Rumah tangga. Sebuah kata yang tak asing bagi mereka yang sudah berumur untuk membina hubungan sakral antara seorang pria dan seorang wanita dewasa. Menjadi sebuah kewajiban melahirkan penerus bangsa, yang kelak akan dibanggakan kedua orang tuanya.
Sayangnya, kenyataan tidak seindah dan semudah itu.
Akan ada banyak hal yang menimbulkan berbagai ekspresi. Tawa, marah, sedih, kecewa ....
“Itulah yang menjadikan rumah tangga kuat. Harus diterpa badai, diterjang air bah, diporak-porandakan oleh ha-hal yang tidak kita inginkan. Kalau tidak, mungkin rumah tangga itu akan mudah terguncang.”
“Tapi ... tidak selamanya satu dari mereka akan bertahan. Yang satu akan pergi jika diacuhkan, yang satu akan pergi jika merasa kurang dari pasangan. Padahal seharusnya mereka mencoba saling melengkapi, bukan coba-coba lalu pergi jika tidak sehati.”
***
“Mas, ayo bangun. Nanti terlambat ke lokasi syuting.”
Setelah menyiapkan sarapan dan memilihkan setelan untuk dipakai suaminya, Diana membangunkan Dimas seperti biasa. Dimas bukan tipe orang yang bisa bangun hanya dengan suara, tapi harus disertai guncangan di tubuhnya. Masih dalam kadar lembut, Diana mengguncang bahu suaminya disertai gumaman, “Mas, bangun.”
Bukannya terjaga, Dimas malah beringsut mendekati Diana dengan mata tertutup dan lanjut tidur di pangkuan sang istri, bermanja-manja sambil memeluk pinggang Diana. “Bentar lagi,” gumamnya.
Diana berdecak. Bukan kesal, Dimas memang sering bermanja begini. Hanya saja pria yang mempersuntingnya setengah tahun lalu itu memiliki jadwal padat sebagaimana pesannya kemarin malam. Posisinya di proyek film kali ini cukup penting, Diana tak mau kru-kru itu dibuat kesal oleh Dimas karena menunggu terlalu lama.
“Katanya hari ini bakal sibuk, malah mau lanjut tidur lagi,” ujar Diana mengingatkan. Biasanya kalau masih ada waktu senggang, dia akan mengusap kepala Dimas dan membiarkan suaminya kembali tidur beberapa waktu. Tetapi, hari ini dia tidak melakukannya, bertingkah jadi istri kejam dengan memaksa Dimas bangun. “Ayo, Mas, nanti telat.”
Dimas mengerang. Meski sudah duduk, tapi masih menutup matanya. “Bentar lagi, Di. Masih ngantuk.”
“Enggak. Gak ada ngantuk-ngantuk, Mas, cepetan mandi. Aku udah siapin sarapan.”
“Masih lewat sebelas, istriku,” ujar Dimas dengan nada merengut. “Masih bisa tidur.”
“Gak bisa, Mas, katanya semalem harus dibangunin pagi-pagi. Makanya jangan suka begadang nonton bola, toh kalau menang gak untung apa-apa. Udah naik posisi bukannya rajin malah males,” cibir Diana.
“Itu tuh kepuasan, Di, kamu gak bakal ngerti.”
“Ya emang aku gak akan ngerti ‘kan ....” Diana terdiam, dahinya mengernyit. “Loh, malah bahas bola. Udah Mas cepet siap-siap ya. Aku ke dapur dulu. Mandi yang bersih, suami gantengku,” katanya sempat-sempat menggoda dan mencolek dagu Dimas.
Dimas mendengus, tapi tidak dihiraukan Diana yang langsung pergi ke dapur. Makanannya memang sudah siap, tinggal menyajikannya di meja makan. Tidak mewah seperti sajian yang biasanya hadir di rumah Dimas, tapi semoga lauk murah ini bisa mengenyangkan perut suaminya sampai jam makan siang nanti.
“Di, sabun abis ya?!” tanya Dimas menggema dari dalam kamar mandi.
“Ya udah bentar aku beli dulu!”
Diana bergegas pergi menuju warung sembako selisih empat rumah dari rumah sederhananya dengan Dimas. Menukar beberapa rupiah itu dengan satu sabun batang. Diana menatap lama kembalian di perjalanan kembali ke rumah.
Uangnya semakin menipis, tapi kebutuhan tanpa sadar juga semakin bertambah. Daftar belanjanya tidak membuat uang itu awet. Ada banyak barang yang habis otomatis ada banyak pula yang harus dibeli. Kalau dia tinggal sendiri seperti dulu, bisa saja menekan kebutuhan. Tetapi, sekarang ‘kan dia menyeret Dimas hidup susah. Tidak mungkin melakukannya.
“Lama banget, Di.” Dimas duduk di kursi meja makannya memakai pakaian tadi. Kerah dan rambutnya basah.
Diana diam-diam menghela napas. “Tadi ngantri,” katanya lesu.
Dimas langsung mendekat pada istrinya yang merebahkan diri di kursi ruang tamu. Telinganya menangkap nada tak biasa. “Kamu kenapa? Pulang-pulang, kok, loyo gini,” tanyanya melihat Diana yang memejamkan mata dan tangan bertumpu pada kening, seolah lelah. Dia ikut meraba dahi Diana. “Kamu gak enak badan, Di?”
“Enggak,” gumam Diana, “cuma capek aja. Kadang capek gak perlu alasan kenapa.”
“Cerita, sayang. Kalau enggak aku gak bakal berangkat nih.”
Diana mendelik. “Ngancem eh?” lalu melanjutkan, “Gak akan mempan.”
“Aku ngarepnya kamu gak cerita. Eh, jangan, kamu harus cerita, Di,” kata Dimas membuat Diana terkekeh.
Wanita itu bangun, menatap lama Dimas lekat-lekat. Mimpi apa dia bisa menjadi istri dari seseorang seperti Dimas? Dia tipe suami terbaik, bahkan bersedia hidup susah dan jauh dari fasilitas mewahnya hanya untuk bisa menikahi Diana. Wajah tampan itu bukan jenis wajah yang terbiasa berlalu lalang di pemukiman padat.
Tangannya bergerak menuju pipi Dimas, mengelusnya. Tatapannya jadi sendu.
Dimas mendengus, lalu membuang muka. “Kamu kalau udah kayak gini pasti inget tentang keluargaku, ‘kan?”
“Mas kalau gak tahan, bisa—”
“Cerai lagi?” Pria itu menyugar rambutnya dan menghembuskan napas lelah, kembali menatap Diana. “Udah aku bilang berapa kali, Di, kamu gak usah khawatir aku bakal nyerah sama kondisi kita. Aku akan berusaha membuat keadaan menjadi lebih baik. Ya? Kamu percaya, ‘kan?”
“Tapi kamu tahu kamu gak seharusnya ada di posisi ini, Mas.”
Dimas balas menangkup wajah Diana sehingga istrinya itu bisa merasakan tangannya yang dingin. “Dan kamu gak seharusnya bahas ini terus, sayang. Aku udah pilih kamu, artinya aku gak peduli keadaan kamu atau apa pun yang akan kita hadapi nanti, istri aku ya kamu.”
“Bun. Bunda! Ica laper, Bunnnn.”
Diana terhenyak, tersentak dari tidurnya. Tatapannya liar mengedari ruangan, lalu berhenti pada bocah yang duduk di sampingnya. Rumah itu tidak seperti rumah dalam mimpinya, terlihat lebih sederhana dan tidak sebagus rumahnya yang dulu. Tetapi di rumah ini, hidupnya jauh lebih baik meski kekurangan.
Gadis kecil mirip seseorang yang menorehkan luka dalam hatinya itu merengek sambil mengelus perut. Ah, dia ketiduran cukup lama. Pantas saja Disha lapar.
Tangannya yang agak kasar mengelus rambut Disha, lalu beranjak dan mengajaknya putrinya ke dapur. “Mau masak apa, Bun?” Seperti biasa, Disha akan naik ke kursi makan kayu dan mengintip bundanya membuatkan sesuatu untuk mengisi perut laparnya.
“Ica mau makan apa, sayang?”
Sebenarnya, tidak ada apa pun di lemari makan. Semua bahan sudah habis menjamu teman-teman Disha yang berkunjung ke rumahnya kemarin. Bisa saja Diana mengambil makanan di warung miliknya, tapi jika terus-terusan diambil tanpa ada pemasukan, dia tidak akan bisa berjualan lagi.
Sementara Diana berpura-pura sibuk membelakangi Disha, gadis kecil itu mendengung—seolah sedang menimbang-nimbang. “Kayaknya sarden enak ya, Bun.”
Diana berbalik, bersedekap dan mengerutkan dahinya. “Kemarin ‘kan sarden udah, Ca. Jangan banyak makan makanan kaleng.”
“Ah, Bunda, ‘kan tinggal ambil di warung,” rajuk Disha menggerutu.
Andai Disha sedikit lebih besar, mungkin Diana bisa lebih tega memberi tahunya tentang keadaan mereka saat ini. Alih-alih selalu memberikan alasan yang mengatakan bahwa kondisi mereka baik-baik saja.
Tidak. Tidak ada yang baik-baik saja di balik sepengetahuan anaknya. Uangnya terus mendekati angka belanja warung, sedangkan Diana tidak memiliki penghasilan tetap. Selama tiga tahun ini dia hanya mengandalkan jasa menjahit, hasil penjualan di warung, dan jika terpaksa menggunakan sejumlah uang yang dulu pernah ditinggalkan Ayahnya sebelum meninggal.
“Sarden di warung juga udah abis, nak,” kata Diana kembali berbalik. Jika nada bicaranya sudah seperti itu, Disha tidak akan melawan. Tetapi kali ini, Disha justru membuat kepalanya semakin pusing dan menantang emosinya.
“Ya kalau gak ada ‘kan bisa beli ke warung lain, Bun.”
“Bunda bilang jangan sarden ya jangan!” Tanpa sadar Diana membentak Disha dan membanting talenan kayu yang terletak di depannya. Anaknya membatu dan kemudian mulai terisak kecil, lalu berlari ke kamarnya setelah membanting pintu kayu kamar.
Diana tersadar. Tangannya gemetar saat menyadari apa yang sudah dilakukannya. Tidak. Dia tidak boleh membuat Disha membencinya atau pria itu akan dengan mudah mengambilnya.
Bayangan itu datang lagi membuat penglihatan Diana teralihkan. Saat di mana dia memergoki mantan suaminya dulu dengan sahabatnya dalam keadaan yang tidak pantas. Semua itu berputar, mengejek, dan memancing kemarahannya.
Seharusnya orang-orang itu yang menjadi sasaran kemarahannya, bukannya Disha.
“Sayang, maafin Bunda,” katanya setelah berada di depan pintu kamar Disha, mengetuk-ngetuk dan menggumamkan penyesalannya. Tetapi handle pintu tidak menunjukkan pergerakan dari dalam.
Tangisan nyaring masih terdengar dari dalam sana. Malah semakin keras disertai racauan, “Bunda jahat! Kalau Ica punya ayah ayah pasti gak bakal marahin Ica!”
Ketukan itu berhenti di udara. Tubuh Diana menegang. Air matanya tumpah, tapi tatapannya datar. Nyaris kosong, tanpa bisa ditebak seseorang ada kemarahan besar bersembunyi di baliknya. Kemarahan pada takdir, kemarahan pada dirinya sendiri.
Tangannya mengepal. Terlihat marah, tapi kenyataannya tubuhnya malah luruh ke lantai dan kembali meratapi nasib. Dahulu dia pernah merasa menjadi wanita paling bahagia meski harus hidup susah, sebelum orang-orang itu dengan tega menghempaskannya jatuh lebih rendah ke tanah.
Mata Diana memejam. “Kalau ayah kamu yang dulu masih hidup, sayang, bunda juga pengennya begitu,” bisiknya.
***
Udah ketebak lah ya ini tipe-tipe cerita yang nyesek, tapi tau deh feel atau enggak soalnya kan belum pernah ngerasain nikah ?