci di depan pintu. Sepertinya kunci rumahnya rusak, karena sudah berkali-kali dicoba, namun pintunya tidak terbuka juga. Gadis itu sudah bersiap mendobrak pintu rumahnya, ketika Barry muncul di belakangnya dengan membawa bungkusan dari toko roti yang terkenal. "Kamu ngapain?" Maghia yang sudah bersiap menendang dengan mengangkat roknya menoleh. "Oh, kamu." "Memangnya kamu pikir siapa? Pangeran berkuda putih yang nolong seorang gembel untuk jadi puteri?" Mendengar ejekan Barry, Maghia hanya bisa mengibaskan tangannya. Kandung kemihnya sudah terlalu penuh dan mendesak minta dikeluarkan. "Kunci rumah kayanya rusak, deh. Dari tadi aku coba gak bisa-bisa." Sahut Maghia sambil meringis menahan buang air kecil. "Sampai planet Pluto ganti nama jadi planet Mickey mouse gak bakal bisa kalau pake kunci itu. Minggir!" Barry mendengus, kemudian memasukkan anak kunci yang sejak tadi ia pegang, Klik! Dengan mudahnya pintu itu terbuka. "Aku udah ganti kuncinya. Supaya jamur yang bikin gatal kaya kamu gak bisa masuk rumah ini sembarangan!" Maghia tidak mempedulikan ucapan Barry. Setengah berlari ia menuju ke kamar mandi. Menahan kencing dan mendengar ucapan Barry, sama-sama menimbulkan penyakit. Jadi lebih baik dia membuang penyakit dari kandung kemihnya dulu. Wajah Maghia terlihat lega setelah keluar dari kamar mandi. Gadis itu masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu. Namun, begitu ia melihat isi kamarnya, hampir sebagian besar isi kamarnya kosong. "Hah! Ada maling ya?" Maghia yang terkejut segera berlari keluar, menemui Barry yang duduk santai sambil melihat tv. "Eh! Kayanya rumah ini kemalingan, deh. Masa isi kamarku gak ada semua." "Maling dari mana! Sekarang maling pada pinter, mana mau mereka ngambil barang kamu yang sebagian isinya sampah." Barry menunjuk kardus dan kantong plastik yang ia letakkan sembarangan dengan dagunya. "Apa? Elo gila ya?" Maghia terkejut dan segera menghampiri tumpukan barang tersebut. "Kok dibungkusin kaya gini, sih?" "Sudahlah, mending lo rapiin sampah itu dan cepat pergi dari sini!" "Heh, Berry!" "Barry---pakai 'A' bukan 'E'. "Sebodo lah, mau pake 'a', 'i', 'u', atau pake telor juga, gue gak peduli! Heh! Dengar ya, sampai planet Pluto berubah jadi planet Mickey Mouse-" Barry mengerutkan dahi saat Maghia mengikuti analoginya. "Gue gak akan pindah dari rumah ini, karena gue punya surat perjanjian buat nempatin rumah ini." "Mana perjanjiannya? Sampai sekarang lo masih belum bisa tunjukkin kan?" Tantang Barry dengan wajah pongah. "Ngg itu...gue belum sempet carinya. Tapi gue berani sumpah kalau gue punya surat kontrak rumah ini!" Sahut Maghia panik. "Terserah, mau ada atau enggak surat kontraknya. Sebagai pemilik baru gue minta lo angkat kaki dari sini se-ce-pat-nya!" "Elo kenapa rese sih? Emang gampang cari rumah baru! Lagian uang gue belum cukup buat pindah. Rumah ini kan besar, apa salahnya kalau kita tinggal bareng di sini?" Bukannya kaget, Barry malah memandang aneh ke arah Maghia, dia bertanya-tanya dalam hati kenapa perempuan itu ngotot gak mau pindah dari rumahnya. "Tingggal bareng? elo ngajak gue tinggal bareng?" "Iya...kita bisa berbagi buat bayar listrik, air. Dengan begitu kita bisa saling bantu untuk meringankan beban masing-masing. Gimana?" Tanya Maghia sambil mendekatkan diri, kemudian memegang kedua tangan Barry. Barry terdiam, ia memandang rambut Maghia yang lepek kena hujan. Astaga perempuan kayak begini modelnya, ngajak tinggal bareng? "Kapan terakhir kali elo mandi? Kalau mau merayu cowok, minimal keramas, dong!" Barry membersihkan tangannya, seolah-olah baru saja menyentuh kotoran sambil menatap tajam Maghia. Tbc 05/07/17
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN