*******
Selama perjalanan pulang hanya sunyi yang menemani mereka dalam laju mobil Danen. Danen terus melihat perempuan di sampingnya lewat pantulan kaca di sampingnya.
Aludra hanya terdiam sambil terus meletakan jas Danen pada menutupi kepalanya. Menutupi wajahnya yang lebam dan kacau. Belum lagi make up nya yang meluber kemana-mana karena tangisan nya.
Danen paham. Aludra sedang tidak ingin terlihat kacau di depan siapapun. Atau mungkin sedang malu karena kejadian tadi.
"Mampir ke rumah sakit terdekat dulu." Perkataan Danen memecah keheningan.
Sang supir mengangguk dengan spontan begitu pula Aludra yang secepat kilat menoleh ke arah Danen penuh kernyitan di keningnya.
"Kau berjanji untuk pulang, Danen." Kata Aludra dengan pelan. Dan terdengar seperti rengekan di telinga Danen.
"Aku tidak pernah mengatakan kata janji, Aludra."
"Tapi kau bilang kita akan pulang bukan ke rumah sakit." Balas Aludra tak mau kalah.
Danen terdiam sejenak memandang wajah kacau Aludra. Wanita itu tampak sangat kacau dan membuatnya tidak tega jika harus membiarkan luka itu tanpa penanganan apapun.
"Dan membiarkan lukamu terinfeksi?" Sindir Danen penuh penekanan sambil memalingkan wajah. Merasa tidak tega hanya karena wajah kacau perempuan itu. Tidak akan membiarkan Aludra menolak ajakannya.
"Tapi aku ingin pulang, Danen. Lagipula aku bisa membersihkan dan mengobati lukaku sendiri."
"Aku tidak yakin kau bisa melakukannya sendiri, Aludra. Bukankah kau ini dokter hewan?"
Aludra membuka tutup mulutnya, "Apa kau pikir aku tidak bisa merawat lukaku sendiri?"
"Ya, ku pikir kau hanya bisa mengobati hewan. Kau kan dokter hewan."
Suara decakan aludra membuat mata Danen membulat, "Ada apa dengan decakanmu itu, Aludra. Apa kau pikir aku ini bodoh."
"Ya, ku akui kau memang sedikit bodoh, Danen." Aludra melengos melihat wajah menyebalkan Danen.
"Kita pulang saja, tidak perlu berlebihan. Ini hanya luka kecil bukan luka besar yang harus dibawa ke rumah sakit."
"Ck, terserah kau saja." Danen menyandarkan bahu pada sandaran kursi dan memejamkan kedua matanya. Lelah juga berdebat dengan perempuan keras kepala yang saat ini sedang duduk di sampingnya.
"Kembali ke mansion." Danen berkata tanpa membuka kedua matanya. Ia yakin pasti perempuan di sampingnya sudah tersenyum mendengar perkataan dirinya.
"Terima kasih." Aludra berkata lirih.
"Hmm."
Saat memasuki mansion kehebohan mulai terjadi saat Alex melihat Aludra yang masih mengenakan jas Danen untuk menutupi kepalanya. Menutupi wajah lembab miliknya.
"Wah…. Apa aku ketinggalan sesuatu?" Goda Alex dengan terus menghadang langkah Aludra.
Aludra hanya menggeleng dengan kepala yang tertutup jas Danen. Menundukkan kepalanya menatap lantai marmer di bawahnya.
"Tidak mungkin manusia purba di belakangmu itu meminjamkan jas miliknya kepada orang lain. Apa dia mengidap OCD."
Malas mendengar ocehan Alex , Danen berjalan menuju ruang kerja, tak selang lama pria itu keluar dengan sebuah kotak P3K di tangan kanannya.
Posisi Alex dan Aludra masih tetap sama. Si pria m***m Alex dengan wajah jahilnya yang terus berusaha membuka pegangan erat Aludra pada jas Danen. Dan Aludra yang sekuat tenaga menahan jas Danen untuk menutupi kepalanya.
Alex melangkahkan kakinya lebar-lebar ke arah dua manusia itu. Mendorong Alex menjauhi Aludra hingga pria itu terjatuh di lantai.
"Tidak bisakah kau menyingkir, bodoh."
"Katakan dulu apa yang terjadi, pintar." Alex berdiri dengan raut muka kesalnya. Menatap Danen dengan tajam.
"Tidak ada yang perlu kukatakan padamu, Alex. Ini bukan urusanmu maupun urusanku." Kata Danen, lalu berbalik dan berjalan ke arah sofa.
"Kemarilah, Aludra."
Semua menoleh pada Danen yang sedang duduk di atas sofa mewahnya dengan kota P3K di depannya.
Aludra mengintip dari balik jas Danen.
"Aku bisa melakukannya sendiri."
" Duduk, Aludra!" Nada perintah yang tak terbantahkan membuat Aludra menuruti keinginan pria itu. Perempuan itu pun mengayunkan kakinya mendekat ke arah Danen dan mendudukkan dirinya pada sofa.
"Lepaskan jasku."
"Tidak."
Danen menghela nafasnya sejenak, tahu betul apa hambatan yang membuat Aludra tidak ingin membuka jasnya yang masih bertengger di kepala perempuan itu. Ia menolehkan kepala pada Alex yang masih menatap ke arahnya dengan penasaran.
"Pergi, Alex."
Alex membulatkan mata, "Apa kau mengusirku?"
"Ya,ini mansionku. Jadi aku berhak bukan berkuasa di mansion ini."
"Tapi kau tidak boleh semena-mena,Danen."
"Aku tidak, sekarang pergi sebelum ku panggilkan Max untuk mengusirmu."
Alex berdecak tidak suka, "Kenapa harus Max, brengsek."
"Apa kau ingin kupanggilkan Zeus?"
"Panggil saja, dia tidak ada disini."
"Ya, memang. Tapi aku berniat memanggilnya saat ini untuk mengusirmu dari mansionku jika kau tidak pergi sekarang juga." Gertak Danen.
"Tidak, aku yakin pasti terjadi sesuatu pada Aludra bukan. Tenang saja, jangan malu Aludra. Percaya lah aku tak akan menertawakanmu," Alex berkata dengan bersungguh sungguh.
"Sudah lah, semakin lama kau seperti itu semakin membuat luka mu semakin infeksi."
Terdengar helaan nafas berat Aludra. Dia pun membuka jas tersebut perlahan lahan dan hanya menghadap ke arah Danen.
Danen berdecak dahi yang berdarah, bibir yang sedikit sobek dan rahang yang memerah milik Aludra.
"Sialan, Danen. Apa yang kau lakukan pada Aludra? Apa bedanya kau dengan hewan jika berani melakukan hal b***t seperti ini. Ya tuhan, Aludra. Apa saja yang dilakukan Danen kepadamu. Katakan aku akan membalasnya." Ucap Alex berapi api ketika ia melihat keadaan wajah Aludra. Terbalik dengan Bram yang terkejut namun tetap konsisten dengan ketenangannya.
Sedangkan Danen hanya menganggapnya sebagai angin lalu dan memfokuskan dirinya untuk mengobati luka pada wajah Aludra. Hingga Danen selesai mengobati luka Aludra dan hanya tinggal memberikan salep penghilang bekas luka pun Alex tetep tak berhenti mengoceh. Dan selalu Danen yang ia salahkan.
"Diam Alex, sebelum aku melemparkanmu pada Max. Aku tidak main main kali ini."
Seketika Alex mengunci mulutnya rapat-rapat. Tahu betul jika Danen sedang tidak bercanda kali ini. Nada
suara pria itu sangat tajam.
"Istirahatlah," Perintah Danen pada Aludra.
Aludra berdiri dari duduknya. Namun bukanya pergi ke arah kamar miliknya Perempuan itu justru berjalan menuju dapur.
"Tidur, Aludra."
"Aku belum membuatkanmu s**u vanila, Danen."
"Ck. Tidak usah. Istirahatlah."
Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti itu, Aludra masih memikirkan s**u vanila untuk Danen. Apakah benturan pada kepalanya membuatnya sebodoh itu.
"Aku tidak cacat, Danen. Lukaku ada pada wajah bukan tangan, jadi aku masih sanggup untuk membuatnya," Ucap Aludra dengan penuh keyakinan.
"Terserah kau saja. Kau memang tak akan berhenti sebelum mendapatkan keinginanmu.Terserah." Danen menyandarkan diri pada sofa dan malas untuk berdebat. Ia juga butuh istirahat setelah melampiaskan sedikit emosinya pada kekasih Aludra tersebut.
"Jika Danen tak mau, aku dengan senang hati akan menerimanya, Aludra. Sini, berikan saja padaku," Dan sedetik kemudian lemparan bantal mengenai tepat di wajah Alex. Aludra hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua sahabat itu dan berlalu menuju dapur.
"Aku kan…." Ucapan Alex berhenti manakala melihat Danen yang bersiap melempar sepatu pantofel mahalnya tanpa membuka mata.
"Iya… iya… aku pergi. Dasar bos sialan." Dan sepatu Danen melayang mengenai tepat di punggung Alex.
"Aku akan melaporkanmu atas tindakan penganiayaan Danen. Kak Seto harus tahu ada kekerasan di sini" Ucap Alex bersungut sungut.
"Dasar Bos…" Dan seketika Alex menghentikan ucapannya dan berlari terbirit menuju kamarnya karena melihat Danen yang bersiap mengeluarkan belati kecil yang selalu Danen bawa kemana saja tanpa orang lain tahu.
"Siapa pelakunya, Danen?" Tanya Bram.
"Jivar. Kekasih gila Aludra yang selalu dibangga-banggakan perempuan itu." Sinis Danen.
"Dari awal melihatnya aku sudah yakin pria itu memiliki temperamen yang tinggi."
"Hmm, kau benar."
Obrolan mereka berhenti saat melihat Aludra yang muncul dari arah dapur dengan beberapa gelas s**u.
"Untuk apa sebanyak itu, Aludra?" Danen membulatkan matanya ketika melihat Aludra yang membawa nampan berisi empat gelas s**u vanilla
"Mana, Alex?" Ucap Aludra bingung karena tidak melihat Alex.
"Tidur mungkin?"
"Kenapa cepat sekali."
"Aku disini." Alex memunculkan wajahnya di balik dinding tempatnya menghilang tadi. Ah, rupanya pria itu tidak benar-benar pergi.
Alex melangkahkan kaki dengan sesekali melompat menghampiri Aludra dan mengambil segelas s**u pada nampan yang masih dibawa perempuan itu.
"Apa kau tidak sadar, Aludra."
"Apa?"
Alex mengangkat gelasnya, "Perhatianmu ini…. sungguh membuat jantungku berdebar dengan kencang." Godanya seraya mengedipkan satu mata pada Aludra.
Aludra mengernyit geli, "I….ini hanya kebetulan, Alex. Tidak mungkin bukan aku hanya membuatkan satu untuk Danen sedangkan ada kalian disini." Ujarnya sambil menaruh nampan di atas meja.
Tawa Danen dan Bram langsung pecah memenuhi ruangan itu. Mereka semakin tertawa kencang saat melihat wajah gembira Alex yang berubah menjadi masam.
"Ingat, Alex. Ini hanya kebetulan." Ujar Bram sebelum meraih segelas susunya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
"Diam kau, sialan!!"
"Kau saja yang terlalu baper, Alex. Kenapa kau bersikap seperti perempuan yang sangat mudah menyalah artikan perhatian seseorang." Timpal Danen setelah meredakan tawanya.
"Sialan." Umpat Alex sebelum pergi dengan wajah yang memerah.
"Apa aku salah telah berkata seperti itu?" Ujar Aludra. Mata hitam kelamnya menatap kepergian Alex dengan penuh rasa bersalah.
"Tidak, justru kau benar berkata seperti itu. Biarkan saja dia."
****
"Tidak, aku tidak mau."
" Kenapa tidak?"
"Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, Jivar. Jadi aku tidak bisa menemuimu."
"Itu hanya alasanmu saja, Aludra. Bukankah kau selalu meluangkan waktu sibukmu hanya untuk bertemu denganku. Apa kekasih barumu itu yang melarangmu untuk bertemu denganku?"
"Tidak, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Danen, Jivar. Dan aku tidak menjalin hubungan apapun dengan dia."
"Lalu apa yang membuatmu enggan bertemu denganku?"
"Tidak seperti itu, aku hanya tidak bisa."
"Dan apa yang membuatmu tidak bisa?"
Aludra memijat pelipisnya, "Aku harus merawat Felix yang sedang sakit. Dan dia sangat membutuhkan aku, jadi tidak bisa kutinggalkan dia begitu saja."
"Felix? Siapa lagi Felix? Sebenarnya berapa pria yang sedang kau kencani, Aludra. Apa kau memang semurahan itu,"
"Felix bukan manusia, Jivar. Dia salah satu hewan peliharaan Danen. Seekor macan kumbang hitam."
"Cih, apa Danen sudah gila memelihara hewan buas itu? Mana ada orang menjadi kan macan kumbang hitam sebagai hewan peliharaan." Decih Jivar.
"Hentikan, Jivar. Aku tidak bisa bertemu denganmu, jadi aku tutup telponnya."
"Tidak, kalau kau tidak mau menemuiku maka aku yang akan menemuimu di mansion Danen besok. "
Aludra mendesah keras, kesal dengan kekeras kepalaan Jivar, "Baiklah, besok pagi jam sepuluh di Cafe Flo Secret Garden." Kata Aludra lalu mematikan panggilan telepon mereka secara sepihak.
Ya, mungkin ia harus menemui Jivar untuk menyelesaikan masalah mereka berdua serta mengakhiri hubungan mereka. Ia sudah tidak tahan dengan sikap protektif Jivar yang terlalu berlebihan.
****
"Kenapa belum berangkat, Danen?"
Danen menolehkan kepala melihat Aludra, perempuan itu berjalan ke arahnya yang sedang duduk di sofa. Lengkap dengan setelan jas yang ia kenakan.
"Setelah ini."
Aludra mengangguk.
"Mau kemana kau?" Tanya Danen melihat penampilan Aludra dari atas sampai bawah.
"Aku akan pergi sebentar."
"Kemana?"
"Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan."
"Aku bertanya kemana, Aludra. Bukan apa tujuan kamu pergi kesana."
"Ah, maaf. Aku mau ke Cafe Flo Secret Garden."
"Dengan siapa kau pergi."
"Sendiri."
"Kalau begitu ikut saja denganku." Danen berdiri, merapikan setelan yang ia kenakan dan meraih tas kerjanya.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri, Danen. Tidak perlu repot-repot."
"Sama sekali tidak repot, Aludra. Kebetulan sekali, aku juga ada meeting dengan klien disana."
"Benarkah?"
"Ya, kau boleh ikut denganku."
"Baiklah, terima kasih, Danen."
"Hmm."
Setengah jam kemudian mobil mewah Danen sudah terparkir dengan apik di halaman Flo Secret Garden.
"Tidak keluar?" Tanya Danen ketika Aludra hanya terdiam. Sedangkan Danen sudah melepas sabuk pengaman dan bersiap untuk keluar.
"Eh… I iya. Terima kasih atas tumpangannya."
"Hmm." Mata hazel Danen terus mengikuti pergerakan Aludra yang mulai berjalan memasuki cafe di depannya.
Danen hanya merasa ada yang mengganjal dari Aludra sejak insiden kekerasan yang Jivar lakukan pada perempuan itu. Namun kembali lagi itu bukan rana nya. Danen pun memutuskan untuk tidak ikut campur dan melanjutkan pekerjaannya.
****
Danen berjalan dengan santai melajukan mobilnya.
"Aku sudah menjelaskan berulang kali kepadamu, Jivar itu hanya kesalah pahaman. Danen hanya meminta bantuanku."
"DAN KAU MENERIMANYA. KAU BISA MENOLAK ALUDRA."
"Sudahlah, Jivar. Jjika kau masih tak percaya kepadaku. Lebih baik kita putus saja."
Plak…
Danen mempercepat langkah kakinya menuju asal keributan tersebut. Hatinya tidak tenang ia yakin Jivar pasti tak segan segan menganiaya Aludra seperti kejadian malam itu. Dan benar saja amarahnya mendidih melihat lagi lagi Jivar menjambak rambut Aludra. Sehingga perempuan itu harus mendongak dan mulut yang berdesis kesakitan.
"Sa…. Sakit Ji. Le...lepas."
"Sakit kau bilang? Itu masih belum seberapa sakit dangan ya aku rasakan karena kelakuanmu itu Aludra. Ternyata kau memang semurahan itu. Pantas saja mama tak pernah menyukaimu."
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata perempuan tersebut. Dengan geram Danen menjambak rambut Jivar dengan amat sangat keras sehingga membuat jambakan Jivar pada Aludra terlepas.
"Sialan kau. Siapa yang….." Ucapan Jivar terhenti ketika melihat Danen lah yang menjambaknya. Kemudian Danen melepaskan jambakannya pada Jivar dengan ia hentakan tangannya dengan kuat. Membuat Jivar terjungkal ke belakang.
Danen mendekat ke arah Aludra dan menjadikan dirinya sebagai tameng untuk perempuan tersebut.
"Kau lagi. Kenapa kau seperti hama yang muncul di mana saja." Jivar berdiri dengan sedikit menahan kesakitan.
"Hama lebih baik dari pada seorang pecundang yang hanya berani memukul seorang perempuan. Ck ck… Orang tuamu pasti kecewa karena mempunyai anak yang pengecut." Desis Danen.
"Diucapkan oleh orang yang tak memiliki orang tua. Bagus. Dan lagi urusanku dengan kekasihku. Kemarilah Aludra."
Danen mengepalkan tangan semakin kuat mendengar cemoohan Jivar tentang orang tuanya.
"Mantan Jivar. Aku sudah minta putus denganmu." Ucap Aludra mengintip dari punggung Dbanen.
"Kau dengar sendiri kan" Danen tersenyum pongah. Memgejek Jivar.
"Sialan kau." Jivar berjalan ingin menarik Aludra. Sayangnya belum sempat tangannya menggapai Aludra tubuh pria itu sudah terlebih dahulu di banting oleh Danen.
Danen menginjak d**a Jivar.
"Dengar. Kau sudah mengusikku dengan desain resortku, aku masih diam. Dan sekarang jika kau ingin semua milikmu hancur maka tampakan wajahmu di depanku ataupun Aludra. Paham pak Jivar? " Danen ingin menekan lagi kakinya pada d**a Jivar, namun Aludra menggagalkannya. Ia pun menendang perut laki laki tersebut dengan cukup kencang dan meninggalkan Jivar terkapar di tanah.
Menggandeng Aludra untuk kembali ke mansion.