Bagian empat

1799 Kata
Jangan Lupa Vote dulu sebelum baca yes? Happy Reading ***** Maghia meluruskan punggung, dia berdiri tegak dengan kaki kiri sebagai tumpuan. Maghia mengangkat kaki kanan dan meletakkan telapaknya di dalam paha kiri. Pelan-pelan ia mengangkat kedua tangannya lurus ke atas. "Tree pose," seru instruktur di kelas yoga yang ia ikuti bersama Rena, sahabatnya. "Take a deep breathe. Inhale to the nose...exhale to the nose." Sementara murid lain mengikuti instruksi dengan patuh, Rena si kepompong alias tukang kepo dan rempong sibuk menggerecoki Maghia. "Jadi lo mutusin buat balikan sama dia?" "Balikan darimana? Gue gak pernah pacaran sama dia." Sahut Maghia sambil melakukan pose downward dog. Dia yakin posenya sekarang ini lebih mirip cewek yang siap di doggy style dari pada pose yoga karena Rena terus mengganggunya dengan pertanyaan yang enggak selesai-selesai. "Emang lo gak pernah jadian sama Salendra? Kalau dengar dari cerita lo, kayanya kalian dulu lumayan dekat, deh?" Rena tidak percaya. "Gosip lo! Gue ke Alen cuma cinta bertepuk sebelah tangan tauu!" "Masaaa!!" Seru Rena tak percaya, dan seruan itu menarik perhatian instruktur mereka. Maghia menelan ludah, membayangkan si instruktur yang merupakan ketua geng kontril aka komunitas jari ngetril mendekat, kemudian marah-marah karena mereka berisik di kelasnya. Maghia cepat-cepat mendorong Rena menjauh, dan kembali konsentrasi dengan posenya. Dari pada kena semprot pria ngondeka tunggal ika. Karena sekali semprot malu seumur hidup. Selesai yoga, mereka berjalan bersisian. Rena heboh sendiri mendengar cerita Maghia. Wajahnya nampak penuh semangat dan gembira. "Mungkin Tuhan mulai jawab doa-doa lo, Ghi." Rena menyikut Maghia yang tengah meneguk air mineralnya. "Emang lo tau gue berdoa apa?" "Minta jodoh lah. Tuh buktinya, tiba-tiba elo ketemu sama mantan gebetan." Ejek Rena. "Pala lo!" Maki Maghia, wanita itu bergerak-gerak gelisah di kursinya. "Gue malam ini nginep di kost-an lu ya, Na?" Rena meringis. "Gue sih boleh-boleh aja. Tapi lo tau sendiri gimana kost-an gue. Mending lo sekalian pindah ke kost-an gue aja, Ghi. Dari pada nginep, peraturannya kan kalau nginep sama dengan sewa kamar sebulan." Maghia menelan ludah, lalu berkata. "Srondol emang induk semang lo! Gue mau pindah juga duit dari mana? elo tau sendiri, gue belum dapat kerja sejak dipecat kemarin." "Duhh kasihan banget sih hidup lo, Ghi." Rena nampak bingung dan iba. "Emang teman serumah lo umur berapa sih?" "Sekitar tiga puluhan kayanya, kenapa?" "Elo gak papa tinggal serumah sama dia? Maksud gue, kalian kan dua orang dewasa." Rena nampak khawatir. Namun, Maghia terlihat santai. "Kecuali mulutnya yang nyebelin, dia keliatan enggak berbahaya. Yahhh tipe-tipe BPJS lah." Rena mengernyitkan kening. "Kok BPJS, sih? Elo bilang dia kelihatan tajir." "Emang kelihatan tajir kok." Gerutu Maghia. "Maksud gue, tipe-tipe Badan Padat Jiwa Sekong. Sejenis maho lah, kenapa?" "Masa maho sih? Sayang banget, dia cerita ama elo gitu kalau dia maho?" "Gue nebak!" Ucap Maghia sambil mengikat tali sepatu sneakersnya. "Faak lo, Ghi. Main nebak-nebak aja. Ati-ati lo, tiba-tiba dia salah masuk kamar bisa hilang tuh perawan. Kedua gadis itu saling bertukar pandangan sebelum akhirnya Rena