Keseharian Revan itu sebenarnya simpel. Sesimpel cara berpikirnya. Si tengil yang selalu melakukan sesuatu seenaknya sendiri itu paling jago kalau disuruh membaca komik dari pagi sampe malam. Tapi kalau disuruh nemenin cewek gila belanja seperti Reina, dia angkat tangan.
“Tiga baju lagi, deh.”
Reina membujuk. Padahal dua tangan Revan dan satu tangan Reina sudah berjubel tas belanjaan. Revan melihat jam tangannya. Dia mendengus waktu menghitung waktu. Tiga jam!
Habis sudah kesabaran cowok itu. Dia meletakkan tas belanjaan seenaknya lalu dia ngeloyor pergi sendiri. Baru saat itu Reina teriak-teriak minta Revan balik. Namun tetap sia-sia saja. Akhirnya Reina yang mengalah. Dia mengambil tas belanjaan yang ditelantarkan Revan kemudian menyusul cowok itu.
“Vaaan, tolongin doooong!”
Revan pura-pura tidak mendengar dan dengan santainya berjalan menuju toko buku. Tanpa memperdulikan Reina yang pontang panting kerepotan menyusulnya.
“Ya ampuuuuun, Vaaaaaaan!”
“Diem!” bentak Revan. Reina mengkeret. ”Nggak usah teriak-teriak. Malu-maluin!” Setelah itu, Reina benar-benar diam. Boro-boro teriak apalagi ngeluh. Bicara saja tidak berani!
Revan bisa lega karena itu. Sekarang gantian dia yang bersenang-senang. Dicomotnya satu komik Detektive Conan yang segelnya terbuka. Lalu dia baca di tempat.
“Van,“
“Hmm,” Reina gondok. Tidak dipedulikan Revan lagi.
“Katanya lo mau bersikap kayak orang pacaran. Kok begini?”
Protes dari Reina terdengar lagi. Revan mau tak mau memberikan jawaban.”Emang kenapa?”
“Perlakuan lo itu lho. Pertama ninggalin belanjaan gue gitu aja. Terus sekarang gue dicuekin.” Revan diam saja. Dilanjutkannya membaca tanpa menoleh lagi. Reina gondok sendiri, lalu akhirnya dia cemberut berat.
“Apa yang lo tahu tentang gue?” tanya Revan, masih tidak lepas dari komiknya. Reina mengernyitkan dahi.
“Kok tiba-tiba tanya gitu?” tanya Reina. Revan tidak berkomentar apa-apa.
“Lo itu…” Reina diam. Dia mencoba menata kata dalam pikirannya. Lalu dia melihat komik yang Revan pegang. “Lo tuh, suka baca komik.” kata Reina. Revan tersenyum setengah bibir. Semua orang yang lihat posisi Revan sekarang juga tahu kalau dia suka baca komik!
“Yang laen?”
“Lo tuh… Cuek. Keras kepala. Kadang juga nggak punya perasaan. Lo tuh...” Reina mengatupkan bibirnya. Baru sadar dia, Disa benar. Dia tidak tahu apa-apa tentang cowok di depannya itu.
“Lo cuma mau bilang kan, kalau cuma Disa yang tahu elo. Ya iyalah dia kan deket sama elo dari dulu. Tiga tahun kan waktu yang lama.”
Revan menggeleng. “Nggak juga.” Revan tersenyum. ”Walaupun lo bareng gue sepuluh tahun, belum tentu juga lo bisa tau luar dalemnya gue.”
Reina makin terserang. Namun dia makin meringsek maju. ”Apa hebatnya Disa dari pada gue? Cantik? Pinter? Kaya? Atau apa?”
Revan ketawa. Pede banget nih cewek. Dari kaca mata Revan, cewek tipe begini ini tidak akan puas diberi jawaban apapun. ”Terus, apa yang lo suka dari gue?”
Reina garuk-garuk kepala. Berpikir.
“Karna lo satu-satunya cowok yang nolak gue.” jawabnya akhirnya.
“b**o!” Reina melongo. Maksudnya? “Gue paling nggak suka sama orang yang sok idealis tapi nggak realistis. Lo suka gue, karena gue nggak suka sama elo? Begitu?” Reina makin mengkeret. ”Udah berhasil menjawab rasa penasaran lo sekarang? Udah puas?” serang Revan lagi. Lalu meneteslah air mata Reina.
“Gue bener pingin sama elo.” ucap Reina jujur.
Kini Revan yang terdiam. Sepertinya dia sudah terlalu memojokkan Reina. Melihat Reina yang cengeng begini, dia jadi inget Disa. Si cengeng itu…
Revan lalu mengalah. “Kalo lo pingin sama gue, lo nggak boleh banyak ngeluh. Cuma cewek kuat aja yang sanggup bertahan di samping gue.”
Seperti cambuk, kedua mata Reina membesar. Kalimat itu melesat membuka hati yang terbuai kemenangan untuk bersaing sekali lagi.
---
Pelan-pelan, cewek yang bernama Reina itu belajar keras mengerti Revan. Membuat Revan tidak tenang. Karena lama-lama, cewek itu bukan hanya mirip Disa. Tapi Reina memang berusaha mengubah total penampilan dan sikapnya menjadi seorang Disa!
“Kenapa rambut lo?” tanya Revan waktu melihat rambut Reina yang semula ikal menjadi lurus aneh keesokan harinya.
Reina tersenyum manja. ”Ini namanya rebonding sayang.”
Revan mengernyit. ”Ngapain rambut lo direbonding segala?”
Pertanyaan bodoh. Sebelum Reina menjelaskan pun cowok itu tahu. Alasan Reina meluruskan rambutnya adalah karena rambut Disa juga lurus.
“Emang nggak bagus ya rambut gue dilurusin?”
“Nggak pas sama face lo!” Reina manyun. Tapi yang Revan tahu, kalo Reina manyun, pasti langung marah-marah ‘Lo nggak tepatin janji. Katanya mau kayak orang pacaran!’ gitu ciri khasnya. Tapi sekarang, Reina terlihat seperti sedang memaksakan menyabar-nyabarkan diri. Lalu tersenyum. Revan semakin tidak ngerti.
“Ngapain senyum?”
“Disa sering senyum kan?”
Revan makin menggeleng. Disa itu sering dia omelin karena suka senyum-senyum sendiri. Eh, malah ditiru. “Ngapain sih, harus ngikutin gaya Disa?”
Reina mengulum senyum. ”Itu tipe cewek elo kan?”
“Bukan.”
Reina menoleh tak percaya. ”Jadi, elo sebenernya nggak suka Disa, begitu?”
“Ya… enggak juga.” Revan menjawab sekadarnya. Saat melihat Reina bingung, Revan memilih menghindar. Dia langung izin menghampiri teman-temannya latihan basket.
---
Revan meluncur ke rumah sakit. Dia memilih untuk menjenguk Ibunya walaupun suasana hatinya sedang jelek sekali. Reina benar-benar sanggup menguji kesabarannya hingga dia tidak bisa berkata-kata. Malamnya dia begadang dan paginya dia kesiangan. Karena tanggung, dia memutuskan bolos saja sekalian.
“Perlu Mama buatin surat ijinnya?” Revan menggeleng. Tidak perlu. Lagi pula tidak ada yang bisa dititipin juga. HP dia matikan. Hari ini, biar dia istirahat sebentar dari Reina. Dia malas di ganggu.
“Mama pikir kamu pacaran sama Disa, Van. Kok malah sama Reina?” Mama tak kuat menahan rasa penasaran.
Revan tau memang aneh. Dia juga tidak mungkin memberitahukan alasan yang sebenernya pada sang mama. “Ada alesan kenapa Revan pacaran sama Reina. Tapi hubungan Revan sama Disa nggak bakalan berubah sampai kapanpun.” jawab Revan.
Mamanya tersenyum. ”Iya deeh, Mama paham. Kamu nggak mau cerita kaaan?”
Revan tersenyum. ”Mama udah boleh pulang kapan?”
“Hmm, ngalihin pembicaraan terus. Ya sudahlah. Besok Mama udah boleh pulang. Kasian Hana di rumah sendirian.”
Revan menatap senyum mama. Dan lagi-lagi dia merasa hutang nyawa pada Reina. Seandainya Reina tidak ada, entah bagaimana nasib mamanya. Kalo dipikir-pikir secara logis, permintaan Reina untuk berpacaran denganya selama 55 hari ringan sekali. Lalu, Revan menyalakan lagi HP-nya. Membiarkan Reina menghubunginya kapan saja dia mau…
---
“Hari ini Pak Robi tidak bisa mengajar karena ada keperluan yang sangat mendesak, anak-anak.”
Semua anak sekelas bersorak. Senang alang kepalang. “Jangan senang dulu…“ Pak Heri, Guru Bahasa Inggris mereka menyela kesenangan anak didiknya. ”Tetap ada tugas.”
Huuuuuuuuuuuuu!
Pak Heri tak peduli koor anak-anak. Beliau tetap melanjutkan. ”Setelah jam pelajaran Kimia selesai, tugas harus sudah dikumpulkan di atas meja Pak Robi. Mengerti?”
“Mengerti, Paaaaak.”
Seperti biasa, Pak Heri mengabsen muridnya. Masalahnya adalah Revan pagi ini tidak tahu ke mana. Dia menghilang dan tidak masuk tanpa keterangan. Seandainya dia tidak berangkat, seharusnya ada surat izinnya. Tapi ini tidak ada sama sekali. Dugaan Disa, Revan bolos.
Tapi mimpi buruk kalo sampai berurusan dengan Pak Robi, guru yang paling tidak bertoleransi sama sekali. Pak Robi itu jelmaan Severus Snape dalam dunia nyata. Marah, Disa memang marah. Kesal pada keadaan. Bagaimanapun juga dia tetap marah. Namun, kalau Revan ada indikasi terlibat masalah, dia bingung. Apalagi kalo masalah dengan Pak Robi.
“Revano?” Pak Heri sampai pada nama Revan. Semua anak tahu kalau Revan tidak berangkat.
“Sedang ke toilet Pak.” kata Disa. Semuanya menoleh ke arah Disa. Disa sudah tidak peduli lagi apa yang teman-temannya pikirkan dia membuka buku, pura-pura sibuk membaca. Sedangkan Pak Heri lanjut mengabsen nama berikutnya.
“Dis…” Rora ingin sekali protes. Tapi Disa hanya angkat bahu. Dia tidak punya pilihan lain kecuali mengerjakan tugas rangkap dua sekaligus.
Pak Heri keluar kelas. Dan otomatis semuanya mengerjakan. Tapi kebanyakan teman-teman cewek protes mengetahui tindakan Disa.
“Dis, nggak usahlah terlalu baek sama cowok kurang ajar kayak gitu. Kalau dipikir-pikir, cowok itu bolos pasti sama ceweknya kan? Kalo iya mungkin aja lagi berduaan. Lagi mesra-mesraan. Lagi peluk-pelukkan. Atau kalo nggak pasti lagi cium-ciuman. Atau malah lagi check in di hotel.” Sella memanas-manasi.
“Masa sih?” Disa berpikir lagi. Kaget, tidak memikirkan sejauh itu. Ngeri, mendengar kemungkinan yang temannya katakan, bulu kuduknya berdiri. Pelukan? Mukanya langsung mengkerut. Reina di peluk Revan? Disa menggeleng tidak percaya. Dia aja yang tiga tahun bareng baru sekali dipeluk. Itu juga kemaren. Tapi…
Ciuman? Disa langsung membuka mulut lebar-lebar. Ciuman?!!!! Pikirnya lagi. Bibir sama bibir?! Tanpa sadar Disa menggigit bibirnya sampai perih. Memikirkan itu saja hatinya langsung nelangsa. Apalagi kalau hal itu benar-benar terjadi.
Disa mengeluh… Revan memang cowok b******k. Tapi… bagaimanapun dia masih mempunyai hati. Apa salahnya berbuat baik pada seseorang yang sudah menyakiti hatinya? Toh bagaimanapun juga dia masih menyayanginya.
---
“Kemarin bolos ngapain?” Fikar, temen sebangkunya langsung introgasi begitu Revan berangkat keesokan harinya. Revan tak menjawab. Dia hanya mengusap kelopak matanya yang lelah. Lalu duduk di kursi dan menaruh tasnya di laci. “Kemaren ada tugas dari Pak Robi lho.”
Revan tersentak. ”Hah?!” Dia menatap Fikar panik.”Tugas apaan? Terus gimana?”
“Tugas banyak banget. Lima halaman penuh. Soal-soalnya tingkat tinggi semua.”
“Mampus gue. Udah gue nggak pake surat ijin nggak masuk lagi. Aduh, nilai gue pasti ancur nih! Pasti!” Revan teringat persaingannya sama Dito. Habislah dia! Bagaimana dia bisa mengalahkan Dito kalo nilai tugasnya kosong!?
“Tenang aja. Disa udah handle!”
“Maksudnya?”
“Iya, waktu Pak Heri ngabsen, Disa bilang elo lagi ke toilet. Terus tugas bagian elo, dia yang ngerjain. Tuh! Dia ngerjain rangkap dua cuma buat elo! Satu tugas aja tangan gue serasa mau patah. Apalagi dua?”
Revan memandang Fikar lama. Mengerjap seakan dia tidak mengerti bahasa manusia. Lama, dia merenung. Lalu pelan, dia menoleh ke bangku Disa. Cewek itu sedang tersenyum. Tertawa bersama teman-temannya. Saat revan tersenyum melihatnya, yang dia rasa malah rasa sakit. Seperti sesak ruang di dadanya. Dia kangen!
Tapi dia tidak bisa apa-apa. Sekarang dia hanya bisa diam di tempat, menunggu sampai dia lepas dari Reina. Pelan, dia menghela napas, lalu menetralkan perasaan kembali.