Sekali lagi, Disa ingin percaya. Sekali lagi Disa ingin memberikan kesempatan untuk Revan membuktikan kata-katanya…. Iya, gue janji tahun ini pasti kasih hadiah Valentine.
Begitu katanya. Artinya malam ini Revan pasti ke rumah, kan? Hanya malam ini. Karena besok pasti bukan Valentine lagi namanya. Karena besok sudah tanggal 15 Febuari.
Disa menoleh ke jam dinding. Masih jam tujuh. Dia mematut diri sendiri di cermin. Mengoleskan bedak meskipun tipis, dan membenarkan tatanan rambutnya biar rapi. Konyol memang. Disa memang selalu merasa konyol kalau dia berhadapan dengan cowok itu. Dia marah. Hanya saja, dia juga masih berharap kalau hari ini bisa berujung baik.
Minimal Revan memberikan hadiah murni darinya. Bukan pemberian cewek lain seperti tadi. Maksimal… Hubungan mereka bisa selangkah lebih maju lagi. Memikirkan itu, Disa tersenyum. Tapi dia juga merasa takut, setiap dia berpikir ke arah sana pasti semua harapan buyar waktu dihadapkan pada kenyataan.
Dan saat dia menoleh ke jam dinding lagi, matanya terlihat gelisah melihat jam menunjukkan pukul delapan. Perasaan takutnya makin besar. Kenapa Revan lama sekali? Atau… dia lupa janjinya? Atau, Revan memang benar-benar tidak akan datang?
Disa ingin menangis lagi waktu dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Ah, sudah tidak ada waktu lagi untuk Revan datang ke sini…malam sudah larut untuk ukuran bertamu ke rumah orang.
Disa kesal. Dia meraih HP-nya dan menelpon Revan. Setelah Revan mengangkat telepon Disa, Disa langsung bilang, “Gue nggak mau ketemu lo lagi!” Lalu telpon ditutup!
Dan Disa benar-benar tidak mau mendengar alasan lagi. Dia tidak mau bertemu Revan lagi. Tidak mau!
---
’Kesabaran memang nggak ada batesnya. Tapi ada saatnya buat Disa untuk capek dan jangan salahin dia kalo suatu saat nanti dia bakalan lepas dari elo.’”
“s****n!” Revan meruntuki dirinya sendiri waktu dia berpikir di dalam kamarnya. Dia tak menyangka kata-kata Rora berpengaruh begini kuat kepadanya. Dia nyaman begini. Dia nyaman ada di samping cewek itu. Dia akan melakukan apa saja biar air mata itu jangan sampai keluar. Dia akan menjadi cowok pertama yang Disa andelin kalau dirinya terlibat masalah. Dia lakukan itu karena dia sayang.
“Disa boleh pergi kalau dia udah nggak kuat.”
Dan Revan masih berpegang teguh pada pendiriannya. Kalau Disa mengerti bagaimana dasar hubungan mereka, Disa tidak akan pergi dari sisinya. Pikir Revan. Dia rasa, Disa akan mengerti…
“Tergantung sikap elo.”
“SIIIIIAAAAAL!!!” Ancaman dari Rora lagi yang keluar dari pikirannya. Dia tahu, seegois apapun dirinya, Disa akan memakluminya. Dia juga tahu Disa menyayanginya sama seperti dia sayang Disa. Bagaimana pun sikapnya!
“Kalo gue jadi Disa, gue nggak bakalan tahan Van. Jalani hubungan tiga tahun tanpa kejelasan.”
Nggak akan tahan?! Revan merenung… Dia tahu, keadaan emosional antara Rora dan Disa. Rora lebih kuat menghadapi masalah ketimbang Disa. Rora bisa saja marah kalau dia tidak suka. Mentalnya sekuat baja. Dan kalau cewek itu menginginkan sesuatu, dia tidak akan menyerah. Tapi dia juga sabar. Hanya kalau sudah kelewatan, baru dia bertindak.
Sedangkan Disa… Cewek yang dijaganya ini memang spesial. Gampang ketakutan, gampang menangis, gampang putus asa.
Dan jika… Dan jika Rora saja tidak sanggup melihat sikapnya terhadap Disa, bagaimana Disa bisa sanggup bertahan?
Revan makin goyah. Dari dulu dia begitu yakin perasaannya sampai pada Disa walaupun tidak dia nyatakan secara jelas. Dan… Apakah status itu begitu pentingnya?
“Cowok yang lo hadapi ini hebat lho. Nggak akan kalah sama siapa pun. Gue denger Disa udah beli cokelat buat dia.”
Dan ini pokok masalah yang membuatnya berpikir. Dia masih memegang kado warna biru dari Disa. Revan sempat tersenyum saat sadar ternyata inilah yang Rora tertawakan! Tidak ada seseorang! Tidak ada siapa-siapa di samping Disa. Itu cuma pancingan. Dan Revan sukses masuk dalam jebakan. Dan saat itu Revan setuju dengan kata-kata terakhir Rora. Revan memang beruntung!
Cokelat ini, kertas kado ini… Semuanya adalah favorit Revan. Disa tahu seleranya. “Kenapa nggak gue perjelas aja semuanya, ya? Kalau emang itu yang Disa mau.”
Revan nyengir. Dia sudah membulatkan tekad. Dia menoleh ke jam dinding, jam setengah tujuh malam. “Masih ada waktu.” serunya senang. Lalu dia meloncat dari tempat tidur dan berlari ke kamar adiknya.
---
Sekali lagi, Disa ingin percaya. Sekali lagi Disa ingin memberikan kesempatan untuk Revan membuktikan kata-katanya…. Iya, gue janji tahun ini pasti kasih hadiah Valentine.
Begitu katanya. Artinya malam ini Revan pasti ke rumah, kan? Hanya malam ini. Karena besok pasti bukan Valentine lagi namanya. Karena besok sudah tanggal 15 Febuari.
Disa menoleh ke jam dinding. Masih jam tujuh. Dia mematut diri sendiri di cermin. Mengoleskan bedak meskipun tipis, dan membenarkan tatanan rambutnya biar rapi. Konyol memang. Disa memang selalu merasa konyol kalau dia berhadapan dengan cowok itu. Dia marah. Hanya saja, dia juga masih berharap kalau hari ini bisa berujung baik.
Minimal Revan memberikan hadiah murni darinya. Bukan pemberian cewek lain seperti tadi. Maksimal… hubungan mereka bisa selangkah lebih maju lagi. Memikirkan itu, Disa tersenyum. Tapi dia juga merasa takut, setiap dia berpikir ke arah sana pasti semua harapan buyar waktu dihadapkan pada kenyataan.
---
“Han,” Revan mendekati adeknya yang sedang membuka buku pelajarannya. Dia menjatuhkan diri di depan adiknya lalu menutup buku yang terbuka. Hana mau protes tapi Revan langsung berkata, ”Kita jalan-jalan yuk?” Hana bengong.
Biasanya kakaknya itu paling malas diajak jalan-jalan. Kalau disuruh mengantar keman-mana tidak pernah mau. Tipe orang yang lebih seneng mengurung diri di kamar sambil baca komik kesayangannya dari pada jalan-jalan keluar layaknya cowok ABG pada umumnya.
“Mau ngapain?”
“Mau dibeliin cokelat nggak?” Dan seketika Hana berdiri. Mengambil baju ganti yang dia pikir bagus buat jalan, terus masuk ke kamar mandi. Revan menjentikkan tangannya. Hana, adek semata wayangnya paling lemah kalau ditawarin cokelat. Hehe…
Tak sampai sepuluh menit kedua kakak beradek itu keluar dari garasi rumah mereka meluncur ke Mall terdekat.
“Han, tau nggak. Kalau hadiah valentine itu yang bagus apa?” tanya Revan waktu masuk ke Mall dan hiasan merah jambu masih bertebaran di mana-mana sebagai dekorasinya.
“Buat Kak Disa ya, kak?” Revan mengangguk.”Bunga aja, kak. Kalo enggak cokelat. Terus boneka warna pink juga bisa.”
Revan mengernyit. ”Emang kalo valentine itu wajib pake warna pink ya?” tanya Revan ingin tahu. Habisnya dia ingin memberikan kado valentine yang bener-bener valentine untuk Disa. Tapi dia juga tahu Disa tidak begitu suka pink.
“Ya nggak tau. Tapi kebanyakan pasti hadiah valentine warnanya pink. Udahlah Kak, kalo biasanya menyimpang dari arus, sekarang ikutin tren aja.” Hana komentar.
Revan mendengus. Iya bener juga. Dia memang tidak suka jadi followers. Tapi karena itulah cara-cara dia paling aneh sendiri. Makanya dia ingin berubah, agar hubungannya dengan Disa bisa lebih baik lagi. Dan Revan setuju. Untuk pertama kalinya memberikan hadiah valentine yang benar-benar dia pilih sendiri dengan semangat untuk seseorang yang selama tiga tahun ini selalu dia sayangi. Dan untuk pertama kalinya juga dia beli barang warna pink. Yah, walaupun bukan buat dirinya sendiri. Tapi asanya geli-geli gimana.
Setelah lama menimbang-nimbang dan bolak-balik hanya untuk memilih hadiah valentine yang pas. Akhirnya Revan memilih satu boneka beruang ukuran sedang warna pink dan satu kado isi cokelat juga warna pink. Revan puuuuuas sekali dengan hasil buruannya.
Walaupun dilihatnya Hana merengut di sampingnya karena kakaknya ini kelamaan untuk sekedar mencari kado, padahal sebagai kompensasi, dia hanya dikasih satu bungkus cokelat!
“Udah yuk, pulang!” ajak Hana. Hana malas menunggu lebih lama lagi karena dilihatnya Revan malah celingak-celinguk ingin ganti kado lagi. Untungnya Revan setuju untuk pulang.
---
Revan melihat jam tangannya. Jam setengah sembilang kurang. Dia menimbang-nimbang. Akan dia berikan sekarang atau besok pagi? Dia sudah dekat dengan rumah. Tinggal menurunkan Hana di depan rumah lalu dia bakalan cabut ke rumah Disa. sambil menyerahkan hadiah-hadiah yang bagus itu, dia bakalan meresmikan hubungan mereka. Dan Disa pasti bakalan teriak dan lonjak-lonjak saking girangnya. Revan ketawa.
“Bonekanya dijagain. Jangan sampe lecek!” perintah Revan. Hana manyun. Gimana bisa? Kakaknya aja kenceng banget ngendarain motornya. Saat itu dia merasakan HP di saku kakaknya bunyi.
“Kak, ada yang telpon.” Hana memberitahu. Revan mengambil ponselnya dari saku. Saat dia melihat nama Disa di sana, dia memutuskan untuk menepikan motornya di jembatan.
“Halo.” Revan bersemangat!
“Gue nggak mau ketemu lo lagi!” Belum sempat Revan bicara apa-apa, Disa sudah membentaknya dengan kata-kata tadi. Lalu telepon langsung dimatikan.
Jangan tanya bagaimana perasaan Revan. Dia kaget, bingung, shock. Namun ujung-ujungnya dia marah! Dia melihat ke arah buket bunga yang tadi dia beli. Dan melihat ke coklatnya juga. Apa maksud Disa mengatakan itu? bagaimana bisa Disa mengatakan itu setelah usahanya yang setengah mati mencari kado hingga semalam ini? apa tadi Disa bilang? Tidak mau bertemu dengannya lagi? revan mendengus sebal. Fine. Kalo itu yang Disa inginkan!
Revan menyambar boneka beruang pink itu dari tangan Hana lalu dia lempar ke sungai di sampingnya.
“EEEEHHHHH!” Hana kaget. Dia menghampiri pegangan sisi jembatan. Melihat boneka yang cantik itu terlempar dan langsung hanyut dimakan arus. Dia belum sempet bertanya ketika Revan mau merebut kado pinknya juga. “EEEEHHHH!!!” Hana sekuat tenaga mempertahankan kado itu tetap aman di tangannya. Tapi tenaga kakaknya yang sekuat kuda ngamuk, bener-bener dahsyat. “Mubazir kak, mubaziiiiir!!” kata Hana mengingatkan. Karena dia tahu dia benar-benar tidak bisa mempertahankan benda itu. Dan saat kado manis itu bisa Revan rebut paksa, Revan juga membuangnya ke sungai!
Revan tak mengatakan apa-apa. Dia naik motornya lalu dia menstater. Hana tahu, dia harus naik sekarang juga kalau tidak mau ditinggal di situ sendirian. Dan benar saja. Saat Hana naik, motor itu langsung melesat cepat. Ngebut! Hana baru bisa ngomong saat sampai rumah. Dan kakaknya itu sama sekali tidak mau bicara. “Kak, kok tadi dibuang sih?”
“Kenapa? Mau diambil lagi? Ya sana ambil.” Hana merengut. Revan benar-benar uring-uringan. Dia lalu masuk ke kamar.
---
Disa menoleh ke jam dinding lagi, matanya terlihat gelisah melihat jam menunjukkan pukul delapan. Perasaan takutnya makin besar. Kenapa Revan lama sekali? Atau… Dia lupa janjinya? Atau, Revan memang benar-benar tidak akan datang?
Disa ingin menangis lagi waktu dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Ah, sudah tidak ada waktu lagi untuk Revan datang ke sini…malam sudah larut untuk ukuran bertamu ke rumah orang.
Disa kesal. Dia meraih HP-nya dan menelpon Revan. Setelah Revan mengangkat telepon Disa, Disa langsung bilang, “Gue nggak mau ketemu lo lagi!” Lalu telpon ditutup!
Dan Disa benar-benar tidak mau dengar alasan lagi. Dia tidak mau bertemu Revan lagi. Tidak mau!
Tapi akibatnya Disa jadi tidak bisa tidur. Disa kesal. Kesal setengah mati. Dia tidak pernah sekesal ini sebelumnya. Atau mungkin kekesalannya membesar karena sudah menumpuk dari dulu. Dia tidak peduli apakah kemarahannya berlebihan atau tidak. Yang jelas, dia marah. Dan dia ingin Revan tahu kalau dia itu marah!
Sebenarnya dia sempat senang saat Revan tadi memeluknya dan bilang maaf. Dia seneng kalau Revan kebingungan melihat Disa marah. Tapi kenapa sekarang Disa di cuekin lagi?
Karena makin kesal, Disa telepon Hana. Adik Revan. Hana biasa mendengarkan curahan hati Disa, kalau Disa sedang marah pada Revan. “Kakakmu itu kebangeten banget hari ini!” kata Disa langsung saat Hana angkat telepon dan bilang halo.
“Ada apa si Kak? Tadi Kak Revan juga kayaknya marah banget.”
Disa diam sesaat. ”Marah? Marah kenapa?”
“Ya nggak tahu. Hana pikir, lagi marahan sama Kak Disa.”
“Emang. Habis. Kakakmu itu ya ampuuuuuuun, sabaaar, sabar. Masa udah janji mau kasih kado Valentine tapi nyatanya nggak jadi! Nyebelin banget kan!”
“Kado?” Hana bertanya, lalu diam sejenak. ”Anu Kak, tadi sih Kak Revan udah beli kado sama boneka, baguuuuuus banget. Terus,…”
“Terus?”
“Terus habis terima telpon dari Kakak, Kak Revan langsung buang kado sama bonekanya ke sungai di bawah jembatan deket rumah.”
“APA?!” Disa teriak.
“Emang ada apaan siiiih?”
Disa mengeram kesaaaal. Dia pingin gigit tangannya saking kesalnya.
“Nggak ada. Makasih Han..” Disa menutup telponnya. Mulutnya ternganga tidak percaya. Tidak percaya Revan akhirnya membeli kado untuknya. Tidak percaya bahwa kado yang dia nantikan bertahun-tahun dibuang ke sungai begitu saja.
Mata Disa terpejam geram. Bagaimana bisa Revan membuang kadonya begitu saja? Entah kenapa Disa emosi. Kali ini Disa bener-bener marah!