meringis. "Tapi jangan hilang perawan dulu, deh. Kali aja lo nikahnya sama Salendra, kasian kan dia kalau dapat perawan bolong." Maghia memandangi temannya itu sambil merengut. Dia cepat-cepat berdiri sebelum pembicaraan mereka semakin melantur. "Dengar ya, Rena. Fokus gue sekarang ini cari kerja, bukan cari suami." "Kenapa gak dua-duanya?" Emang lo gak takut jadi perawan tua, lihat tuh bibir sampai kering, sangking lama gak ciuman!" Maghia mengabaikan pendapat Rena. Dia malah sibuk memelototi ponselnya. "Gue berani bertaruh, sebentar lagi lo bakal berubah pikiran." Tantang Rena. Maghia menyambar tasnya. Sudah hampir jam tujuh. Dia harus segera pergi sebelum manajer di tempat kerja paruh waktu memecatnya. "Well, kalau gitu kumpulin duit lo banyak-banyak. Karena elo pasti kalah." **** Maghia berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan masuk yang berujung di sebuah rumah mungil yang lantai duanya belum selesai di bangun. Dia naik ke atap melalui tangga yang letaknya di belakang rumah. Pemandangan kota yang terlihat dari atap terlihat sangat indah. Pemandangan itu lah yang membuat Maghia jatuh hati, ketika pria paruh baya yang mengaku kawan ayahnya datang, mengaku dirinya bangkrut, kemudian menyewakan rumah dengan harga dibawah pasaran karena keadaan yang mendesak. Seperti kebiasaannya, kalau sudah suka sama sesuatu- yang tentunya bukan laki orang- Maghia tidak pernah berpikir panjang. Dia langsung mengambil semua tabungannya dan membayar sewa selama dua tahun. Maghia juga merogoh kantungnya dalam-dalam untuk beli ayunan rotan yang cantik. Walau kantungnya dirogoh sampai jebol, uangnya tetap kurang. Ujung-ujungnya dia kredit supaya bisa punya ayunan itu. Biarin deh, buat kali ini. Biar tekor asal keren, dan siapa yang mengira setelah dia menghabiskan seluruh tabungannya ditambah sekarang punya hutang cicilan, Maghia dipecat dari pekerjaannya sebagai Admin disalah satu travel online terkenal. Alasannya sepele padahal. Maghia iseng flirting sama salah satu tim IT yang pendiam dan lumayan cakep. Sialnya Maghia, ternyata cowok itu cucyok meong dan pacar baru si pemilik travel yang ganteng tapi dingin sama cewek. Pantas aja dingin, lha wong si bos lebih suka ngisep pisang dan seret-seret lewat lubang septi tanc, dari pada ngenyot s**u dan masukin burung ke sarang yang benar. Takut aibnya terbongkar, Maghia langsung dipecat dengan pesangon 3 bulan gaji. Sekarang uangnya semakin menipis, setipis iman cewek-cewek kalau lihat barang discount-an. Mengingat hal itu, Maghia hanya bisa menarik napas dalam. Semilir angin malam membuat Maghia mengantuk, terlalu malas untuk pindah ke kamar. Maghia memutuskan untuk menutup matanya sebentar. ***** Barry naik ke atap dengan hati dan langkah yang berat setelah seharian menahan perasaannya. Gimana enggak? Hari ini, tanpa sadar dia mengarahkan mobilnya ke rumah Arsjad, yang sudah pasti rumah Marsha juga. Barry hanya mau tahu bagaimana kabar Marsha. Yahh... bisa dibilang alasan lah. Soalnya kalau memang benaran mau tau kabar wanita itu, seharusnya dia tanya langsung saja ke Arsjad yang sekarang menjadi salah satu petinggi dan pemegang saham di hotelnya. Bukannya memarkir mobilnya beberapa meter dari rumah wanita yang perutnya agak membuncit itu, dan memperhatikan gerak-geriknya dari jauh sambil membayangkan berbagai macam pengandaian. Padahal yang diandai-andaikan sedang bercengkerama dengan suami dan anaknya yang berjumlah. "Satu...dua...tiga." Barry menghitung dalam hati jumlah anak Marsha dan Arsjad. "Astaga! Arsjad benar-benar. Anak udah kaya anak tangga gitu, istrinya udah hamil lagi aja." Entah kenapa Barry kesal sendiri melihat Marsha yang tengah hamil. Padahal yang hamil dan menghamili terlihat bahagia dan sejahtera. Membuat Barry yang melihatnya sebal. Seandainya ada minimarket dekat situ, pasti Barry sudah mampir, borong teh melati yang bisa mengenyahkan gerah hati. Barry mengembuskan napas keras sambil berjalan menuju ayunan rotan yang entah sejak kapan ada di situ. Lelaki itu menghentikan langkah, memandang tajam ke arah Maghia yang meringkuk nyaman seperti seekor kucing yang mengantuk. Sosoknya yang tertidur terlihat sangat...sangat damai. "Heh! Bangun. Pindah sana." Barry menusuk-nusuk pipi Maghia dengan ujung telunjuknya. Maghia masih tidur, jangankan bangun. Menggerakkan kepala juga enggak. "Hoii banguuun. Buka mata!" Kali ini Barry menendang-nendang Maghia, tapi wanita itu hanya menggeser sedikit tubuhnya. Barry kemudian menarik tangan Maghia sampai duduk. Barulah Maghia membuka matanya dengan kaget. "Apaan sih?" Gerutunya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. "Kok elo masih di sini sih? Bukannya tadi pagi pamit ya? gue kira pamit selamanya." Dari caranya bicara, kelihatan sekali kalau Barry berharap supaya Maghia berada sejauh-jauhnya dari kota ini. Sayang, harapan lelaki itu tidak akan cepat terkabul, paling tidak sampai dua puluh bulan ke depan. "Hewmaangnhya lo nyuwruhh gue khemana?" Tanya Maghia sambil menguap. "Kemana kek! Ke rumah orangtua lo, cari kontrakan lain, asal bukan di sini." sahut Barry ketus. "Orangtua gue cuma tinggal ayah, Bar. Tapi gue enggak tau beliau dimana. Jadi gue benaran gak bisa pergi dari sini, karena gue gak punya tujuan lain," sahut Maghia, tanpa menceritakan pekerjaan ayahnya sebagai pengelola pasar malam, yang membuatnya tidak bisa menetap di suatu tempat dalam waktu lama. Barry mengusap-usap dagunya. "Baiklah, kalau gitu lo bisa tinggal di sini." Maghia mengerjapkan mata tidak percaya, lalu tersenyum lebar. "Serius? Sampai masa kontrak rumah selesai kan?" Barry mendengus, membuat Maghia cemas. "Sampai masa kontrak habis? Gak sekalian aja, lo minta rumah ini cuma-cuma!" "Terus sampai kapan? Setahun?" Barry menggeleng. "Enam bulan?" "Maksimal satu bulan!" Maghia merengut. Satu bulan? Belum tentu dia dapat kerja dalam seminggu kedepan. "Empat bulan, deh. Boleh ya?" "Dua bulan, maksimal. Nawar angkat kaki!" Melihat sikap dingin Barry, Maghia tidak bisa menawar lagi dan hanya tersenyum canggung. "Buat pengaturan kamarnya, enggak apa-apa kalau bersebelahan takutnya..." Sebelum Maghia sempat melanjutkan kalimatnya, Barry langsung memotongnya. "Jangan khawatir. Gue sukanya cewek highclass, bukan serbet warteg kaya gini." Wajah Barry langsung berubah tak senang. Astaga! Kalau dalam keadaan normal, dan ada lem tikus, pasti sudah Maghia pakai untuk menutup mulut Barry, tapi sayang. Hidup Maghia sekarang bergantung pada kebaikan lelaki itu, hanya seekor anjing yang menggigit kaki orang yang telah menolongnya. Keadaan menjadi sunyi. Maghia memandang ke sekeliling untuk mengalihkan perhatian. Tatapannya tertumbuk pada bungkusan makanan cepat saji yang di bawa Barry. Krucuuuk tiba-tiba perut Maghia terasa lapar. 'Wuihh Carl's burger. Gue paling suka yang Teriyaki sama Jalapeno." Seru Maghia antusias. Lagi-lagi Barry menatap Maghia dengan aneh. "Gak ada jatah buat lo!" "Eh, tapi itu banyak banget kan. Kalau gak habis gimana, sayangkan." "Lo jadi cewek sok tahu ya. Kalau lagi laper, lo juga bisa gue telen." Barry menghampiri Maghia, memberi kode agar wanita itu menyingkir dari ayunan. Maghia yang tampangnya memelas hanya bergeser, menyisakan tempat untuk Barry di sebelahnya. Barry mana mau, duduk bersebelahan dengan orang yang gak jelas asal usulnya. Lelaki itu harus menggunakan sedikit taktik supaya wanita itu mau segera menyingkir. "Eh, siapa tadi nama lo?" "Maghia, gue Maghia. Ehehehe." senyum Maghia terlihat seperti orang bodoh di mata Barry. "Elo ke bawah gih, ambil bungkusan deket tv." Dengan enggan, Maghia bangun dari posisi nyamannya, menyeret kakinya kebawah. Tidak sampai sepuluh menit, Maghia sudah kembali dengan tangan kanan membawa bungkusan dari toko roti, yang di minta Barry. Tangan kiri membawa dua kaleng cola dan sebotol air mineral yang dia masukkan dalam kantung plastik. Barry mengambil botol yang disodorkan Maghia. Dia juga mengembalikan bungkusan dari toko roti kepada Maghia. "Buang aja nih. Gue lupa taruh di kulkas." "Kalau gak doyan, kenapa beli? buang-buang duit aja. Tau gak?" Omel Maghia. "Kalau mau ambil aja. Gue enggak suka sampah." Sahut Barry kalem. Alhamdulilah, rejeki anak baik. Siapa yang gak senang coba? Lagi lapar, bokek terus dihibahin makanan enak. Yahh walau cuma eclairs yang bentuknya aneh, tapi lumayan lah, dari pada manyun liat orang makan burger. Maghia merenggut kait pembuka kaleng, dan mendekatkan kaleng yang sudah terbuka itu ke bibirnya. Kemudian berseru "Ahhh" saat cola dingin itu mengaliri tenggorokannya. Dengan santai dia menggigit sebuah eclairs dan merasakan rasanya. Kok agak aneh sih, tapi emang gini kali ya rasanya? Eclairs pertama rasanya sedikit aneh, kedua sama, ketiga gak ada bedanya. Tanpa sadar Maghia sudah menghabiskan lima buah eclairs sendiri, dan testimoninya? Fixed kalau bukan karena barang gratisan, Maghia gak akan mau beli eclairs dari toko roti ini. Walapun Maghia belum pernah ke sana, tapi yang ia tahu dari explore IG, harga per enam potongnya hampir seratus lima puluh ribu, tapi buat apa bayar mahal kalau gak enak? Barry mencuri pandang ke arah Maghia yang duduk di kursi panjang dengan seringaian di bibirnya. "Kok diem aja, Ghi? Terkesan ya sama makanan mahal?" "Yang ada heran." "Kok heran?" "Ya heran aja, makanan rasanya aneh kaya gitu dijual mahal, tapi laku. Gue sih mending beli gorengan, 150ribu dapat penggorengannya juga." "Itulah bedanya orang kaya sama orang miskin. Kalau orang kaya makanan sudah dua hari dibuang, kalau orang miskin dihabisin sampai gak ada sisa." Ucap Barry santai. Astaga, jadi yang dia maksud makanan sampah itu? Mendadak Maghia merasa mual, dan dia berdoa dalam hati, agar Tuhan masih kasih kesempatan untuk melihat matahari besok pagi. Tbc 08/07/20
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN