Bab 4

1704 Kata
“Disa mau beli kado valentine buat gebetannya di sekolah sebelah itu lhoooo…” Ingatan itu membuat Revan sulit berkonsentrasi bahkan saat pelajaran dimulai. Bahkan hingga bel pulang berbunyi, pikiran it uterus saja mengganggu. Masalahnya Revan sama sekali tidak tahu Disa punya gebetan. Makanya dia susul Disa dan Rora. Alasannya kenapa? Dia juga tidak tahu. Tapi yang jelas, dia curiga kalau gebetannya Disa itu bukan cowok baik-baik! Mungkin juga cowok itu berandalan, atau p**************a. Preman mungkin. Atau penodong yang suka ada di jalan-jalan. Atau pencopet atau jambret. Terlalu banyak kemungkinan! Dan Revan tidak mau mengambil resiko untuk itu! Rora nyaris meledakkan tawa saat melihat Revan sudah berdiri di depan pintu Mall. Pasti tu cowok ngebut, deh. Dia sama sekali nggak menyangka Revan mau datang ke Mall bahkan dengan alasan yang baginya saja nggak masuk akal. “Nyokap, titip barang.” Dalihnya. Rora langsung ketawa semakin keras. Revan yang melihat gelagat Rora yang mencurigakan hanya diam penuh kewaspadaan. Ketiganya melangkah bersama menjelajah tiap sudaut Mall. “Waaaaah, boneka kodoknya lucu bangeeeet! Asyik nih kalo di kamar Deni ada boneka dari gue. Kan bisa dipeluk kalau dia kangen sama gueee...” seru Rora waktu datang ke bagian boneka. Revan menepuk dahi. Disa yang tahu kalau Revan benar-benar bete hanya mengelus lengan cowok itu. “Sabaaaar….” pelan Disa. Tapi Revan lagi-lagi menghela napas. “Dis, boneka kodok ini aja gimana?” tanya Rora. Disa berpikir sesaat. “Gue nggak begitu yakin deh si Deni bakalan suka.” Rora sempat kecewa sekilas. Lalu menoleh ke Revan.”Kalo menurut lo?” “Gue idem sama Disa. Ngasih kado sama cowok gue saranin nggak usah yang ada sisi ceweknya. Boneka, bunga apalagi kado-kado lain yang warnanya pink. Palingan juga ntar cuma diumpetin di gudang. Malu tau kalo ada yang liat. Nah kalo si Deni yang dikasih boneka beginian nih, ya pasti diterima. Tapi palingan cuma buat ngormatin perasaan lo aja. Padahal di dalemnya, hmm… Males.” Semangat Rora padam seketika. Komentar Revan yang terlalu apa adanya itu membuat Rora sadar kalau boneka harus langsung dicoret dari daftar pilihan! Cepat-cepat Rora menaruh kembali boneka kodok itu ke tempatnya semula. Dia bertekad untuk menuruti apa kata Revan dalam hal pemilihan kado untuk kekasihnya tercinta. Dia bersyukur telah disadarkan, hampir saja dia melakukan kesalahan yang fatal dengan memberikan Deni sebuah boneka. “Teruuuus, gue kasih apa dong?” tanya Rora ke kedua sahabatnya. Revan dan Disa berpikir sejenak. Lalu kerutan-kerutan di dahi mereka mengendur cepat. “Jam tangan!” pelan mereka kompak. Ketiganya terhenyak kaget. Satu-satunya yang bereaksi hanya Rora. Dia tertawa melihat kedua sahabatnya punya pikiran yang sama. “Oke. Kita cari jam tangan!” katanya memberi komando. Saat Rora berbalik menuju ke bagian jam tangan, Revan menjatuhkan telapak tangannya ke tempurung kepala Disa. Lalu, mengusap rambut cewek itu perlahan. Tubuh Disa menegang. Harusnya sentuhan begini sudah biasa baginya. Tapi entah kenapa gerakan Revan yang mengelus rambutnya walaupun hanya sebentar membuat dia menahan napas. “Yuuk,” ajak Revan. Revan melangkah menyusul Rora, sedangkan Disa masih terhenyak dalam diam. Dia meninggalkan cewek itu mematung sendirian. Setelah Disa sadar dari kagetnya, dia tersenyum. Apapun deh, dia tidak peduli pada status. Yang penting Revan masih bersamanya. Cewek itu lalu berlari menyusul kedua sahabatnya. “Oya, gue lupa. Dis, lo pingin beli kado buat cowok itu kan? Tuh dianterin Revan aja. Pasti milihnya jago. Sekalian Revan beli titipan nyokap. Gue ditinggal aja, nggak papa” Disa mendengus. Ini dia rencana Rora semula. Pasti deh, jebakan begini lagi. b**o banget, Disa sama sekali nggak sadar. “Ya udah, gue tinggal.” katanya. Setelah mereka berpisah, baru Disa bingung. Mau kemana mereka setelah ini? “Nyokap titip apaan sih?” tanya Disa. Dari pada pusing mending beli yang jelas dulu. Revan garuk-garuk kepala. ”Anuu… Beli apa yah tadi? Oh iya. Beli bawang sama merica.” Disa ketawa. Sejak kapan Revan mau tahu urusan dapur? ”Udah deh, mendingan beli kado lo dulu. Nyokap ntaran aja.” Masalahnya, cowok SMA sebelah yang Rora ceritakan itu cuma fiktif belaka. Hasil karangan cewek itu. Jadi ya… Disa memang tidak berniat untuk membeli apa-apa. “Ke book store aja yuk?” Revan tersenyum. Tapi Disa melihat senyum cowok itu tipis. Tipis banget malah, terkesan nggak ikhlas. Sampai toko buku, Revan yang biasanya langsung ngacir menginventarisir ke bagian komik Detective Conan kesayangannya, malah tetap berjalan di belakangnya. Disa mengernyit. Aneh?! “Nggak ke sana?” Disa menunjuk bagian komik ke Revan. “Ntar.” jawab Revan. ”Lo duluan aja.” Disa mengernyit. Aneh. Bener-bener aneh, pikirnya. Tapi Disa cuma bisa heran tanpa diutarakan. Dia tak mau protes lebih banyak lagi. Akhirnya dia memilih tak menggubris sikap aneh Revan. Dia jalan saja ke etalase besar di depan tempat Harry Potter terakhir terpajang anggun menjadi primadona di sana. Disa tersenyum lebar. Dia langsung berlari kecil kegirangan lalu menghampiri rak yang memajang buku favoritnya. Disa mengambilnya, lalu membalik buku itu dan membaca sinopsisnya. “Ini yang terakhir kan?” Tanya Revan. “Iya. Gosipnya, Harry bakalan mati. Tapi gue nggak percaya. Uuuhh, gue bakalan protes keras ke J.K Rowling kalo Harry beneran mati. Kan kasian.” Revan tersenyum setengah hati.”Itu kan cuma cerita.” “Cerita juga punya nyawa.” kata Disa. Disa tertegun dengan kata-katanya sendiri. Tapi kemudian dia tersenyum dan membalik buku itu lagi hingga cover Harry Potter terakhir terlihat. ”Gimana perjuangan tokoh-tokoh itu dan apa hasil dari semua yang mereka lakukan nggak ada yang mau terliat sia-sia! Ending itu, bukan cuma penulis yang bisa nentuin. Tapi juga keinginan pembaca.” “Tapi itu hak penulis kan. Dia sutradara ceritanya.” Disa berbalik dan tersenyum jahil. ”Detective Conan belum tamat juga kan?” dagu Revan mengeras. ”Dari beratus-ratus kasus itu lo pernah berpikir nggak kalo akhirnya Conan bakalan mati?” Revan mau bicara tapi Disa segera memotong. ”Gimana kalo seandainya dia mati di tengah jalan dalam penyelidikan dengan tubuh yang masih mengecil?!” Revan mau buka mulut lagi, tapi Disa potong lagi. ”Gimana kalo dia kalah ngelawan organisasi terus dia bakalan terperangkap dalam tubuh kecilnya selamanya? Terus ceweknya itu gimana? Dia bakalan nunggu orang yang nggak bakalan kembali? Atau katanya denger-denger malah Conan memang nggak bakalan bisa balik ke tubuhnya semula terus dia bakalan sama Ai Haibara. Nah loh?” “Iya, iyaaaaa!” Revan mengeluh, menyerah karena cewek itu terus menyerangnya. Disa tersenyum lebar. Akhirnya dia menang juga. Disa tau benar. Revan nggak bakalan rela kalau endingnya tragis begitu. ”Terus mau beli ini?” Revan menunjuk buku yang Disa pegang. Cewek itu menimbang-nimbang.”Beli yang versi Indonesia apa yang versi Inggris dulu yah?” Revan mendengus. Disa pasti bakalan lama. ”Ya udah. Gue ke bagian komik dulu.” Setelah Disa mengangguk, Revan menjauh dan menuju ke rak bagian komik khusus Detective conan kesukaannya. Dia mengambil komik yang dia inginkan. Lalu dia balik untuk membaca sinopsis di belakangnya. Revan tersenyum puas. Dia membawa komik itu bersamanya untuk menemui Disa yang akhirnya siap di depan kasir. “Beli yang versi Indonesia?” tanya Revan sambil nyengir. Disa mengangguk. Rasanya dia puas dengan apa yang ada di genggamannya. Walaupun dia juga suka mengumpulkan dua versi sekaligus, tapi paling tidak, dia bisa cepat-cepat menamatkan cerita itu tanpa perlu men-translete dulu. Makanya dia memilih versi Indonesia. Setelah membayar, keduanya bingung lagi. “Ini mau kemana?” tanya Disa. “Lo duluan.” tawar Revan. Disa menghela napas. “Beli cokelat aja deh?” putus Disa. Revan cuma angkat bahu. Mereka ke supermarket lalu melihat kumpulan berbagai cokelat di situ. Disa mengambil satu kotak cokelat ukuran besar. “Kebagusan amat.” kata Revan mengambil cokelat itu lalu ditaruh di tempatnya semula. Lalu dia mengambil cokelat di pojok. ”Nah, ini dia. Ini aja nih. Ini baru istimewa” Revan nyengir menemukan cokelat paling muuuuurah disana. Biar deh, walaupun cowok itu dikasih cokelat sama Disa tapi kalo dikasih cokelat begini pasti nangis juga. Revan ketawa dalam hatinya. Giiirang bener! “Ini?!” Disa mengernyit menunjuk cokelat pilihan Revan yang katanya istimewa tapi harganya hanya dua ratus perak. ”Berapa?” tanyanya memastikan. Soalnya cokelat itu kecil dan harganya murah sekali. Kalo dikasih ini, jumlahnya harus banyak dong. Sepuluh, gitu. “Satu aja.” kata Revan yakin. “Ngaco. Cowok itu pasti ngomel-ngomel nggak karuan, kan?” “Loh, emang kenapa? Hadiah nggak bisa dinilai dengan uang dong. Kalau dia nggak terima dikasih ini berarti dia nggak tulus sama elo. Orang kayak gitu sih nggak usah diharepin. Udah lupain aja.” Revan tetap berargumen. Tetap berusaha biar cowok yang jadi gebetan Disa cuma dapet cokelat itu aja, satu aja masih kebagusan! Disa tersenyum. Menimbang-nimbang cokelat harga dua ratusan itu, dan membayangkan kalau dia ngasih cuma cokelat itu, satu biji pula. Apa kata dunia? “Nggak ah, kasihan. Yang ini aja lah.” Disa mengambil beberapa cokelat ukuran besar. “Eh, jangan yang ini. Kebagusan amat!” Revan mencoba menghalangi. Revan makin tidak terima. Yang Disa ambil itu cokelat favoritnya. Dan Disa mau kasih cokelat favoritnya sama orang lain? Tega! Revan kesal. Tapi sepertinya Disa tidak peduli. Dia menghampiri kumpulan kertas kado.                                                                                                                                               “Tuh, yang pink aja.” Revan memilih satu kertas kado warna pink yang ceweeeek banget. Tapi Disa ingat kata Revan tadi pada Rora. Mana mau cowok dikasih warna pink? Makanya dia memilih warna biru, motif paling keren yang ada di situ. Setelah dibayar, dia ke ruang informasi untuk memakai servis membungkus kado di sana. “Makasih ya, Mba.” Disa mengambil kotak biru manis dari pelayannya. Lalu dia masukkan ke plastik. “Oke selesai. Lo gimana?” “Kita pulang aja.” Revan berkata dingin. Disa mau tidak mau menurut. Dia membonceng Revan sampai rumah. “Nama cowok  itu sapa si? Anak mana? Nomor HP-nya berapa?” tanya Revan setelah sampai di depan rumah Disa dan cewek itu sudah turun dari boncengannya. “Mau ngapain?” “Gue mau mastiin. Itu cowok baek-baek apa bukan!” Disa tersenyum. “Cowok baek kok. Baek banget malah. Udah ya, gue masuk.” Revan termangu. Revan mau komentar lagi, tapi Disa keburu masuk ke rumahnya sambil tersenyum. Revan merasa ada yang aneh di sudut hatinya. Ini untuk pertama kalinya Disa tersenyum bahagia waktu membicarakan seorang cowok. Dan itu bukan dirinya!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN