PART 1

1587 Kata
Pria berusia tiga puluh tahun dengan celana training hitam itu, terus berjalan dengan satu tangan membawa daging segar di tangan kanan. Menyunggingkan senyum saat melihat Max mengaum kepadanya dari dalam kandang. Singa jantan itu, seolah menyambut kedatangan tuannya penuh suka cita. Dengan tubuh tegap dan berotot setinggi 180 cm, pria itu melangkah dengan  langkah itu memasuki kandang Singa kesayangan nya dengan santai. Max berlari menuju pria itu dalam tiga lompatan panjang. Membiarkan surainya bergoyang tertiup angin, lalu menggulingkan tubuh di rerumputan di samping kaki sang pria. Layaknya kucing kecil yang meminta perhatian dengan cara sedikit liar. Tak kalah antusiasnya, sang tuan menggaruk leher Max dengan lembut dengan tawa di bibir. “Pagi, kucing kecil,” sapa si pria. Max melebarkan rahangnya, mengaum dan menampilkan taring-taringnya. Membuat sang tuan terkekeh dan menghadiahkan elusan di ujung kepala si singa. “Siap?” tanyanya lagi. Mengayun-ayunkan daging di tangan kanan. Si singa menjawab sekali lagi dalam auman yang lebih besar dan penuh ketidaksabaran. Sang pria pun melemparkan potongan daging segar seberat satu kilo ke depan yang langsung disambar Max dengan begitu lincahnya. Bergerak ke sana kemati mengikuti potongan kedua dan ketiga hingga seluruh daging di lengan pria itu habis. Si pria membungkuk ketika singa itu menghampirinya. Membiarkan sisi wajahnya dijilat dan pria itu membalas dengan seulas senyum. Mengelus ujung kepala si singa sambil bergumam pelan. “Sudah waktunya, Max. Empat belas tahun dan terlalu lama untuknya bersenang-senang. Kau mau memakannya?” Max mengaum. “Baiklah. Aku pastikan kau akan mendapat daging pria b******k itu.” Keduanya berjalan ke arah batu di tengah kandang seluas 400m2 dengan pagar baja kokoh setinggi 6 meter di sekelilingnya. Singa itu naik lebih dulu dan mendapatkan posisi nyamannya. Tanpa merasa terganggu ketika tuannya menyandarkan tubuh padanya. Seolah memahami jika tuannya membutuhkan ketenangan. Kedua mata singa itu mulai tertutup, sedangkan tangan Danen tak berhenti mengusap bulu halus raja hutan tersebut. Menikmati kesunyian di sekitar mereka, dengan angin yang berhembus menerpa pohon di samping mereka. Memberi keduanya musik yang menenangkan. “Tuan …” Sayup-sayup panggilan itu membangunkan si pria dari tidur. “Tuan Danen!” Panggilan itu lebih keras dan mata sang pria terbuka. Menoleh ke arah pintu kandang yang berjarak lumayan jauh darinya. Mata Danen memicing, melihat raut ketakutan menghiasi salah satu pelayannya tersebut. Danendra beranjak sambil menyempatkan mengusap surai halus Max, sebelum berjalan menuju pintu kandang menghampiri si pelayan. “Ada apa?” Sorot tajam yang terpancar dari mata Danen membuat pelayan itu semakin menundukan kepala. “Felix tidak mau makan, Tuan. Dia hanya diam di tempatnya dan tak mau  sedikitpun bergerak” Mata Danen membelalak. “Sejak kapan?” “Sejak tadi pagi.” Tatapan Danen semakin menajam. “Dan kau baru memberitahuku sekarang?” Tubuh si pelayan itu semakin mengerut. “Hubungi Faris sekarang,” perintah Danen. Pelayan itu mengangguk dan dengan segera melakukan perintah tuannya. Danendra segera menaiki kuda hitam jenis Morgan yang tadi ia ikat di pohon di luar kandang Max.  Menunggangi kudanya dengan cepat menyusuri jalanan di hutan buatan menuju kandang Felix yang berada jauh dari kandang Max.  Tanah dengan luas sepuluh hektar milik Danen hampir menyerupai hutan di halaman belakangnya. hal itu dilakukan Danen agar semua hewan buas miliknya tetap merasa nyaman walau berada di kandang. Tak hanya itu saja, dalam hutan buatan rumahnya itu juga ada beberapa danau buatan sebagai penampungan air, dengan jembatan yang menyeberangi tengah danau. Yang sekarang tengah ia lintasi bersama Black, kuda hitam yang selalu ia tunggangi ketika berkeliling menyapa para peliharaannya. Rumah Danen juga menyediakan beberapa mobil dan motor. menunjang aktivitas para pelayannya untuk merawat hewan peliharaan tersebut. Kegemarannya pada hewan dimulai sejak kecil, dan semakin mendukung ketika orang tuanya mati di tangan kepercayaannya. Manusia terlalu sombong, mereka  menganggap dirinya penguasa. Bahkan langit pun tak pernah menjelaskan seberapa tingginya, sedangkan manusia yang bukanlah apa-apa dengan sombongnya berdiri layaknya dewa.   ***   Danen turun dari kuda hitamnya saat berada di depan kandang Felix – si macan kumbang hitam- salah satu kesayangannya. Pria itu masuk dalam kandang dan melihat Felix tertidur lemas, hatinya teremas dengan pedih. Tangannya terjulur, mengusap lembut seolah sedikit sentuha lebih keras akan membuat macam kumbang itu hancur. Tak berselang lama deru mesin mobil terdengar dari kejauhan dan mendekat. Pria tua dengan snelli putih turun dari mobil tersebut diikuti gadis muda di belakangnya. Dengan tas jinjing yang di bawahnya, gadis itu seolah terpesona dengan keadaan sekitar. Rumah besar yang tadi ia lewati menyimpan hutan di belakangnya yang sangat luas yang masih tak bisa ia percayai hingga detik ini. Ini pertama kalinya ia menemukan tempat seindah ini, dan di saat bersamaan dipenuhi misteri. Kekagumannya tak bertahan lama ketika dokter Faris yang membawanya, kini melangkah memasuki sebuah pintu baja dengan pengamanan tingkat tinggi. “Berikan padaku,” katanya sambil memgulurkan tangan ke arah Aludra. Aludra memberikan koper besar di kedua tangannya. “Tunggu dan awasi dari sini. Felix tak terbiasa dengan pendatang baru.” Aludra mengangguk patuh. Keningnya berkerut dari kejauhan melihat seekor macan kumbang tengah berbaring di samping seseorang, yang dihampiri atasannya. “Sepertinya ada yang tidak beres dengan makananya, Danen. Coba periksa lagi. Jangan merubah makananya. Kau tak lupa selalu memberinya makanan segar setiap hari kan? Pencernaan Felix sedikit sensitif sejak operasi itu. Aku sudah menyuntikkan obat. Dia akan segera membaik. Jika ada masalah lagi, aku akan memberimu beberapa obat untuk kau campurkan dalam makanannya nanti." Danendra hanya mengangguk singkat mendengar ucapan Faris. Merasa sedikit lega meskipun matanya masih tetap terlihat sedih. Kemudian pandangan Danen terangkat, menatap melewati pundak Faris dan melihat sosok mungil yang berdiri mengamati mereka dari kejauhan. “Aku membawanya.” Danen mengangguk lagi, sembari beranjak dari tempat duduknya. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Kita ke rumah.” Faris mengangguk. Mengekor di belakang Danen. "Tunggu sebentar, Faris." Danen berhenti Faris pun menggangguku badannya dan berjalan menuju mobilnya dengan Aludra yang mengikutinya.     "Bram!!" Suara Danen yang dingin syarat akan kemarahan membuat siapapun yang mendengarnya menciut. Begitu pula dengan Aludra yang berada dekat dengannya. Sosok Danen seperti siap membunuh siapa saja yang berada di sekitarnya. Terlihat seseorang berpakaian santai berjalan mendekat pada Danen dengan kepala tertunduk.  "Pecat orang yang memberi makan Felix hari ini. Dan pastikan dia mendapat ganjarannya." Perintah mutlak dari Danen membuat beberapa pekerja yang kebetulan berada di sekitar kandang Felix menciut.  "Baik, Tuan,” angguk Bram. “Tunggu di ruanganku,” katanya pada Faris. Kemudian menaiki kudanya lagi menuju kediamannya, sedangkan Faris dan Aludra mengikuti di belakang dengan mobil mereka. Saat masuk ke ruang kerjanya, Danen melihat Faris dan Aludra sudah duduk di salah satu sofa menunggungnya. “Jadi dia yang akan membantumu mulai hari ini?” Danen melemparkan lirikan ke arah Aludra. Faris mengangguk. "Namanya Aludra. Dan Aludra, perkenalkan ini Danendra. Danendra Gunadhya.” Aludra dan Danen bersalaman, sambil menjatuhkan nama masing-masing. “Apa kau sudah mengirim berkas lengkap tentangnya?” tanya Danen pada Faris. “Aku akan segera mengirimnya.” Aludra menatap Faris dan Danen bergantian. Bukannya ia bekerja di bawah Faris? Lalu kenapa Danen perlu mengetahui tentang dirinya lebih dalam. “Untuk?” “Hanya sebagai formalitas, Aludra. Danen sedikit ketat jika itu berhubungan dengan penghuni hutannya. Ia perlu memastikan mengetahui setiap langkah yang menginjak tanahnya.” Danen mengedikkan bahunya. “Aku hanya tak suka kejadian baru saja terulang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.” Aludra pun mengangguk meski merasa tak nyaman dengan kalimat terakhir Danen. Juga sorot pria itu yang seolah mengarahkan panah kepadanya. “Mulai besok aku akan mengajakmu berkeliling dan memberitahumu apa saja yang harus dilakukan. Kecuali mungkin dengan Felix dan Max, kurasa butuh waktu cukup lama bagi mereka untuk menerima keberadaanmu.” Ketiganya pun berbincang mengenai urusan pekerjaan. Menentukan kesepakatan kontrak. Saat keduanya berpamitan, kedua mata tajam Danen  terus mengikuti punggung Aludra yang semakin menjauh. Kemudian matanya berkilat dan seringai tersungging di ujung bibirnya. *** Ketukan pintu di ruangan Danen mengalihkan pandangannya dari beberapa berkas di hadapannya. “Masuk.” Pintu pun terbuka. Muncul pria yang berada di usia  sekitar lima puluh tahun melangkah masuk. Candra tersenyum ketika wajahnya bertemu dengan Danen. Danen pun membalas dengan tersenyum namun tidak dengan matanya.  "Masih sibuk?" Candra duduk di sofa ruangan tersebut dan bersandra dengan  nyaman.  "Seperti biasa. Bagaimana kabar, Om?" Danendra  berdiri dari kursi kebesaran dan duduk di depan Candra tidak lupa meletakan minuman yang ia ambil dari kulkas kecil di samping sofa tersebut. “Tak pernah sebaik hari ini. Kau?” Danen meneguk minuman miliknya sambil mengangguk. “Sedikit masalah, tapi semua berjalan membaik.” Candra manggut-manggut. "Apakah Augra membuat masalah denganmu?” “Tidak, semua masih baik baik saja. Tak semudah itu menjatuhkan  Danendra Gunadhya.” Kesombongan Danen membuat Candra menaikan satu alisnya seolah mengejek ucapan Danen. “Besok hari kematian kedua orang tuamu, jika kau lupa. Mau pergi bersama Om?" Danen menyeringai dalam hati. Berani-beraninya tua bangka ini berbicara tentang kematian orang tuanya dengan mulutnya. Dengan seulas tipis senyum di bibirnya, ia menggeleng menjawab, " Tidak. Aku ada sedikit urusan dan mungkin akan terlambat." ‘Dan lagi, bagaimana aku akan lupa hari itu, jika pembunuhnya berada di depanku,' lanjutnya dalam hati. Candra menganggukan kepalanya. "Baiklah. Sepertinya Om harus pergi." Candra berdiri, menyempatkan memeluk Danen sebentar sebelum keluar dari ruangan kerja Danen. Mata tajam Danen mengikuti pergerakan  punggung tua itu, tangannya mengepal  menahan amarah yang meleleh di dadanya. Empat belas tahun kematian kedua orang tuanya tak akan pernah dilupakan oleh Danen. Bukanya bodoh, Danen hanya mengikuti drama yang dibuat oleh tangan kanan ayahnya itu.  Tanpa diketahui Candra, Danen sudah mengumpulkan semua bukti yang telah dilakukannya dari dulu pada kedua orang tuanya. Bahkan Danendra mengetahui apa yang Candra sembunyikan dari semua orang. Masa kehancuran Candra pasti akan datang. Tidak lama lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN