Terbiasa Denganmu

1802 Kata
Di dunia ini, semua hal bisa berubah. Perasaan begitu rapuh, kerap berubah dan hal inilah yang membuatmu paham bila cinta sejati adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi di dunia ini atau mungkin hanya ada satu persen pasangan di dunia yang mampu menemukan cinta abadi tersebut. Kau pikir, cinta adalah sesuatu yang menguatkan. Kau pikir, pernikahan adalah sesuatu yang mampu mengikat cinta, bukan sekadar membuat perasaan itu semakin kuat, namun juga bisa membuatmu dengan orang yang kau cintai terus bersama hingga aja menjemput kalian. Sepeninggalan Lian dari rumahnya, perempuan itu segera pergi menuju kamarnya. Menangis dengan posisi meringkuk seperti anak kecil yang tak berdaya. Dirinya memutuskan bila hari ini adalah hari terakhirnya menangis. Setelah hari ini, maka Ayu tak ‘kan meneteskan air matanya untuk Lian. Pria yang tak seharusnya ia tangisi sejak awal. Pria yang telah menghancurkan komitmen yang harusnya dijaga hingga maut memisahkan mereka berdua. Entah sudah berapa lama Ayu menangis, hingga kantuk menjemputnya. Wanita itu kesulitan membuka matanya yang membengkak karena menangis semalaman. Perempuan itu duduk di tepi tempat tidur, menatap sekeliling kamarnya yang tampak gelap gulita. Dirinya sendiri di sana. Ia tak lagi menemukan Lian di sisinya. Tak ada sambutan manis dengan senyum hangat yang biasa pria itu berikan padanya. Semua ini membuatnya sadar bila pria itu telah pergi. Meninggalkan dirinya dan juga cinta yang tadinya begitu ia sukai. Ayu tersenyum miris saat melihat bingkai foto berukuran besar yang tergantung di dinding. Di dalam foto itu, kebahagiaan mereka diabadikan. Senyum keduanya terlihat begitu indah, membuat beberapa tamu undangan yang saat itu datang menatap mereka iri. Mereka bukan menjadi ratu dan raja semalam di acara pernikahan itu, namun pasangan yang seolah diciptakan untuk dan ditakdirkan bersama begitu dilahirkan. Foto yang dulu membuat hidupnya terlihat begitu sempurna, namun kini hanya menambah sesak di dadanya. Ada amarah, kecewa, dan juga kebencian yang memenuhi setiap relung hatinya. Ayu meraih lampu tidur yang berada di samping nakas tempat tidurnya, berdiri, dan menatap foto itu dengan tajam. Sedetik kemudian, ia melemparkan benda tersebut tepat ke foto yang tergantung, hingga benda itu terjatuh ke lantai. Frame kaca tersebut hancur berantakan, sama hancurnya seperti pernikahan mereka. “Seharusnya, sejak awal aku nggak pernah memberi hatiku padamu. Lihatlah, apa yang kamu lakukan pada hatiku? Bagaimana bisa kamu begitu ceroboh dan menghancurkan hati yang ku titipkan padamu?” Ayu tak ingin menangis lagi. Namun apa daya, air matanya masih saja mengalir dari kedua matanya. Tubuh perempuan itu bergetar hebat. Amarahnya memuncak, namun kesedihan dari patah hati membuat rasa sedih mampu mengalahkan amarahnya. Ayu mengadahkan wajah ke atas, berusaha menghentikan tangisannya. Ia mengigit kuat bibir bagian bawahnya yang bergetar karena tangis. “Jangan bodoh, Yu. Apa yang kamu tangisi? Semuanya sudah berakhir dan seharusnya kamu nggak menangisinya. Dia yang berkhianat. Harusnya kamu marah dan menggunakan amarah itu,” Suara bathin Ayu menguatkan dirinya. Ayu menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Kemudian perempuan itu mengusap air matanya. Ia berjalan arah lemari pakaiannya yang sudah tampak kosong dari sebelumnya, hal yang membuatnya merasa sakit dan juga lega di saat yang bersamaan. Ayu tak bisa kembali lagi. Ia harus membuat pria itu paham, siapa yang berkuasa. Ayu segera keluar dari kamarnya dan menemukan Bi Atun, Asisten rumah tangga yang langsung melangkah mundur begitu Ayu membuka pintu. Perempuan paruh baya itu memandang Ayu dengan tatapan sendu. Perempuan yang sudah bekerja di rumah itu sejak dirinya masih remaja, sudah mengenal Ayu sejak perempuan itu dilahirkan. Sejak kedua orang tuanya meninggal, wanita itu lah yang menjadi satu-satunya keluarga Ayu. Orang yang tak berbohong ataupun bersikap palsu padanya. Satu-satunya orang yang berdiri di sisinya saat semua pergi. Di hadapan perempuan yang sudah seperti keluarganya sendiri, Ayu tak bisa berpura-pura tegar, perempuan itu pun sudah mendengar keributan dari dalam kamar Ayu. Ia bisa menebak bila perempuan itu sangat kacau saat ini. Bibir bagian bawah Ayu kembali bergetar dan tanpa menunggu lagi Bi Atun segera membawa Ayu ke dalam pelukannya. Di dalam pelukan perempuan paruh baya itu, Ayu tak lagi menahan tangisnya. Ia menangis tersedu-sedu di dalam pelukan perempuan itu, sedang tangan Si perempuan mengusap-usap lembut punggungnya. “Jangan menangis lagi, Mbak Ayu. Semuanya akan baik-baik saja dan Mbak Ayu pasti bisa menghadapi semua ini. Ingat waktu Nyonya dan Tuan meninggal?” Wanita itu melepaskan pelukan mereka dan mengusap air mata Ayu, sedang Ayu menatap wanita itu nanar. “Saat itu, Mbak Ayu bilang kalau Mbak Ayu akan tumbuh menjadi wanita yang kuat agar papa dan mama Mbak Ayu merasa bangga dan nggak lagi mengkhwatirkan Mbak Ayu,” Perempuan itu mengusap lembut wajah Ayu, “Mbak Ayu sudah membuktikannya dan tumbuh menjadi wanita yang kuat. Kali ini, Mbak Ayu hanya perlu kembali bangkit seperti hari itu. Mbak Ayu bahkan bisa membungkam semua mulut yang mengatakan kalau Mbak Ayu nggak mampu mengelola perusahaan di usia muda. Apa lagi Mbak Ayu adalah seorang perempuan, tapi apa yang terjadi? Perusahaan berkembang di bawah pimpinan Mbak Ayu.” Ayu terkesiap mendengarkan perkataan Bu Atun. Ia tak tahu bila dirinya pernah sekuat itu. Semua ini karena Lian yang begitu memanjakannya, membuatnya terbiasa melakukan apa pun dengan bantuan Lian, hingga dirinya lupa bagaimana caranya untuk mandiri. Ia terlalu bergantungan pada pria itu, hingga dirinya lupa bagaimana caranya bangkit setelah terjatuh. “Bibi akan membersihkan kamar Mbak Ayu. Sebaiknya Mbak mandi dulu,” Perempuan paruh baya itu mengusap lembut lengan Ayu, sedang Ayu mengangguk pelan. Yang dibutuhkan mungkin memang mandi dan mendinginkan kepalanya. Memikirkan caranya untuk bangkit kembali. Memikirkan cara bertahan hidup tanpa Lian di sisinya. Sekarang, dirinya harus memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini, tak ‘kan ada Lian di dalam kisah hidupnya. Ia harus mengapus setiap rencana yang melibatkan Lian di dalamnya. Pria itu harus dilupakan. *** Mentari pagi bersinar begitu cerah, memberikan harapan baru bagi semua penghuni bumi. Begitupun dengan Ayu yang hidup dan hatinya sudah hancur berantakan. Hidup harus tetap dilanjutkan dan Ayu tak seharusnya menyerah hanya karena seorang pria mematahkan hatinya. Dua tahun pernikahannya dengan Lian bak cerita roman yang selama ini hanya disaksikannya dalam film romantis atau cerita-cerita cinta dalam novel fiksi. Begitu indah, hingga ia tak mencium bila ada sesuatu yang salah dalam hubungan mereka. Ia tak sadar bila pria itu bermain api di belakangnya karena semua keindahan yang pria itu berikan padanya. Saat sadar, semuanya sudah begitu terlambat. Tak mungkin bisa kembali ataupun diperbaiki. Terkadang, kau tak bisa mempercayai matamu. Kau akan selalu melihat hal yang kau ingin lihat bila hanya bergantung pada indera penglihatanmu. Matamu kerap menipu dan kau tenggelam dalam tipuannya. Ayu memilih pakaian terbaiknya. Ia memutar tubuhnya di depan cermin besar dan tersenyum puas. Sudah lama sekali ia tak mengenakan rok di atas lutut dengan blazer yang menunjang penampilannya. Wanita itu memulas riasan di wajahnya. Kini, dirinya tampak seperti wanita yang berbeda. Selama menikah dengan Lian yang sederhana, Ayu pun tak lagi pernah menggunakan riasan wajah. Perempuan itu hanya sesekali melakukan perawatan di salon dan karena dirinya selalu di rumah, Ayu tak lagi pernah mengenakan pakaian-pakain indahnya. Semua pakaian yang dulu membuat penampilannya sempurna, sudah lama tak ia sentuh. Betapa mengerikannya kehadiran seseorang di dalam hidupmu. Orang-orang yang menipumu dengan kata cinta dan membuatmu melupakan dirimu yang sesungguhnya. Orang-orang yang mengatakan jika kau adalah satu-satunya, hingga kau berpikir bila kata selamanya adalah sesuatu yang pasti bisa kalian capai bersama. Pada akhirnya, kata yang keluar dari bibir memang tak bisa dipegang, bisa lepas begitu saja, dan tak bisa menjadi jaminan. “Kamu pikir, hanya kamu yang bisa menyiksa bathinku?” Ayu tersenyum tipis pada pantulan dirinya di cermin. Perempuan itu mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya dengan kuat-kuat. Bila dulu, dirinya menggunakan cinta untuk menemukan kebahagiaan dan tujuan hidup, maka sekarang ia harus menggunakan kebencian untuk kembali bangkit. Meski tak semua cinta bisa dihapuskan, namun Ayu tahu bila kebencian adalah hal yang harus dimilikinya. Ayu yang sudah merasa siap untuk memulai harinya, segera menyambar tas tangan yang berada di atas tempat tidur. Meski dirinya tak begitu yakin bisa menghadapi Lian, namun ia harus menjadi kuat agar pria itu tahu bila dirinya tak bisa disia-siakan. Dirinya jauh lebih berharga dari seorang perempuan simpanan lain. Pria itu seharusnya tak pergi dan menghancurkan semua mimpi indahnya tentang cinta. Pria itu harus menyesal karena perbuatannya. Kini, Ayu tak mungkin lagi mundur. Dirinya terlalu cerdas untuk terus dibodohi. Selang beberapa menit kemudian, Ayu sudah tiba di ruang kerja yang semula ditempati oleh Lian. Ia sudah melakukan banyak renovasi pada ruangan itu. Kini, dirinya kembali berkuasa dan Ayu ingin melihat, apa masih ada perempuan yang menginginkan Lian yang kembali seperti dulu? Pria desa yang sederhana. Tampaknya, Lian harus kembali mengingat asalnya dan tak memainkan hati perempuan yang begitu mencintainya. Pria itu akan Ayu hancurkan agar ia puas. Suara ketukan di pintu, membuat Ayu mengatakan satu kata ‘masuk’ tanpa mengarahkan pandangannya ke arah pintu. Ia masih betah menatap keluar dan mengamati bangunan pencakar langit yang berada di sekitar tempatnya berada saat ini. Gedung-gedung tinggi yang saling berlomba untuk yang menjadi paling tinggi adalah pemandangan yang dulu sering dinikmatinya. Tentu saja, semua itu adalah hal yang diamatinya sebelum Lian masuk ke dalam kehidupannya. “Apa maksudnya ini, Yu?” Suara itu. Tanpa membalik tubuh pun, Ayu tahu benar siapa pemilik suara dalam yang dulu sering membisikkan kata-kata cinta padanya. Ayu tersenyum miring, tanpa ingin melihat pria yang saat ini pasti tengah menatapnya penuh amarah. Pria itu pasti merasa direndahkan dengan kekuasaannya yang diambil penuh oleh Ayu. Di sisi lain, Ayu merasa sedikit puas dengan reaksi pria memang yang sudah bisa ditebaknya itu. “Aku nggak paham dengan apa yang kamu maksud?” Ayu tak mau bersusah payah membalik tubuhnya, membuat Si pria terpancing emosinya. Ia mendekati Ayu, menarik lengan wanita itu dan membuat tubuh Si perempuan ke arahnya. Ayu memasang wajah datar begitu mereka sudah saling berhadapan, sedang Si pria merasa ada yang aneh di dalam hatinya. Ia sudah hampir lupa bagaimana dinginnya sikap Ayu dulu. Wanita itu selalu tersenyum hangat bak mentari. Memberikannya banyak cinta dan melayaninya dengan baik, namun sekarang berbeda. “Lepaskan tanganmu!” Ayu berkata dengan datar, membuat Si pria segera melonggarkan cengkraman tangannya pada lengan Ayu, “Aku nggak punya banyak waktu, jadi jangan menyia-nyiakan waktuku dengan datang ke ruanganku kalau kamu nggak mau membicarakan pekerjaan. Lagipula, seharusnya seorang staff administasi seharusnya sibuk di akhir bulan seperti ini. Lakukan pekerjaanmu dengan baik bila nggak mau dipecat,” Lanjut Ayu seraya tersenyum miring, sementara pria di hadapannya mengeraskan rahangnya. Ayu tahu pria itu marah, akan tetapi bukan hanya pria itu yang bisa marah. Dirinya yang harusnya lebih marah pada Lian. “Kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Apakah kamu mau menghukumku?” Pria itu menatap Ayu nanar, “Aku sudah nggak ada tempat tinggal karena kamu mengusirku dari rumah kita dan kini, kamu juga berusaha mengusirku dari perusahaan?” Pria itu memelas. Ayu tersenyum sinis. “Ralat. Rumahku yang kita tempati bersama, bukan rumah kita. Terserah apa katamu. Aku hanya merasa bila sampah sebaiknya dibuang pada tempatnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN