Chapter Two

1576 Kata
Suasana meja makan begitu senyap, tidak ada celotehan Disha seperti biasa. Bocah itu sama bungkamnya dengan sang bunda. Diana juga tidak merasa harus mengucapkan maaf meski tidak bisa dipungkiri dia merasa bersalah. Sebenarnya Diana khawatir semalam Disha mogok makan dan tidak keluar sampai tadi pagi. Bahkan Diana juga tidak bergerak dari posisi semalam sampai ketiduran di depan pintu. Hanya ada denting sendok yang menyelamatkan suasana terasa tak hidup ini. Disha juga tidak protes saat Diana memasakannya sayur, biasanya akan merajuk sampai bundanya memasakan sesuatu yang lain. “Tomatnya makan, Ca,” tegur Diana saat menangkap Disha menyisihkan potongan tomat dalam tumisan sayur. Disha sedikit cemberut. “Bunda ‘kan tau Ica gak suka sayur,” keluhnya. Diana menaruh sendoknya dengan sengaja menimbulkan dentingan kecil, membuat putrinya menatapnya dan ikut menjeda makan. “Ca, biasain ya Nak makan pakai yang ada. Makanan yang enak gak harus yang mahal, sayang. Sayur ini juga enak kalau Ica mau makan tanpa ngeluh.” “Ica gak minta makanan yang mahal.” “Sarden masuk mahal, sayang. Apalagi Ica ‘kan suka ngehabisin sekali makan.” Bocah perempuan itu hanya bisa menunduk mendengar wejangan sang bunda. Dia tidak merasa selera makannya mahal atau memberatkan bundanya. Toh selalu Diana yang menawarkan terlebih dahulu, bocah umur 5 tahun seperti Disha tentu akan jujur tentang keinginannya. “Maafin Ica, Bunda,” gumamnya. Diana menghela napas. “Iya. Maafin bunda juga semalem bentak Ica.” Dia menarik sudut bibirnya. “Udah cepetan habisin. Nanti teman-teman Ica ngajak main Icanya belum mandi.” “Ya udah. Tomatnya gak usah dimakan ya, Bun?” Disha bernegosiasi, didukung senyumnya yang lucu. Sang bunda terkekeh. “Kali ini gak papa. Nanti-nanti coba makan ya?” “Siap bos!” Kaki kecil bocah itu berlari ke kamar mandi setelah menghormat Diana. Hari mulai siang, teman-temannya akan berkeliaran sebentar lagi. Mata Diana mengikuti punggung kecil Disha sampai menghilang. Pikirannya berkelana. “Aku gak suka kehadiran anak itu, Diana. Buang atau kita cerai!” Diana menggeleng, mengenyahkan suara-suara menyakitkan yang merasuki ingatannya. Ingin dia tepis jauh-jauh, tapi suara-suara itu selalu muncul tanpa kehendaknya. Menyakitkan, orang yang dulu mati-matian menginginkannya malah berbalik setengah mati membencinya. Dia tidak mengharapkan kehidupan yang lebih baik, tapi juga tidak ingin semuanya berakhir seperti ini. Bukan hanya keadaan secara ekonomi, batinnya juga ikut terganggu. Setiap orang memimpikan pernikahan dan biduk rumah tangga terbaik, tidak ada yang ingin gagal. Begitu pun Diana. Akan tetapi, takdir berkata lain. Dia harus mencicipi sakitnya dibuang orang yang dulu dicintainya. “Ica, main yuk!” Seruan itu mengagetkan Diana, bagusnya menyadarkan wanita itu dari semakin terluka. Tanpa sadar air matanya menetes, lekas dia seka dengan kasar dan beranjak. Teman-teman Disha berjumlah tiga orang sudah berdiri di balik pintu, langsung bertanya ketika Diana membukanya. “Icanya ada gak, Bu?” Diana mengangguk. “Ada, lagi mandi. Yuk masuk dulu,” ajaknya membuka pintu lebar-lebar. Anak-anak itu masuk sementara Diana meneruskan langkah ke dapur dan membawakan camilan yang ada. “Dicicip ya,” pesannya sebelum kembali ke dapur. “Iya, Bu,” jawab ketiga anak itu serempak. Satu menit, suara keran masih terdengar. “Ca, cepetan, sayang. Itu teman-temennya udah nungguin!” seru Diana sebab Disha belum selesai mandi. Kasian anak-anak itu kalau kelamaan menunggu. “Iya, Bun, sebentar lagi,” balas Disha masih berkecipak dengan air. Tak lama anak kecil itu keluar dan mengibrit ke kamarnya. Diana geleng-geleng, memutuskan untuk ke belakang rumah dan bercocok tanam kecil-kecilan, cuma bahan dapur yang mudah dirawat. Berkebun bisa menenangkan dirinya setiap mengingat ‘hal itu’. Sudah tiga tahun, tapi bayangannya menempel jelas seolah baru kemarin. Semakin Diana ingin melupakannya semakin ingatan itu berbalik dan menempel. Entah harus bagaimana mengenyahkannya. *** “Cut!” Helaan napas lelah para kru film dan pemain di depan layar terdengar seiring menggemanya suara yang dikeraskan dengan pelantang. Sudah berkali-kali take adegan selalu saja ada yang salah, ada yang kurang menurut sutradara ini. Para artis juga inginnya protes. Mereka sudah lelah, bahkan Laila si First AD wajahnya tertekuk dari tadi dengan keterlambatan jadwal take adegan berikutnya. Entah apa yang salah, tapi pak Dim—begitu akrabnya dipanggil—berkali-kali memotong dan mengoreksi hal-hal yang sudah bagus. Bagian Script Supervisor saja sudah bosan mengendikan bahu setiap kali ditanya bagian mana yang menyimpang. “Feel-nya gak dapet. Ulang!” perintah Dimas lagi. Dia membolak-balik naskah dengan keningnya yang berlipat-lipat itu. Seorang pria mendekati Dimas dengan wajah kesalnya. “Kurang di mana lagi, sih, Pak? Ini udah bagus, mau gimana lagi?” Tubagus, sang Director of Photography (DOP) memberanikan diri memprotes. Dia kasihan pada krunya meliputi camera operator, juga pada bagian sound yang pasti pegal take adegan sama berulang-ulang. Dimas berdiri dan berhadapan langsung dengan Bagus. Dia mendengus. “Kamu mempertanyakan keputusan saya?” Para kru dan pemain sontak beralih fokus pada keduanya. Sikap pak Bagus memang layak diacungi jempol, tapi jika itu pada Dimas yang notabenenya beberapa waktu ini menjadi begitu emosional bukanlah hal bagus. Dimas yang sekarang berbeda, dia bukan lagi sutradara yang menjadi kesukaan banyak artis. “Bukan begitu, Pak, tapi apa Bapak gak liat kami semua capek? Kami butuh istirahat barang semenit.” “Kamu pikir saya gak capek? Tugas kalian semua,” Dimas mengacungkan jari telunjuknya dan menunjuk ke segala arah, “gak ada apa-apanya dibanding tugas saya. Kamu berani-beraninya bilang capek sama saya? Hah?!” Benar saja, pria itu sudah meledak-ledak hanya karena diprotes oleh anak buahnya sendiri. Apa kabar jika yang memprotesnya produser atau manajer produksi? Untungnya pak produser sedang tidak bisa memantau, mempercayakannya pada Dimas. Bisa-bisa proyek ini tutup, atau rumah produksi ini akan turun peringkat dibanding rumah produksi lain. “Dimas!” bentak seseorang berjas hitam berjalan cepat memasuki area syuting. Dimas merotasikan bola matanya begitu tahu siapa orang itu, sedangkan yang lain justru agak menunduk segan pada si pria paruh baya. “Papa dengar ada kelonggaran jadwal di sini. Ada apa? Kenapa Papa menerima banyak sekali keluhan yang sumbernya dari kamu?” “Emangnya siapa yang lapor?” tanya Dimas melirik ke samping. Merasa jengah dengan lingkungan kru yang dulu terbilang akrab dengannya. “Elo?” tebaknya pada Bagus. “Siapa yang lapor tidak penting.” Dimas mengalihkan tatapannya dari sang papa, enggan menatap. “Yang jadi titik masalahnya kamu. Gak usah mempermasalahkan atau menyalahkan orang lain.” Dimas berdecak jengah, berbalik dan kembali ke kursi sutradaranya. “Duhhh, Papa pulang aja deh. Emangnya di kantor gak ada kerjaan apa? Gak usah ngurusin hal ini, bisa Dimas tangani sendiri.” “Bisa kamu tangani sendiri? Buktinya proyek ini kacau, Dimas, nyaris ditutup gara-gara kamu gak becus jadi sutradara. Ingat, Papa produser eksekutif di sini. Papa tidak mau investasi yang sudah Papa berikan malah habis sia-sia dan tidak menimbulkan timbal balik.” “Gak becus?” Pria itu bangkit dengan wajah marah dan tersinggung. Dia hanya fokus pada kalimat yang amat sangat mengganggunya. “Maksud Papa apa bilang begitu? Dimas udah jadi sutradara di banyak film layar lebar dan Papa bilang Dimas gak becus? Lupa sama apa yang udah Dimas dapat selama lima tahun ini?” Bahkan Tubagus tak bisa bereaksi apa-apa selain terdiam. Perselisihan ayah dan anak ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi tak pernah menjadi biasa di sekitar kru. Memang dulu ketika Dimas memutuskan untuk keluar dari rumah demi istrinya membuat mereka berjarak, tapi setelah Dimas kembali ke rumah, dua orang itu bukannya semakin dekat malah muncul banyak perdebatan. “Kamu tidak sekompeten dulu.” “Aduhhh, jangan marahin Dimas mulu dong, Pa. Kasian suami Iva,” timpal seseorang menengahi mereka berdua. Wanita itu dengan santainya mengambil alih kursi sutradara milik Dimas dan bersantai di sana. Tatapan Adam—Papa Dimas—terhadap menantunya tampak tak suka. “Kamu juga ngapain di sini? Sejak kamu sering ikut Dimas kerja, kinerjanya jadi kacau. Tidak sebagus dulu.” “Jadi Papa ngebandingin aku sama dia?” balas Aiva sewot. Dia jelas tidak menggamblangkan identitas ‘dia’ yang dimaksud. Sebisa mungkin dia jangan mengungkit namanya di depan Dimas atau sesuatu yang buruk akan terjadi. “Papa benci mengatakannya, tapi faktanya iya. Sepertinya kamu membawa pengaruh buruk untuk Dimas.” “Pa, apaan, sih?! Gak usah banding-bandingin Aiva sama Diana!” Dimas berteriak marah. “Aiva jelas jauh lebih baik dibanding perempuan jal*ang itu!” Adam mengusap kasar wajahnya. “Semakin hari kamu semakin tempramen, Dimas, Papa gak ngerti kenapa kamu begini.” “Loh, ada apa ini? Bukannya kalian masih jadwal syuting sekarang?” Pria itu beralih pada Adam. “Adam, sedang apa? Minggu ini ‘kan giliran saya yang mantau.” Pria itu rekan Adam yang juga menjabat sebagai produser eksekutif di proyek film kali ini. Memang seharusnya itu tugas produsen, tapi sudah syarat Adam bahwa produser eksekutif juga harus memantau agar ada pihak dari luar tim inti dari PH supaya mereka segan dan tidak main-main dalam bekerja. Bagaimanapun biaya film ini tidak kecil dan mengingat kinerja Dimas belakangan ini membuat Adam waswas. “Ah, tidak apa-apa, Lan.” Adam tersenyum berwibawa. “Hanya berkunjung. Dimas belakangan jadi sibuk dan jarang di rumah.” Ramlan mengangguk-angguk. “Oh, begitu.” Lalu tatapannya mengedar. “Ini sudah selesai take-nya? Kalau belum ya lanjutkan. Kenapa jadi pada diam begini?” Para kru sontak langsung kembali ke tempatnya, begitu pula para artis. Setidaknya kali ini ada Ramlan, Dimas tidak bisa seenaknya bilang ‘cut’ kalau pak Ramlan tidak merasa perlu take ulang adegan. Posisi Dimas sebagai sutradara masih berada di bawah pak Ramlan yang notabenenya produser eksekutif atau investor. Adam melirik jengah ke arah Aiva yang tampak bermesraan dengan Dimas, tidak peduli dengan pekerjaan suaminya. Dia mulai menyesali dulu menolak Diana dan malah mendukung Aiva, wanita yang terlihat baik di awal, tapi ternyata membawa pengaruh buruk. Sedangkan Diana, dia sosok wanita yang dibutuhkan Dimas meski keadaannya tidak dalam satu garis derajat dengan mereka. ‘Ada yang janggal dengan perubahan Dimas,’ pikir Adam. *** Nahh bisa tebak ini jalan ceritanya gimana? Atau mungkin hubungan yang terjadi antara Dimas, Diana, sama Aiva? Komen yuk, yang bener aku follow ciusan deh haha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN