“Revan sayaang, jemput yaaa,” Revan mematikan HPnya segera. Dia nyaris dibuat kesal pagi ini. Benar-benar deh Reina itu. Manjanya minta ampun! Dan Revan masih belum bisa membalik keadaan. Dia masih saja mengikuti permainan Reina dengan mengikuti semua permintaan dia. Pagi itu Revan nyaris lupa! Sebelum Reina mengingatkannya di telepon, Revan benar-benar mau menjemput Disa.
Dan sekarang, permainan ini menjebaknya. Mau tidak mau, dia harus menjemput Reina. Cewek itu sudah ada di gerbang waktu dia ke rumahnya. Dan tanpa berkata apa-apa Revan langsung cabut begitu cewek itu sudah naik ke boncengan.
“Vaaaan, entar pulangnya juga bareng yah.” Revan agak menggeliat sedikit waktu tangan Reina menjalar ke perutnya. Akibatnya Revan oleng dan nyaris rubuh kalau kakinya tidak menyangga beban motor.
“Revaaaaan.” Reina mau ngomel, tapi Revan memelototinnya lebar-lebar sambil meloncat dari motor..
“Gue udah bilang kalo mau pegang izin dulu!!”
Mulut Reina menganga, tak percaya. ”Van! Masa pegangan aja mesti izin dulu!”
“Oke nggak perlu. Tapi gue nggak mau tanggung jawab kalo terjadi apa-apa. Kemaren jatuh dari kasur. Sekarang jatuh dari motor. Kali aja besok jatuh dari tangga ato apa yang tinggian dikit. Dan gue nggak mau tanggung jawab kalo nyampe kenapa-napa!”
Reina cemberut berat. ”Tapi kan lo pacar gue, Van.”
Revan melengos. “Gue tau. Nggak perlu diingetin lagi.”
Reina menggeleng. “Gue nggak percaya elo bisa kayak gini. Gue nggak percaya elo nggak bisa dipegang kata-katanya. Elo bilang elo mau bersikap layaknya orang pacaran.”
“Iya, ini juga gue lagi berusaha tepatin!”
“Kalo gitu gue minta bukti!”
Revan menggeram kesal. “Apa?!”
Reina menantang mata Revan. Revan waspada. Tapi mata itu susah ditebak maunya. Dan saat tangan Reina mencengkeram ujung lengan kemeja OSIS Revan, Revan berusaha untuk bertahan. Berusaha diam. Sedangkan mata Reina masih menatapnya penuh kejanggalan. Antara keinginan dan keraguan. “Cium gue,”
Revan terperajat. Reina menunduk dan tak berani menatapnya lagi. Untuk sementara Revan mengira Reina akan menarik kembali ucapannya. Tapi tak sampai lima detik, Reina mendongak lagi dan matanya berkaca-kaca.
“Elo s***p ya?” Revan akhirnya bisa bersuara. “Elo itu cewek!”
“Biarin! Gue nggak peduli apa kata elo. Gue cuma pingin buktiin kalo elo pacar gue!”
Revan menampik tangan Reina yang masih memegang ujung kemejanya hingga terlepas. Revan tak menggubis kegilaan cewek itu. Dia menarik motornya hingga berdiri. ”Naik!” perintah Revan. Tegas. Otoriter!
Tapi Reina tidak mau naik. Dia justru nekat ke depan motor menghalangi Revan maju.
“Elo bener-bener nggak bisa tepatin janji!” sembur Reina.
Belum juga 24 jam. Tapi Revan sudah capek setengah mati menghadapi cewek ini. “Nggak ada!”
”Tapi kita kan pacaran?”
“Kalo elo ngaku cinta sama gue, harusnya elo tahu kalo gue nggak pernah peduli sama status!”
Reina makin mengkeret. Nyaris menangis rasanya. Sedangkan Revan menggeleng. Ya, memang benar. Revan sama sekali tidak peduli status.
Dan ini yang membuat dia semakin sinis. Pacaran. Cuma buat status. Tapi kosong kalo nggak pernah ada perasaan apa-apa. Nggak ada artinya kalo nggak ada cinta.
Dia lebih suka menunjukan kasih sayangnya langsung kepada orang yang dia sayang. Bukan karena status.
Reina menangis di hadapannya. Revan agak iba. Dia berusaha untuk lebih halus. ”Semua pasti ada waktunya. Maaf, tapi gue masih belum terbiasa. Bisa nggak, kita jalani apa adanya. Gue rasa itu lebih mudah.”
Reina tak bisa menyanggah. Dia kalah…
---
Pagi hari ini Disa kesal. Dari tadi dia menunggu berpuluh-puluh menit di depan rumah tapi Revan sama sekali tidak nongol-nongol juga. Dari tadi Disa menunggu dari waktu dia keluar rumah dari pukul 06.24 sampe jam udah menunjukkan pukul 06.55 saat ini. Sadar dia tidak mungkin menunggu lebih lama lagi, akhirnya Disa menyetop taksi dan baru meluncur dari rumah saat waktunya hanya tinggal lima menit lagi sampai bel dibunyikan.
“Pak ngebut, Pak!” suruh Disa. Setelah dikomando begitu, Pak sopir langsung menambah gigi dan kecepatan. Jakarta macet? Lewat! Ternyata sopir taksi ini begitu spesial. Bapak setengah baya itu tahu rute-rute alternative untuk menghindari macet. Disa saja sampai terkagum-kagum bahkan takjub waktu sampai di depan gerbang bel baru saja dibunyikan. “Wow!”
“Mantan tukang pos, Mbak.” aku sopir taksi itu malu-malu. Oooh, Disa mengangguk makin takjub.
“Makasih Pak.” Ucap DIsa. Cepat-cepat dia merogoh saku dan memberikan sejumlah uang pada sopir taksi itu dan langsung ngibrit ke gerbang.
Beberapa anak yang lari di belakang Disa tidak selamat. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk melihat siapa-siapa saja yang masih di luar dan berapa jumlahnya. Sebelum guru Matematikanya, Bu Lila masuk, dia harus sudah masuk duluan. Makanya dia lari.
Yang paling disesalkan, kelasnya itu ada di paling belakang, paling ujung pula. Pokoknya yang paling jauh.
Seketika dia teringat pada Revan. Apa Revan belum bangun? Atau cowok itu tidak masuk hari ini? Kenapa Revan bisa nggak masuk? Biar nanti saja dia cari jawabannya sendiri setelah pulang sekolah. Biar dia ke rumah Revan, untuk menanyakan langsung alasannya.
Setelah sampai di belokan, Disa mempercepat larinya. Langkah sepatu pantofel Bu Lila terdengar menyeramkan. Dan pada saat yang tepat dia masuk ke kelas.
Disa tersenyum, “Astagaaa, gue pikir siapa!” kata Geri yang duduk paling depan. Disa makin nyengir lebar. Diaturnya napas yang cuma tinggal setengah-setengah itu agar teratur. Saat dia mengelap peluhnya di dahi, satu sosok mengalihkan pandangan dari matanya barusan. Disa terhenyak.
Ternyata Revan sedang duduk tenang di kursinya!
---
Keadaan yang sulit ini harus benar-benar dijalani dengan penuh perhitungan. Satu-satunya cara dia menghadapi Disa adalah dengan menghindar. Membuat jarak. Biar semua lebih mudah. Baik untuknya ataupun untuk Disa.
Waktu sampai di kelas, Revan sedikit tak enak hati juga waktu tahu Disa belum datang. Bahkan waktu bel. Baru setelah dua menit setelah bel, Disa muncul dari pintu. Tergopoh-gopoh sambil menyeka keringat. Lega, namun tak tega. Dan waktu Disa menatap matanya, entah kenapa, Revan punya firasat, kalau Disa merasakan ada yang berbeda sekarang di antara mereka. Revan tersenyum. Ya, Disa memang selalu mengerti. Betapa pun sulitnya, Disa selalu bisa mengerti dia. Walaupun dia tidak mengerti pun, Disa pasti akan mencoba untuk mengerti. Pelan, rasa kangen untuk dekat dengan cewek itu menelusup juga.
Revan menggeleng dan mengalihkan perhatian. Beberapa kali menghela napas. Meyakinkan diri bahwa keadaan ini hanya sementara. Dan saat 55 hari berlalu, dia dan Disa akan kembali seperti semula. Dan semua akan baik-baik saja.
Keadaan semakin mudah saat Disa tak menyapa atau mendekatinya seperti biasa. Disa tahu Revan sedang menjaga jarak. Dan inilah bukti yang membuat Revan percaya, bahwa Disa sedang mencoba mengerti keadaan ini.
---
“Denger gosip pagi ini nggak?” tanya Gena. Rora tersenyum.
“Jangan kasih tahu Disa deh. Kasian. Belum tentu juga bener. Gosip murahan kayak gitu nggak perlu dipercaya.”
Disa melengos. ”Ngapain ngurusin orang lain. Ngurusin diri sendiri aja belum tentu bisa.”
Disa kemudian diam. Ada yang dari tadi dipikirkannya. Perasaannya dari tadi terasa tak enak kalau teringat Revan. Awalnya dia ingin marah-marah karena ini untuk pertama kalinya Revan meninggalkannya berangkat sekolah. Dari dulu Revan tidak pernah begini. Walaupun mereka marahan sekalipun, Revan pasti menjemputnya. Tapi, entah kenapa saat melihat Revan tadi, aura anak itu berubah. Tidak hangat. Akibatnya, jangankan marah-marah, bertanya alasannya apa juga Disa canggung. Makanya dari tadi dia diam saja soal Revan.
“Mak Erot satu datang tuh.” Gena memberi aba-aba pada teman-temannya. Dengan sikap sok elegan Reina muncul dari pintu dan menebar senyum kemana-mana.
“Halooooooooo.” Reina menyapa satu-satu penghuni kelas. ”Ngomong-ngomong Revan kemana, ya?” tanyanya masih dengan nada bahagia. Tapi sayang, semua cuek. Pura-pura b***k dan akhirnya ngeloyor pergi. Disa cs ketawa ngakak.
“Apa lo pake ketawa!” teman-teman Disa semakin ketawa melihat muka Reina merah karena malu.
“Revan nggak di sini.” jawab Disa seadanya.
Reina mendelik. ”Jangan bersikap seolah-olah elo tahu segalanya tentang Revan! Gue nggak suka!”
Disa tersenyum. ”Sori kalau kesannya kayak gitu. Tapi maaf ya, memang kenyataannya gue kok yang paling tahu Revan. Bahkan kalo dibandingin sama elo. Lo itu nggak tahu apa-apa tentang dia.”
Reina makin emosi. Digebraknya meja Disa keras. Sampai orang-orang di sekeliling meja berjingkrak kaget. Gena bangkit dan cepat menyambar kerah Reina.
“Nggak usah kampungan!” kecam Gena.
“Gen, jangan...” Disa melepaskan cekalan tangan Gena. Reina yang terlanjur marah tidak menunjukkan sikap berterima kasih sama sekali.
“Kalian nggak pernah pacaran sama sekali. Hubungan yang cuma sebatas teman nggak punya harga apa-apa walaupun lo cinta. Dan gimanapun juga, akhirnya gue yang menang!”
Disa termenung. Reina terlalu percaya diri. Perasaan yang tidak mengenakkan dari tadi serasa makin besar menganga di hati.
“Maksud…nya?” hanya penggalan kata itu yang keluar dari mulut Disa.
“Jangan deketin Revan lagi. Karena sekarang, gue sama Revan udah pa-ca-ran!”
Disa tersenyum. Namun senyum pahit. “Oh ya? Revan mau sama lo?”
“Maybe. Tapi… Toh tetep aja gue yang dapetin Revan!” Dengan gaya yang angkuh, Reina menatap Disa penuh kemenangan. “Nggak percaya? Tanya gih sama Revan. Siapa pacar dia sekarang?” Dan seketika mata yang ditatapnya tak berbinar lagi. Tidak ceria seperti yang selama ini dia amati. Ada sedikit kesedihan di telaga bening itu. Mata yang diam, tak mau menunjukkan kedalaman hati pemiliknya.
“Lo marah kan, sama gue? Kecewa, kan sama keadaan? Gimana, mau nangis sekarang?”
Saat itu Revan baru datang. Dan semuanya melihat ke arah Revan semua. Reina tersenyum penuh kemenangan padanya, Disa dengan ketidakpercayaan dan mengharapkan Revan menyangkal semuanya. Sedang yang lain menatap Revan dengan keingintahuan saja. Revan tahu medan. Awalnya dia ingin menarik Reina dari arena. Tapi saat Disa bangkit dan menghampirinya, Revan jadi tak bisa bergerak.
“Elo… pacaran sama Reina?” tanya Disa tajam. Serius. Dan penuh kehati-hatian. Revan, cowok yang ditatapnya hanya diam. Tatapan matanya terlihat ragu, namun tubuhnya tetap berdiri tegak di hadapan Disa.
“Suatu saat pasti gue…”
“Lo cuma perlu jawab. Iya atau nggak!?” Disa bertanya dengan suara tertahan.
Rahang Revan mengeras. Tatapan yang lurus tepat ke mata Disa. Disa ingin menghindar, tapi dia malah menantang mata itu. Revan membuka mulut.
“Iya.” ucapnya pelan. Hati Disa mencelos… Patah berkeping-keping. Akhirnya, status itu Revan berikan juga. Sayangnya bukan Disa yang Revan pilih untuk menjadi pacarnya. Tapi orang lain. Dan Reina berlari menghampiri Revan. Bergelayut di lengannya.
“Oke.” Disa mengangguk mengerti. Lalu memilih pergi dari sana. Disa mengeluh. Dia kecewa. Dia kesal pada cowok itu. Bagaimana bisa Revan melakukan ini pada dirinya!
Di lain sisi Disa sadar. Dia sama sekali tidak punya hak untuk marah. Karena Revan… Tidak pernah satu kalipun menjadi miliknya.
---
Revan melepaskan tangannya dari gelayutan Reina. Lalu ikut pergi berlawanan arah dengan arah Disa pergi. Revan tahu Reina mengikutinya. Tapi, masa bodoh! Dia melihat kursi koridor kosong dan tanpa pikir lagi dia duduk di situ. Sikutnya dia tahan di lutut, dan telapak tangannya dia gunakan untuk menyembunyikan kerutan di dahinya. Matanya dia pejamkan. Kesal!
Reina, yang melihat tingkah Revan, cuma bisa diam. Melihat Revan begini, melihat Disa sebegitu marahnya… Dia sendiri meringis. Karena ujung-ujungnya, selalu dia yang merasakan paling sakit. Reina menghela napas. Karena kesakitannya ternyata belum berakhir walaupun Revan sudah dia rebut dengan paksa dari sisi Disa. Dengan keberanian yang tersisa, Reina duduk di samping Revan.
“Gue tau, bagi elo status nggak penting.” ucap Reina. ”Tapi, karena status yang nggak penting inilah yang buat gue bisa yakin Disa bakalan ancur.”
Revan diam saja. Tidak mengatakan apa-apa.