Bab 7

2290 Kata
Seperti biasanya, Revan menjemput Disa lagi pagi ini. Walaupun keduanya sama-sama marah, tapi rutinitas keduanya tetap berlanjut. Dan Disa, walaupun dia ogah satu motor dengan Revan, tapi dia tetap naik juga. Dalam perjalanan Disa tidak bicara apa-apa. Pegangan juga tidak. Dan Disa sempat kaget waktu Revan mengegas motor gila-gilaan sampai Disa nyaris terjengkang kebelakang. Otomatis Disa pegangan. Sampai sekolah, Revan yang langkahnya lebar-lebar berjalan di depan dan menolak berjalan bersisian. Dia masuk kelas duluan dan duduk di kursi duluan. Sampai kelas apa lagi. Mereka sama-sama bungkam. Revan berlalu saja ke kursinya. Disa juga duduk di kursinya, lalu jatuh lunglai di atasnya. “Gimana Dis? Ada kemajuan?” Rora bertanya kepada Disa dengan semangat. Disa makin merengut. Dia meraba laci. Mencari tissue yang biasa ditaruhnya di sana. Tapi, saat dia tak menemukan tissue dia malah menemukan sepucuk kertas. Disa menariknya dan membacanya. Disa terhenyak. Terduduk tegak di kursinya. Kertas ini… “Ra, gue keluar bentar ya.” katanya. Tanpa persetujuan Rora, Disa bangkit, lalu keluar tergesa. Disa tak tahu kemana, yang jelas dia ingin sendiri. Dia memilih tembok samping kelas yang menghadap kebun. Setelah memantau keadaan dan dipastikan aman, dia meluruskan lagi kertas itu. Lo tahu nggak, di dunia ini lo itu cewek yang paling gue benci. Sok cantik, sok suci, sok kecentilan. Tapi sukanya kegatelan ngerayu cowok doang. Gue saranin, terus awasin belakang lo. Karena gue bisa ndorong lo jatuh, atau nikam lo sekalian. Biar lo mati. Biar lo nggak ada di dunia ini lagi. Sekilas, tangannya meremas. Sepucuk kertas yang ditulis begitu jelas. Mengancam dan kata-katanya benar-benar tak ada yang pantas. Kertas yang mengejeknya sebegitu rupa, oleh para pengecut yang tak berani menampakkan diri.             Mau marah percuma. Tidak ada yang bisa dia lampiaskan. Disa cuma bisa diam. Menanggung kesal setengah mati. Sempat dia bertanya-tanya, apa salahnya, sampai ada yang sebenci ini pada dirinya? Apa? Andai saja orang itu tidak menggunakan cara kampungan begini menggunakan surat tanpa nama.             Ingin sekali dia mengacuhkan hinaan itu. Tapi… Disa tidak bisa tidak kepikiran juga. Dia bagai menghadapi musuh yang tidak terlihat. Tidak tahu asalnya. Tidak tahu seperti apa bentuknya. Abstrak! Mengesalkan!             “Iiiiiiiihhh!!!” Disa meremas kertas itu. Wajahnya makin murung, makin kusut, makin mengkerut. Makin tertekuk ke dalam. Makin menyipitkan mata. Dan makin terlihat hidungnya muncul semu kemerahan, dan akhirnya air mata mengambang di pelupuknya. “Siapa sih, yang jahat begini??” keluhnya.             Satu tangan yang lumayan besar merebut buntelan kertas itu dari tangannya, otomatis Disa terkesiap dan menahan. Tapi gerakan apapun yang dia lakukan sia-sia. Kertas itu tetap tidak terjangkau. “Revaaaaan, sini! Balikin kertasnya!”             “Nggak!” kata Revan singkat. Cowok itu bahkan tidak melihat Disa sama sekali. Dia hanya merentangkan kertas itu biar bisa dibaca.             “Revaaaan!” Disa bener-bener tidak mau Revan membacanya. Dia tidak mau Revan tahu kalau ada orang yang mengatainya sejelek itu. Dia malu! Tapi, Disa bener-bener nyerah saat Revan sampai memaksa begini. Dia tidak akan bisa menghentikkan cowok itu.             “Siapa yang ngirim ini?” tanya Revan kaku. Pandangannya lurus-lurus ke mata Disa. Tapi Disa yang sudah terlanjur marah plus malu cuma bisa menggeleng sambil menunduk. Dia jongkok. Lalu membenamkan muka sambil memeluk lutut.             Dia tidak terima diperlakukan begitu tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Membuatnya merasa marah sendiri. Sangat marah. Padahal seingatnya, dia tidak pernah membuat orang marah sampai bisa melakukan hal yang setega ini. Kandidat pelaku saja satu pun dia tidak punya! Saat air matanya mau turun, telapak tangan Revan mengusap punggungnya. Berjongkok di sampingnya, lalu mengernyit serius padanya. “Udah, nggak usah sedih. Kita bakal nangkep orang ini sama-sama. Oke?”             Saat kata-kata itu meluncur, saluran air matanya serasa terbendung dan nyaris tak ada keinginan sedikit pun untuk meneteskan air lagi. Kebingungannya hilang. Karena Disa tahu, setiap masalah yang ia hadapi berdua Revan, semua pasti akan ringan. Dan penyelesaiannya? Disa tersenyum, tinggal tunggu waktu aja. ---             Sejak teror terakhir, Revan selalu ambil posisi. Dia mengantarkan Disa pulang terlebih dahulu lalu dia balik lagi ke sekolah. Tiga hari sejak dia melakukan ritual begini, hasilnya terlihat juga. Ada seseorang yang mengendap ke kelas. Revan tak begitu tahu tapi dia ikuti terus sampai ke pintu kelas. “Ternyata elo?!” Revan bersuara. Dan kini cewek di depannya benar-benar tersentak kaget.             Usahanya untuk memasukkan secarik kertas ke dalam laci Disa terhenti. Dia meremas kertas itu lalu di sembunyikannya tangannya saat berbalik.             “Reina.” Revan menyebut namanya. Dan Reina tampak ketakutan dan juga marah pada saat yang bersamaan saat melihat posisi Revan yang terlihat santai bahkan bersandar di samping pintu sambil menatap tajam polahnya. “Masalah elo itu sama gue. Bukan Disa.” Reina mendelik. Dipelototinya mata tajam itu penuh kewaspadaan.             “Gue nggak peduli. Gue udah cukup puas ngeliat Disa nangis!” kata Reina.             “Nggak capek apa, ngelakuin hal kurang kerjaan begini?”             Bibir Reina mengatup. Ada perasaan tidak terima yang meledak. Tapi dia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. “Kenapa lo bisa suka sama Disa sih?” tanya Reina kesal. “Apa bagusnya dia sih?”             Revan menggaruk kepalanya. ”Ya ampun. Ni cewek …” Revan mendengus. Dia tidak berharap akan dihadapkan pada permasalahan seperti ini. dia tidak percaya dirinyalah penyebab Disa diteror.             “Lu … ck.” Revan berdecak, kehilangan kata-kata. “Mendingan refreshing sana. Dari otak lo tambah korslet.” Kata Revan akhirnya.             Revan memutuskan untuk berbalik karena males berurusan lagi dengan cewek itu. di jalan dia mengacak-ngacak rambutnya emosi. Dia pikir Disa sedang menghadapi masalah serius. Tapi ternyata, dia hanya sedang bermasalah dengan orang yang kurang kerjaan. Buang-buang waktunya saja!             HP Revan berbunyi nyaring. Dia memasukkan tangannya ke saku celananya dan mengeluarkannya. Dahinya berkerut waktu melihat papanya yang menelpon. “Halo?” “Van, udah pulang belum?” ”Udah Pa, ada apa?” tanya Revan. “Mama kecelakaan. Cepet ke rumah sakit!” Mukanya yang semula biasa saja berubah tegang dan mengeras hanya dalam hitungan detik. ”Revan kesana sekarang!” katanya cepat. ---             “Gimana, Pa?” Revan langsung menghampiri papanya yang berdiri cemas di depan pintu UGD.             “Nggak tahu. Dokter belum keluar.” jawab papanya. Revan diam. Dia melangkah ke pintu lalu mundur lagi. “Ini gimana ceritanya mama bisa kecelakaan?” Papanya menghela napas kasar. “Kata orang yang nganter ke sini, mama jatuh lalu ketusuk besi perutnya waktu di proyek.” Mulut Revan terbuka, shock. Antara kengerian juga ketakutan. Mamanya adalah seorang arsitek. Mama sering memantau jalannya pembangunan dan turun langsung ke lapangan. Tapi sepertinya baru kali ini mamanya mengalami kecelakaan kerja. Dan langsung semengerikan ini! Tak lama pintu itu terbuka. Seorang suster keluar dengan tergesa.             “Maaf, apakah kalian keluarga dari Nyonya Kiana?”             “Iya Sus, saya suaminya.”             “Em, begini, akibat kecelakaan yang terjadi, Nyonya Kiana kehilangan banyak sekali darah. Namun golongan darah Nyonya Kiana sangat langka. Dan sayang sekali persediaan darah itu sudah tidak ada lagi di rumah sakit ini. Jadi kami bermaksud untuk mencari donor darah yang mempunyai golongan darah yang sama dengan istri anda.”             “Memang golongan darah Mama apa?” tanya Revan.             “B negatif.” jawab papa. Wajah papa jadi kelam. ”Tidak ada yang punya golongan B negatif di keluarga kami.” katanya lagi.             “Tapi memangnya anaknya tidak ada satupun yang bergolongan darah yang sama?”             “Tidak. Kedua anak kami golongan darahnya ikut saya.”             “Rhesus darah anda positif?” tanya suster heran.             Revan melihat papa mengangguk. ”Iya.”             Revan mengerti arah pembicaraan suster itu. Anak yang terlahir dari Ibu yang Rhesusnya berbeda dengan anak yang dia kandung akan dapat membahayakan janin. Lama kelamaan tubuh ibunya akan membentuk antibodi dari darah bayinya yang dapat menyerang janin. Tapi kejadian itu sudah lama terhapus dari memori Revan. Hana perlu perawatan intensif dari rumah sakit bahkan sejak dia dilahirkan. Ah, itu sudah terlalu lama. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah mamanya. Dia sadar ini keadaan genting. Kalau tidak ada persediaan darah untuk mamanya… maka mamanya bisa dalam bahaya. Dia menghela napas cemas. Ditinggalkannya papa dan suster itu yang masih membicarakan cara mendapatkan golongan darah yang sama dengan mamanya. Dia duduk di ruang tunggu dan menyandarkan punggungnya ke tembok.             “Nyokap lo pasti selamat. Asal, elo mau ngikutin kemauan gue.”             Revan menoleh ke asal suara itu. Dia benar-benar kaget melihat cewek itu di sini. Diperhatikannya wajah Reina yang serius. Lalu dia berpaling. “Pulang sana!” Revan bangkit berdiri.             “Golongan darah gue B negatif!” tegas Reina. Langkah Revan terhenti. Dia menoleh ke arah Reina.             Revan mengerjap. “Hah?” tanyanya setengah hati, tak percaya.             “Gue bersumpah golongan darah gue B negatif!” kata Reina lagi. Revan menatap mata itu. Tapi mata Reina tak gentar sama sekali.             “Yang bener?”             “Boleh dicek.” Revan mau tidak percaya. Tapi dia harus mencoba. Dengan semangat dia menarik tangan Reina, tapi Reina menolak.             “Nggak semudah itu, Revan!”             Revan kaget mendapat penolakan dari Reina. Dia mau bertanya “Apa?” tapi melihat tatapan mata Reina yang penuh kemenangan membuat dia sadar akan sesuatu. Apa yang akan Reina berikan nanti tidaklah dia berikan cuma-cuma. Pasti Revan harus membayar semuanya!             “Apa yang lo minta?!”             Reina tersenyum. ”Ngerti juga. Revan sayang, gue nggak minta apa-apa kok. Gue cuma pingin kita pacaran. Udah itu aja.”             Mata Revan makin menyipit. Meraba semua kondisi yang nanti akan dia akibatkan. Nyawa Ibunya ada di tangan dia sekarang. Dia harus cepat mengambil keputusan, atau semuanya akan terlambat. “Oke, kita pacaran, tapi hitungannya 10 cc/hari!” tawar Revan.             Reina kelihatan tidak senang waktu pacaran mereka dibatasi. “Gue mau kita pacaran sampai nikah! Nggak mau dibatasi pakai hitungan begituan!”             Revan mendengus. ”Anggap aja ini percobaan. Kalo dalam jangka waktu yang gue tetapin lo bisa buat gue jatuh cinta, kita akan tetap lanjutkan hubungan ini. Tapi kalau nggak, gue rasa hubungan tanpa cinta nggak bakal menguntungkan kita berdua. Terutama elo!”             Reina diam. Berpikir kembali. Dia takut, kalau dia gagal membuat Revan mencintainya. “Tapi, apa lo mau janji, selama kita pacaran, lo bakalan jauhin Disa, nggak boleh berhubungan dengan dia lagi?”             Revan melongok ke ruang UGD. Wajah pucat papanya terlihat dari arah Revan memandang. Lalu dia menatap Reina. ”Gue janji! Permintaan lo tadi bakal gue tepati. Kalau perlu kita buat perjanjian tertulis pake tanda tangan di atas materai. Tapi gue mohon, please selametin nyokap gue!”             Reina menganggguk cepat. Dia lemah kalau Revan sampai memohon begitu padanya. Dengan diantar Revan dia periksa darah di lab. Tak lama hasilnya keluar dan memang benar. Ternyata golongan darah Reina B negatif. Revan tersenyum senang. Namun saat Reina menatapnya ragu Revan segera menyemangati. ”10 cc/hari!” katanya.             Dengan itu mau tidak mau perjanjian akan dimulai dari detik ini. Reina mendonorkan darahnya. Dan berkat keberadaan Reina pada saat yang tepat itu mama Revan terselamatkan. Setelah itu Dokter mempersilakan Revan dan papahnya masuk. Di ruang perawatan Ibunya masih tak sadarkan diri. Sedangkan di sebelahnya Reina terduduk di ranjang rumah sakit.             “Keadaan Nyonya Kiana sudah stabil. Untung saja ada pendonor darah yang datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin nyawa istri anda tidak bisa kami tolong lagi.”             “Terima kasih, Dok,”             “Jangan berterimakasih pada saya. Ini semua berkat Yang Di Atas yang mau memberikan jalan pada gadis ini  untuk membantu.”             Papa Revan memanjatkan doa pada Allah lalu tersenyum pada Reina. ”Terima kasih ya, Rei. Kami hutang nyawa sama kamu.”             Reina tersenyum, lalu menoleh kepada Revan yang masih kikuk memandangnya. Sebelum Dokter sempat pergi, Revan mencegatnya.             “Kalau boleh tahu, berapa cc darah yang Reina sumbangkan, Dok?”             “550 cc.” jawab Dokter. Dengan wajah bingung Dokter itu bertanya. “Memang kenapa?”             Revan tersenyum. “Nggak apa-apa.” Lalu anak itu berbalik ke Reina lagi. Wajah Reina pucat. Sepertinya darah yang tersedot banyak. Sehingga ketahanan tubuhnya melemah.             Dengan perlahan Revan mengusap rambut Reina sambil tersenyum. Itu membuat Reina melambung tinggi dan dapat melupakan kondisi tubuhnya yang lemas itu. Baginya demi mendapat sentuhan dari Revan itu jangankan 550 cc, dua literpun kalau ada dia kasih.             “Papa ngurus administrasi dulu.”             Revan mengangguk cepat. Selepas Papahnya pergi Reina langsung berulah. Dia memeluk lengan Revan manja. Refleks Revan menghindar, akibatnya Reina kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur di lantai sisi tempat tidur.             “Ya ampun!” cepat-cepat Revan memapahnya dan tersenyum saat wajah kesal Reina dia pamerkan di depan mata. ”Maaf deh, tadi gue kaget. Siapa suruh meluk tiba-tiba gitu.” candanya sambil mendudukkan lagi Reina di atas tempat tidur.             Reina diam. Revan yang tahu kalau Reina marah hanya mendengus tak sabar. Ini dia yang paling dia tidak suka. Ngambek! “Tenang aja. Elo udah ngelakukin bagian lo. Dan gue pasti menuhi yang jadi tanggungan gue. Gue nggak akan mangkir. Gue janji.”             “Tapi lo juga harus janji kita bakal seperti orang pacaran. Lo nggak boleh ngehindar kalo gue pengen nyentuh lo kayak tadi!”             Revan mendengus. ”Gue udah bilang. Gue tadi kaget! Dan satu lagi, setiap lo mau kayak tadi, izin dulu. Gue mau apa nggak?!”             Reina melotot. ” Kalau gitu caranya, lo pasti nolak terus!” Revan menggaruk kepalanya. “Udah deh, liat ntar aja. 550 cc kan. Berarti kita pacaran 55 hari!”             “Dijadiin 2 bulan aja sekalian…” pinta Reina.             Revan menggeleng cepat. ”Enak aja. Emangnya beli terong di pasar, mesti ditawar-tawar! Perjanjian tetap perjanjian. 55 hari dimulai dari sekarang!” Reina diam.             “Lemes yah?” tanya Revan khawatir. Reina cuma mengangguk. ”Gue antar pulang, yuk. Biar lo bisa istirahat di rumah.” Saat itu, Revan tidak melihat senyum Reina yang mengembang. Reina terlihat senang sakali. Satu-satunya yang dia ingat saat itu adalah Disa. Dia ingin sekali melihat wajah cewek itu setelah tahu Revan sudah menjadi miliknya untuk sementara ini. Dia ingin air matanya yang dia keluarkan setiap malam dibayar lunas saat ini juga!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN