Jangan Lupa Vote dulu sebelum baca yes?
Happy Reading
*****
Hari masih pagi, ketika beberapa petinggi WHG keluar dari ruangan Barry. Secara mengejutkan, pria itu muncul di ambang pintu kantornya, dan memanggil semua kepala bagian untuk briefing di ruangannya, dan baru selesai beberapa menit yang lalu.
"Benar-benar enggak bisa dipercaya. Si tuan yang tidak mau peduli, akhirnya duduk di sini buat mengurus hotelnya."
Hanya Harris, satu-satunya sekretaris yang bisa, dan sering bicara dengan bosnya dengan sikap angkuh dan tidak sopan seperti itu.
Sudah bertahun-tahun, pria paruh baya yang masih melajang itu, bergabung dengan Wira Hospitality Group, sebagai sekretaris yang dipilih oleh Merry untuk Aidil. Tidak heran, kalau sikapnya agak sedikit menyebalkan.
Barry diam, dia berusaha untuk tidak menggeram marah mendengar sindiran Harris. Ucapan Harris memang ada benarnya, selama lima tahun terakhir Barry selalu bermain-main dan menyerahkan pengelolaan bisnis keluarga mereka di tangan Aidil.
"Jadi ada angin apa, nih?" Harris menyodorkan dokumen yang berisi daftar riwayat hidup calon karyawan baru. "Kenapa tuan muda yang susah diatur, tiba-tiba muncul. Bukan karena surat wasiat, kan?"
"Memangnya, Om pikir aku peduli sama surat wasiat itu!" Barry berkata dengan dengan angkuh.
"Lalu, apa?" Tanya Harris, kepo.
Dari sudut matanya, Barry bisa melihat Arsjad dan Salendra yang pura-pura fokus dengan laptopnya.
"Yahh, aku kan cuma ikutin kata pepatah. Sejauh-jauhnya bangau terbang, akhirnya jadi merk kecap juga." Barry mengambil kertas dari tangan Harris, memusatkan tatapannya ke sana.
Seperti kebiasaannya dulu, Barry selalu melihat pendidikan terakhir. Pelamar lulusan sekolah lokal akan langsung dia singkirkan, tanpa peduli seberapa bagus nilainya.
Barry mengerutkan wajahnya, seraya mengalihkan tatapannya dengan kesal. "Siapa yang kasih penilaian wawancara terakhir kemarin?"
Saat itu, Salendra yang masih bicara dengan Arsjad menoleh.
"Kenapa, ada masalah?"
"Seharusnya gue udah bisa nebak, pasti elo yang terima orang ini!" Barry menyodorkan selembar kertas, yang bahkan tidak ia lihat foto dan namanya.
"Terus?" Salendra menatap lembaran kertas dan Barry secara bergantian dengan ekspresi 'memang ada yang salah'.
"Lihat dong, orang itu lulusan mana. Elo tau, kan. Standar kita buat penerimaan karyawan baru?"
"Gue rasa dia berkompeten, Bar. Walau bukan lulusan luar, tapi sekolah perhotelan ini salah satu yang terbaik. Benar kan, Ar?" Salendra menoleh ke arah Arsjad, minta dukungan.
Arsjad memandang Barry sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangan ke laptop membuka beberapa file, sebelum dia berkata. "Gue rasa yang dia bilang benar, Bar. Kita harus mengurangi perekrutan karyawan lulusan luar, lulusan lokal juga bagus kok."
Barry mengusap-usap dagunya, masih belum merasa yakin. Sementara, Harris mencondongkan badannya ke depan, meletakkan kedua lengannya yang terbungkus kemeja berwarna biru ke lengan kursi kulit di samping meja besar Barry.
Meja kayu antik itu, dulu milik ayahnya, begitu juga ruang kantor luas tempat mereka sekarang duduk. Dan, sialnya ketiga orang di depannya, adalah tangan kanan ayahnya. Mau tidak mau Barry harus mendengar masukan dari mereka.
"Mana ada sih, lulusan lokal yang bagus? Kalian tahu, kan. Gimana sistem pendidikan di sini? Bobrok!"
"Elo tau enggak, Bar. Berapa anggaran gaji yang bisa kita pangkas kalau merekrut lulusan sekolah lokal? Hampir 30%, selisihnya bisa kita pakai untuk meningkatkan mutu pelayanan." Salendra berkata tanpa berpikir panjang pada bosnya.
Barry agak tidak suka dengan Salendra Adnan. Karena Aidil, ayahnya lebih mempercayai pria muda itu. Mungkin karena ayahnya, lebih suka dengan anak penurut dari pada pemberontak seperti Barry.
"Gimana mau perbaiki mutu, kalau karyawannya lulusan sekolah yang enggak bermutu?" Katanya datar.
"Kaya elo bermutu aja, Bar. Elo kan lulusan SMA negeri biasa. Bedanya lo lahir dengan emas, jadi gak perlu susah payah buat mencapai posisi lo yang sekarang." Sindir Arsjad setajam silet.
"Itulah kenapa orang berbakat, tidak akan pernah menang melawan orang yang beruntung." Sahut Barry jumawa. "Elo mau tuker posisi sama gue?"
"Belum move on dari istri gue rupanya. Mau lihat ini gak?"
Barry mengawasi sementara Arsjad sibuk mengutak-atik ponsel, kemudian, pura-pura bertanya, "Ok Google, kapan Barry Wirawan bisa mendapatkan kembali hati Marsha Ayunda?"
berikut adalah hasil pencarian gambar, kapan Barry Wirawan bisa mendapatkan kembali hati Marsha Ayunda:
Salendra dan Harris tergelak ketika melihat gambar yang ditunjukkan Arsjad. Suasana yang tadinya tegang, sedikit mencair karena tingkah konyol papa muda yang membuat chabelita~Chabe lincah bonceng tiga~menjerit histeris itu.
Sementara Barry hanya tersenyum kecut. Dia mengembuskan napas ke poni depannya dengan tatapan 'enyah kalian dari sini'. Secepatnya!
"Gue harus balik ke ruangan, nih. Banyak kerjaan." Arsjad bangkit berdiri, mendorong kursinya ke belakang dengan santai. "Sebaiknya elo pikirin lagi tentang perekrutan ini, Bar. Jangan kebanyakan mikirin Marsha, dia udah ada yang mikirin. Oke!"
Barry mengeluarkan umpatan singkat dan pelan. Begitu kedua orang itu keluar dari ruangan, Harris mendekati Barry.
"Apa rencanamu?"
"Itu yang lagi aku pikirkan. Menurut Om, apa aku mampu menerima warisan Wira Grup ini?"
"Jalani aja dulu, mampu atau enggaknya, akan ketahuan setelah kamu jalani dengan serius."
Barry mengembuskan napas lega, dari sekian banyak orang yang meragukannya. Ternyata masih ada orang yang mempercayai kemampuannya.
"Aku mau pulang nih, masih ada yang diomongin gak?"
Untuk sesaat Harris terlihat ragu. Pria yang rambutnya berwarna abu-abu itu mengeluarkan foto dari saku kemejanya.
"Om nemu ini sewaktu merapikan meja ayahmu. Seminggu setelah beliau meninggal."
Di foto lama yang sebagian warnanya luntur karena lama disimpan, tampak sosok ayahnya yang memeluk seorang wanita. Dari perutnya yang besar, Barry sangat yakin kalau wanita itu sedang hamil.
Dalam foto itu, ayahnya menunjukkan tawa lebar. Tawa yang belum pernah dilihat oleh Barry selama ini.
Barry menatap foto itu dengan wajah penuh tanya. "Siapa wanita ini?"
"Om juga enggak tau."
"Jadi?"
"Kamu ingatkan, sewaktu kamu batal menikah. Orangtua mu sempat ribut besar?"
Barry mengangguk. "Ingat. Kata Mama, papa punya selingkuhan dan anak dari selingkuhannya. Jangan-jangan perempuan ini..."
"Itu juga yang ada dalam pikiran om," Harris bergumam pelan.
"Mama udah tahu tentang ini?"
"Kamu pikir, Mama mu akan setenang itu menikmati hidup setelah lihat foto ini?"
"Satu-satunya hal yang bikin mama nggak tenang, kalau saldo di rekeningnya mulai menipis!" Barry berkata dengan sinis.
"Apa kamu enggak penasaran? Besar kemungkinan, kamu punya saudara satu ayah. Apa kamu gak berpikir, kalau dia juga punya hak yang sama denganmu?"
Barry memandang Harris dengan tajam. Dia memang sedikit penasaran siapa wanita yang di foto tersebut. Hanya sedikit.
"Ya udah lah." Barry mengibaskan tangannya. "Kalau memang benar ada, suatu saat dia butuh pengakuan. Pasti dia akan muncul, benar kan?"
Tidak ada yang bisa dilakukan Harris, selain hanya mengangguk dan menyetujui pendapat bosnya itu.
"Kalau gitu, aku pergi dulu ya." Pamit Barry seraya meletakkan foto ke atas meja.
Setelah diam-diam melihat dan menyimpan wajah perempuan di foto tersebut dalam otaknya.
****
Jam tangan yang melingkar di tangan Barry menunjukkan pukul 18.00 ketika pria itu memarkirkan motor besarnya di halaman.
Matahari yang belum sepenuhnya terbenam, menyorotkan sinarnya yang temaram ke pemukiman yang terlihat sepi. Hidungnya mencium bau ayam yang baru digoreng.
Ketika ia membuka pintu, bau itu semakin tajam. Membuat perutnya mengeluarkan bunyi. Barry melangkah perlahan, sambil mencari-cari keberadaan Maghia.
Samar-samar telingannya mendengar suara orang yang berdoa. Suara itu semakin jelas, saat melewati kamar Maghia, dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dilihatnya wanita itu sedang duduk terpekur di sebelah tempat tidur.
Melihat Maghia yang khusyuk, mendadak Barry merasa tentram dan damai. Dia masih berdiri di tempatnya ketika suara Maghia semakin jelas.
Allahuma ini jaman makin sulit
Ya ini lapangan kerja makin dikit
Alhasil pemasukan shodikit
Kepala atit pusing melilit
Mau tidur rasana sulit
Kalau ada rizki rizki dikit
Kirimin-kirimin teman yang gak medit.
Amin.
Astaga. Doa apaan nih? Barry memang bukan orang yang rajin ibadahnya. Ngaji juga baru sampai iqro empat, tapi kalau sekadar doa dan surat pendek. Barry lumayan hapal, dan sepertinya dia belum pernah sekalipun mendengar doa yang barusan di baca Maghia.
Maghia yang galau tidak menyadari kedatangan Barry. Dia masih terpekur. Hatinya sangat sedih, sama menyedihkannya dengan kondisi dompetnya.
Maghia merebahkan badannya di lantai. Dia berguling-gulingan di lantai. Kemudian terlonjak bangun ketika mendengar suara.
Brakk!!
Pintu kamar mandi yang ditutup. Maghia duduk dengan mata berbinar. Di kepalanya sudah terbayang, rupiah yang akan mengisi dompetnya yang sekarang seperti merintih.
Dia berjalan mengendap-endap ke tempat penampungan air yang tersembunyi di bagian belakang rumah. Maghia menunggu dengan sabar sambil menghitung dalam hati.
Tidak berapa lama.
"Maghiaaaa!!!!"
Maghia pun langsung berlari ke arah sumber suara. Dia tidak mengira akan ada sesuatu mencengangkan yang menantinya.
Sesuatu yang Maghia amat sangat yakin, membuat ciwi-ciwi, golongan chabelita, langsung beraksi gesek grepek s**********n sambil goyang ulet bulu, kibas ketombe.
Barry sedang berdiri depan kamar mandi, hanya mengenakan handuk seadanya untuk menutupi tubuh bagian bawah. Air masih menetes dari badannya yang unchhh...unchh, walau bukan roti sobek, apalagi roti kasur, tapi sepertinya enak buat dipeluk dan dibelai dengan manjiahh menggoda.
Semua pemandangan ini, enggak pernah ada dalam skenarionya.
"Elo gak waras ya?" Bentak Barry memutus lamunan Maghia. "Airnya mati, tuh. Benerin sana!"
"Eh itu." Maghia terlihat salah tingkah. Dia berusaha fokus bicara dengan melihat wajah Barry, tapi tubuh bagian bawah milik lelaki itu seperti ada Maneki Neko, yang cakarnya naik turun seakan-akan bilang 'ayo lihat...lihat..lihat'.
"Heh! Cepet, pake bengong lagi?"
"Sorry, Bar. Gue belum bayar PAM. Eheheheh." Tawa Maghia yang seperti orang bodoh keluar lagi.
"Jadi gue gimana, nih!"
"Di bak ada air, kan? Bilas aja pake itu."
"Gue gak pernah mandi pake air bak!" Hardik Barry.
"Kalau gitu, bayar aja dulu tagihan PAM nya."
Sebenarnya Maghia tidak mau seperti ini, tapi tau dong. Kejahatan terjadi bukan karena ada kesempatan, tapi karena bokek!
"Lagian kenapa sih PAM-nya gak dibayar. Bikin susah aja!" Gerutu Barry.
"Ya udah, sih bayar aja dulu. Nanti kalau gue udah kerja, gue ganti."
Dengan tergesa, Barry berjalan ke kamarnya kemudian kembali beberapa detik kemudian dengan tiga lembar ratusan di tangannya.
"Nih! Bayar sana."
Maghia tersenyum lima jari, seraya memberi hormat. "Siap, Boss. Perintah dilaksanakan!"
Setengah berlari, Maghia ke belakang. Membuka saluran air dari tempat penampungan yang tadi sengaja ia tutup.
Hidup semakin keras, Bray. Apalagi sekarang makin banyak anak Soleh yang cari rezeki, bikin peta persaingan makin sempit. Jadi sebagi anak pintar, Maghia harus sedikit putar otak. Lagian, uang tiga ratus ribu gak akan bikin Barry miskin. Benar, kan?
Tbc
12/07/17