Bab 5

3232 Kata
14 Febuari… “Gimana kemaren? Ada kemajuan sama Revan?” Itu yang Rora tanyakan waktu ketemu pagi ini di kelas. Disa mendengus. Kemajuan? Nggak pernah ada. Selama tiga tahun ini hubungan mereka memang selalu statis begini. “Dasar Revan! Sebenernya perasaan dia ke elo gimana sih? Tanggung banget. Suka, suka sekalian. Nggak, nggak sekalian! Nggak tegas banget sih buat negesin status. Padahal gelagat kalian berdua nggak ada bedanya sama orang pacaran. Cuma belum resmi.” Disa tersenyum. Dia yang ngerasain, tapi kenapa Rora yang sewot? Tapi yah, memang. Revan selalu menjemputnya, selalu menemaninya, selalu ada di sisinya dan selalu melindunginya kalo Disa ada apa-apa. Tapi hubungan dari kelas 1 SMP ini pada kenyataannya hanyalah sahabat. “Udah lah, mau gimana lagi.” “Terus, kira-kira, Valentine tahun ini dia ngasih something nggak?” “Kalau dipikir-pikir, kebangetan kalau dia nggak kasih apa-apa. Gue udah mincing-mancing dia dari kemaren. Masa iya dia nggak nyadar-nyadar?” ucap Disa. ”Tapi masalahnya ini, itu Revan. Tahun pertama gue kenal dia aja, dia nggak tahu Valentine itu tanggal berapa.” renung Disa. “Terus, tahun kedua…“ Disa mendengus. Mengingat lagi memori itu membuat dia cemberut berat. “Dia malah ngomel-ngomel, terus bilang kalo valentine itu bukan budaya kita. Cuma akal-akalan perusahaan cokelat doang. Gitu.” “Alaaaah palingan dia ngomong gitu karena dia nggak pernah dikasih cokelat!” “Udah deh, gue nggak terlalu berharap dia ngasih gue sesuatu. Orang tahun kemaren aja gue cuma dikasih es krim. Itu aja dikasih embel-embel ’sebenernya sih gue nggak peduli sama yang begituan. Tapi ya udah deh gue kasih es krim, biar lo nggak iri aja sama yang lain.’ Gitu. Palingan tahun ini dia bakalan bilang, ’kan tahun kemaren udah dikasih.’” Rora makin menggeleng prihatin. Tapi Disa serius. Tahun ini dia memang tidak terlalu berharap. Habis, setiap berharap Revan kasih sesuatu pasti Revan banting harapan itu tidak hanya jatuh ke tanah, tapi juga terpental lagi ke udara. Kenapa ya, setiap menyangkut Revan, hal mudah saja jadi rumit? Dia nggak berharap dapat banyak cokelat. Dia hanya dapat satu juga tidak masalah. Yang penting Revan yang kasih. Sdah, cuma itu. Simpel. Tapi tiga tahun dia tunggu-tunggu cowok itu bertindak, tapi tetep saja tidak pernahkesampaian. Jangankan menyatakan perasaan terus meresmikan kedekatan mereka. Kasih kado di hari kasih sayang saja tidak! --- Revan melihat Disa dan Rora yang mau ke kelas. Saat Disa berjalan di depan Rora, Revan membekap mulut Rora dari belakang dan diseretnya ke sekre basket. “Puuuh!” Rora terengah-engah kehabisan napas saat tangan Revan terlepas. Dan matanya nyaris keluar saat tahu siapa penjahat yang menculiknya. “Heh, s***p ya!” “Dieeeeeeem!” Revan sama-sama galak. ”Ato gue bekep lagi nih!” Rora mundur selangkah. Revan mendengus. Dia menarik tangan Rora untuk duduk di depannya. Tak peduli Rora sampai memekik kesakitan. “Denger ya. Sori banget. Tapi, Van. Elo tahu sendiri kalo gue udah punya cowok. Jadi maaf banget. Maaf. Gue nggak bisa. Bahkan buat jadiin elo sephianya gue juga gue nggak bisa. Gue nggak bisa selingkuh di belakang Deni. Lo bisa ngertiin keadaan gue, kan? Lagipula gue nggak mungkin khianatin temen gue sendiri!” Revan menoyor kepala Rora keras. ”Siapa yang bilang mau jadi selingkuhannya elo? Hah?! jadi pacar pertama juga gue ogah!” Rora terhenyak. ”Jadi, elo nyulik gue bukan buat nembak?” Revan menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan cepat-cepat. ”Terus?” Revan mendengus. Menggaruk-garuk rambutnya. Lalu memegang dagunya. Masih tak tenang, dia bangkit berdiri. Berjalan mondar-mandir sampai Rora yang melihatnya capek sendiri. Kemudian Revan duduk sambil menatap Rora serius. Rora kaget dan mencondongkan kepala ke belakang. ”Gebetan Disa siapa sih? Anak mana?” Rora mengerjap sebentar. Lalu tawanya pecah menggelegar sampai ruang sebelah. Tinggal Revan yang bingung sendiri. Apanya yang lucu sih? “Sori, sori, sori.” kata Rora disela tawanya. Lalu dia mencoba menahan rasa gelinya yang sangat kentara di depan Revan. Dan Revan langsung tahu apa yang cewek ini pikirkan. “Kayaknya gue salah milih temen cerita!” kata Revan ketus. Rora yang sadar wajah serius Revan, jadi panik sendiri. ”Eh, Van, gue kan udah bilang sori tadi. Maafin, dong. Masa gitu aja marah!” Revan masih membuang muka. Kesal, sebal ditertawakan sebegitu rupa. Padahal dia bener-bener sedang serius bertanya. “Yaaah… Gue pikir lo nggak akan tertarik. Habis elo, kayaknya nggak ada gerakan sama sekali. Eh, tiba-tiba lo bersikap kayak mafia gini cuma buat tanya hal itu. Siapa juga yang nggak ketawa?” “Udah nggak usah banyak ceramah. Kasih tahu gue!” “Nggak!” Dahi Revan berkerut. Sejak tadi dia berusaha tenang tapi tak berhasil sama sekali. Dan sekarang dia mulai panik. “Ra…. Pliiiiiiiiiis!” Revan bener-bener pasang muka memelas. Rora mau ketawa lagi, tapi dia bekap mulutnya sendiri. Mencoba sedikit bermain. “Kenapa pingin tahu?” Revan tahu Rora pasti akan memerasnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut privasinya. ”Bukan urusan elo!” Rora mengangguk. ”Oke,” Rora bangkit dan mau pergi tapi Revan tahan. “Oke, oke, gue kasih tahu, gue kasih tahu!” Revan mengalah. Dan Rora langsung tersenyum. Dia langsung duduk dan pasang telinga baik-baik. ”Gue takut cowok itu bukan cowok baik-baik. Itu aja.” “Emang apa urusannya sama elo? Mau dia berandalan kek, mau dia pembunuh kek. Itu kan haknya Disa.” Revan jelas makin kesal. ”Sebenernya elo mau kasih tahu apa enggak sih?!” “Van, gue cuma mau kasih nasihat sama elo. Kesabaran memang nggak ada batesnya. Tapi suatu saat Disa pasti capek dan jangan salahin dia kalo suatu saat nanti dia bakalan lepas dari elo.’” Tatapan Revan ke Rora melemah. Bukan kosong, namun seperti sulit untuk menerima pandangan di depannya. Dia lebih suka menghindari topik ini. “Disa boleh pergi kalau dia udah nggak kuat.” kata Revan. “Tergantung sikap elo.” balas Rora. ”Kalo gue jadi Disa, gue nggak bakalan tahan Van. Jalani hubungan tiga tahun tanpa kejelasan.” Rora tahu dia menyimpang dari pembicaraan. Dia juga sadar telah menyerempet privasi Revan, makanya dia cepat-cepat menambahkan. “Cowok yang lo hadapi ini hebat, lho. Nggak akan kalah sama siapapun. Gue denger  Disa udah beli cokelat buat dia.” Rora senyum. ”Beruntung banget deh cowok itu.” Rora menepuk bahu Revan, lalu pergi tanpa bicara apa-apa lagi. ---  “Vaaaaaaan, gue jadian Van! Gue diterima!” Fikar memeluk Revan tiba-tiba dari belakang. Buat Revan jingkrak-jingkrak saking risihnya. “Lepaaaaaaasin!” teriak Revan.”Ini pelecehan s*****l!” teriak Revan lagi. Tapi Fikar tidak paduli. Dia mau meluk Revan lagi, tapi Revan langsung kabur kemana saja asal tidak dipeluk lagi sama cowok m***m begitu. Dan, BUG! Revan kepental sedikit, sedangkan orang yang ditabraknya terpental jauh sampai semeter darinya. Ternyata dia cewek. Revan meringis. “Sori…” Cewek itu mendelik mau marah, tapi setelah dia tahu kalau yang menabraknya itu Revan, kemarahan yang berkilat-kilat di matanya berubah jadi pandangan memuja. “Revan…” kata cewek itu. Dia berdiri lalu memapah Revan untuk berdiri. ”Elo Nggak papa?” Revan bengong. Heran karena seharusnya dia yang bilang begitu. Tapi Revan mengangguk saja. “Lo kenal gue nggak?” tanya cewek itu. Revan yang masih bengong menggeleng. ”Gue Reina.” Revan mengangguk. ”Kebetulan kita ketemu di sini. Gue emang nyari elo. Ini buat lo.” Reina mengangsurkan sebuah kado warna pink padanya. Revan langsung berjengit melihat warna pink di peruntukan untuknya. ”Sori, gue ada urusan.” Revan mengelak dan kabur. Tapi Reina tak mau menyerah. Dia menghalangi langkah Revan terus. “Pliiiiiiiiis, terima.” “Nggak!” “Tadi lo nabrak gue kan? Masa lo mau nolak pemberian gue juga!” Revan mengerang kesal. Cewek ini benar-benar tukang maksa. Karena memang dia merasa bersalah juga akhirnya dia terima. Dan makin bengong lagi waktu Reina jingkrak-jingkrak di depannya kayak anak kecil mau diajak ke zoo. “Udah, gue pergi nih.” Revan pamit, lalu benar-benar pergi dari cewek itu. Dia ngeri. Tapi setelah dia melihat Disa berjalan menuju kantin bersama Rora, muka Revan langsung masam. Dia mengetuk-ngetukan kadonya dengan tangan. Gebetan Disa itu, Revan benar-benar penasaran. Lalu dia mendengus saat memperhatikan kado pink pemberian dari Reina. “Dari pada gue yang nyimpen, mending gue kasih Disa aja kali ya?” --- Disa makin manyun. Dia benar-benar berusaha untuk tidak begitu peduli. Tapi dirinya tidak bisa menahan kesal. Sampai bel pulang sekolah, Revan sama sekali tidak punya tanda-tanda bakal memberikan hadiah spesial untuk dirinya. “Kok mukanya kusut?” tanya Revan tiba-tiba saat mereka sampai di parkiran. “Kemaren habis baca HP seri terakhir sampe begadang.” jawab Disa mencari alas an. Dia mengelap muka dengan telapak tangannya. Revan menatapnya seksama. Disa sampai ketar-ketir takut Revan menyadari kebohongannya. “Harry beneran mati?” tanyanya. Ternyata Revan termakan kebohongan Disa juga. “Cuma mati suri. Tapi hidup lagi.” jawab Disa malas. Revan mengernyit. “Terus, kenapa merengut? Ada yang jahilin?!” Disa menggeleng. “Enggak. Cuma…kayaknya hari ini ada yang kurang aja.” Disa membuang pandangannya. Malas melihat cowok paling tidak peka sedunia. Revan merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu. Disa tersentak waktu Revan melakukan gerakan itu. Jangan-jangan…. “Ini dia kunci gue ketemu!” Disa menghela napas kecewa. Makin kesal. Padahal hari ini dia sudah memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak berharap banyak. Tapi tetap saja dia over sensitive begitu. Sedang cowok di depannya malah santai saja naik ke motornya dan memasukkan kunci motor ke tempatnya. Dia bahkan tidak sadar sama sekali kalo cewek di sampingnya sedang cemberut berat, berat, berat!  “Van…” Disa tak tahan lagi. ”Tadi banyak yang dapet cokelat loh di kelas kita.” ”Oh ya?”                                   Dua kata itu membuat Disa berhenti memancing dalam bentuk apapun. Dia merasa kecewa. Ada sedikit sakit hati juga. Kadang juga perasaan tidak terima karena merasa hubungan ini digantung tanpa kejelasan. Tapi dia tidak berani meminta ketegasan apa-apa. Benar-benar tidak berani. Tapi, di lain sisi dia merasa capek juga kalau begini terus. “Nih,” Disa menunduk, melihat yang disodorkan Revan. Dan cewek itu terkesiap melihat apa yang ada di tangan cowok itu. Sebuah bingkisan berbalut warna pink. “Buat gue?” tanya Disa terharu. “Ya iyalah.” Revan bener-bener heran kenapa Disa bertanya pertanyaan yang udah jelas jawabannya. Disa tersenyum tak percaya. Digapainya bingkisan itu. Dia menatap Revan makin tak percaya. Rasanya dia nyaris menitikan air mata terharu. Ternyata cowok itu tak secuek yang dikiranya selama ini. Revan memandanginya heran. Mana Disa peduli. Selama penantian Valentine hanya kado inilah yang dia harapkan. Hanya ini. Disa makin terharu. Dipandanginya kado Valentine teristimewanya itu. Kado itu manis. Walaupun sudah agak kusut karena pasti Revan menjejalkan dengan paksa ke saku jaket yang sempit. Menyentuh bingkisan itu, Disa masih belum percaya.  “Makasih ya.” ucap Disa sambil tersenyum senang. “Gue pikir lo nggak akan kasih…” kata Disa lagi. Dia memang sudah yakin Revan tidak akan membuat hari ini jadi hari yang lebih spesial dibanding hari-hari lain. Bagaimana tidak? Dari awal Revan sudah tidak peduli dengan Valentine. Tentang sejarahnya lah, akal-akalan perusahaan cokelat lah, dan alasan-alasan lain yang membuat dia tidak punya kewajiban untuk memberi cokelat pada orang terdekatnya sekalipun! Namun, sepertinya dia salah kali ini. Revan memberinya kado! Disa makin tersenyum lebar. ”Apaan sih, senyam-senyum mulu? Gue yang malu. Disangka jalan sama orang gila tau!” Disa awalnya merengut. Tapi kemudian senyum lagi. Walaupun kata-kata Revan ketus seperti biasa, tapi Disa tetap saja tak bisa berhenti tersenyum. Aaah, ternyata Revan itu bisa romantis juga. Revan makin menatapnya aneh. ”Dis, kenapa sih? Kelaperan ya?” tanya Revan khawatir. Disa cemberut. Tapi kemudian tersenyum lagi. ”Kalau laper, buka aja kadonya, kayaknya isinya cokelat deh.” “Nggak mau. Gue mau buka di rumah ajah. Biar surprise!” kata Disa. Disa menggenggamnya makin erat. “Surprise?” Revan menatapnya takut-takut. Barulah setelah kata-kata itu terlontar, mata hati Revan terbuka. Seterharu itukah Disa menerima sesuatu dari dirinya? Rekasi seperti ini tidak dibayangkan Revan sama sekali. Dia pikir Disa akan menerimanya dengan senang hati lalu setelah itu akan biasa saja. Tapi tidak seekpresif ini.  “Anu…”             “Revaaan!” Revan dan Disa menoleh waktu ada yang memanggil dengan nada marah. Itu Reina. Cewek dari kelas sebelah mereka. Melihat wajah Reina yang marah, Wajah Revan memerah. Disa jadi punya firasat jelek. Reina menghampiri mereka.             “Lo kelewatan!” Reina memukul lengan Revan, refleks Revan menangkisnya.                    “Apaan sih?” tanya Revan dan Disa kompak. Sama-sama marah. Dan itu malah membuat Reina makin marah lagi.             “Kado Valentine dari gue lo kasih ke Disa?!” Reina bertanya emosi.             Seketika, Disa diam. Kemarahan dan kegembiraan yang datang serentak terhenti mendadak. Dia terhenyak. Sedangkan Revan ingin sekali memplester mulut Reina. Biar tidak bisa bicara! Dia mencium bau masalah setelah melihat Disa sangat terpukul begitu. Disa mengatupkan giginya yang gemeletakan dan membiarkan gemuruh darahnya yang menderas. Lalu ditatapnya Revan yang kebingungan dengan tatapan yang paling tajam yang bisa dia tunjukan.  “Jadi…” Disa meremas bungkusan pink yang tadinya indah itu di depan matanya. ” kado yang lo kasih ke gue, itu pemberian dari cewek lain???” tanya Disa tak percaya! Dengan tampang polos tanpa dosa Revan menjawab. ”Iya.” Astaga!!! “REVAAAAAAAAN!” Revan terhenyak. Disa melempar kado itu ke d**a Revan. ”Nih gue balikin!” Dia ketakukan sendiri melihat reaksi Disa yang semenakutkan ini. “Emang harus dibalikin!” kata Reina ketus. Reina dan Disa bertatapan tajam. Saling kesal. Saling marah. Revan ingin mencegah. Tapi menghadapi dua cewek yang sama-sama terlampau emosi membuat Revan makin tak berkutik. “Tunggu, tunggu!” “DIEM!” Cowok itu malah disemprot kanan kiri. Makanya dia diam aja. sampai akhirnya Disa berbalik pergi begitu saja dari situ. Revan teriak memanggilnya pun Disa sudah tidak peduli.  Disa marah, kesel, gondok, jengkel, emosi! Disa meremas jemarinya kesal. Lalu dia memukulkan pergelangan tangan ke pelipisnya. ”b**o, b**o, b**o, begoooo banget siiiih lo. Bisa-bisanya kegirangan dikasih hadiah sama Revan! Padahal itu hadiah pemberian cewek laeen! b**o, lo!” gumamnya kesal! Dia kesal sekali, Revan itu benar-benar tidak mengerti perasaaan cewek. Disa langsung mendapatkan taksi waktu keluar gerbang. Dia menyetopnya lalu masuk ke dalamnya. Di dalam taksi, Disa benar-benar makin merasakan kesal yang menggunung. Dia kesal, kesal sekali. Astaga, kebahagiaan yang dirasakannya bisa runtuh dalam hitungan detik! --- “Eh.” Reina menahan tangan Revan. Revan jelas langsung menepis tangan itu. Dan tanpa basa-basi, dia menstater motornya berharap Disa belum pergi terlalu jauh. Tapi telat. Sebelum dia menyusul cewek itu, Disa sudah masuk taksi cepat-cepat. “s**l!” desis Revan. Dia tak membiarkan sedikit pun waktu terbuang percuma. Segera dia mengejar taksi yang Disa naiki. Disa melihat spion atas. Dari sana dia tahu kalau Revan mengejarnya. “Lebih cepet lagi, Pak.” suruhnya. Dan kecepatan taksi makin dipercepat. Walaupun Disa tahu, percuma saja. Karena Revan pasti bisa mengejarnya juga. Bahkan dia sudah menyusul jauh di depan. Disa tak peduli. Dia juga tidak peduli waktu Revan turun dari motornya dan berdiri di tengah jalan. “Jalan terus Pak. Kalau perlu, tabrak sekalian.” Dan atas perintah Disa, Revan sampai terguling demi menghindari taksi. Revan kaget bukan kepalang. Tidak menyangka Disa tega menabraknya. Dia pikir dia akan mati tadi. Disa menoleh ke belakang, khawatir. “Kok malah ditabrak beneran sih Pak?!” Disa protes pada sopir taksinya. “Loh, kan Mba yang suruh?” “Astagaaa!” Disa menepuk dahinya. “Mundur, Pak.” suruh Disa. Saat sampai di tempat Revan berada, Disa membayar taksi lalu turun. Taksi pergi meninggalkan mereka berdua. Pelan, Disa menghampiri cowok itu yang duduk di pinggir jalan yang sepi. Disa ikutan jongkok. Tanpa melihat muka cowok itu, Disa menarik tangan Revan yang lecet. Dia mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan luka itu seadanya. Sejujurnya, saat itu d**a Revan berdesir. Dia menatap sapu tangan Disa lalu pandangannya dia alihkan ke mata pemilik sapu tangan itu. Tidak pernah. Memang Disa tidak pernah bersikap begini sebelumnya. Tindakannya yang barusan… Membuat Revan untuk pertama kalinya ragu dan tak bisa membaca perasaan cewek itu. Disa nyaris menabraknya. Nyaris tak peduli padanya. Tapi dia turun dan seperti biasa merawat lukanya. Dan lagi, pandangan mata Disa datar. Nyaris kosong, tapi dia tetap pertahankan konsentrasi untuk apa yang ada di hadapannya.  “Lo….marah banget, ya?” tanya Revan. Disa diam saja. Dia terus memfokuskan perhatian pada luka Revan. Revan mencengkeram tangannya. Tapi dengan lemah, Disa menyentaknya sampai lepas. Lalu dia mengusap luka Revan lagi. Lama-lama, matanya basah, lalu setitik air jatuh. Tanpa suara. Tanpa dia hapus juga. Dia biarkan saja begitu, sampai Revan sendiri yang menghapus air mata Disa. Dan Disa tetap saja diam. Tidak bicara apa-apa.  “Lo beneran pingin hadiah Valentine?” tanya Revan yang sudah mulai bingung. Dan lagi-lagi Disa diam. Masih sambil mengusap luka Revan dengan sapu tangan. “Dis…” Revan menahan sapu tangan Disa. Sekedar ingin membuat Disa bersuara. Tapi Disa sama sekali tidak berontak. Dia mengambil tissue yang ada di tasnya lalu membersihkan luka Revan lagi. Saking marahnya pada diri sendiri Revan menarik Disa sampai jatuh ke pelukannya. Dia memeluk erat Disa. Lebih baik Revan dimaki-maki, di tampar ataupun dimarahi Disa sampai Disa puas dari pada cewek itu diam saja. Apapun… Revan benar-benar mau memberikan apapun asal Disa kembali seperti sedia kala. ”Gue minta maaf, Dis. Iya, gue janji tahun ini pasti kasih hadiah Valentine. Tapi gue mohon, jangan kayak gini… Apa aja gue kasih. Apa aja…” Apa aja? pikir Disa. Bagaimana kalau dia ingin status? Apa Revan bisa kasih juga? Bukan hanya sekedar hadiah… Bukan cuma sekedar kasih, hanya karena dia merengek minta diberikan. Tidak sekadar itu! Apa Revan bisa mengerti? Apa Revan mau mengerti?  “Mau antar gue pulang?” tanya Disa dingin. Revan melepaskan pelukannya. Menatapnya lama. Dinginnya suara Disa, membuat dia tersentak. Mungkin kesalahan dia sepenuhnya karena tiga tahun ini dia mengabaikan perasaan Disa. Dia teringat kata-kata Rora. ‘Disa bisa aja capek dan jangan salahin dia kalo suatu saat nanti dia bakalan lepas dari elo...’ Seakan mengerti, Revan menarik Disa berdiri bersamanya, menaiki motor berdua, lalu meluncur dari situ. Di jalan, mereka hanya diam. Tidak ada yang mencoba berbicara. Revan tahu Disa masih marah padanya. Dia berhak. Tapi mengingat semua kejadian itu Revan juga marah pada Disa. Dia kecewa. Dia pikir, semua yang dia berikan padanya lebih dari cukup. Dia pikir mereka berdua sama-sama mengerti kalau hubungan yang mereka jalani ini lebih intim dari sekedar pacaran. Lebih dekat karena ini masalah hati. Tidak perlu mengikuti tren putus nyambung karena itu cuma masalah status. Walaupun orang lain tidak mengerti, dia pikir Disa bisa mengerti. Tapi nyatanya, Disa bukan hanya tidak mengerti. Dia juga tidak mau memahami. Kalau seandainya Disa mau melarikan diri kepada cowok yang katanya sekolah di sebelah sekolah mereka, Revan angkat tangan… Sampai di rumah, Disa langsung turun. Revan tak begitu memperhatikan saat Disa menyodorkan sesuatu padanya. Karena dia berniat akan langsung pergi dari situ. Cowok itu terperangah melihat bungkus kado biru manis diangsurkan Disa padanya. Kado yang sama yang dibungkus di Mall waktu itu… Yang dia pikir akan Disa berikan pada cowok yang tanpa nama pembuat pusing kepalanya itu. “Apa ini?” tanya Revan tergagap saat menerima kado itu. “Gue tahu lo nggak suka. Dan nggak penting. Tapi kalo lo pingin ngemil dan persediaan cokelat lo udah habis, makan aja.” ucap Disa. Tanpa menunggu komentar Revan, Disa langsung masuk ke rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN