Bab 2

1034 Kata
"Kamu ya yang bawa aku ke rumahmu tadi malam?" bisik Aira pada Gibran. Lelaki itu hanya mengangguk saja menanggapi. Entah bagaimana kekuatan Gibran. Baru menikah saja sudah membawanya pulang ke rumah mertua, bukannya menginap di rumahnya saja. Makanan di meja makan begitu penuh, ada sop ayam, sayur asam, mentimun, tempe, lele goreng, sambal tomat, salad buah kesukaan Mama Sari. Gibran menatapnya dengan lirikan mata. Ia yang paham kode tersebut pun mengambil makanan untuk suaminya itu. Sop ayam dan sambal tomat, dan mentimun. Tak tanggung-tanggung, ia memberikan nasi 3 centong ke piring Gibran. Gibran menelan ludah melihatnya. Ia inginnya makan sedikit saja karena nanti akan ke luar bersama Aira. Ah, salahnya yang tak memberitahukan pada wanita itu. Salahnya ia hanya memberi kode sedangkan Aira tentu tak paham apa maksudnya. "Aira romantis sekali," ucap Mama Sari dengan senyuman lebar. Aira tersenyum tipis. Ini sudah tugasnya, tidak cinta pun akan ia lakukan. Air menyendok nasi satu entong dengan sayur sop ayam serta sambal tomat. Begini saja mamph membuat cacing-cacing di perutnya demo. "Loh, kok Aira makannya sedikit?" tanya Mama Sari dengan bingung. Papa Tio—papa kandung Gibran juga ikut menatapnya. "Aira udah kenyang, Ma." "Kenyang apanya, baru juga mau sarapan pagi ini." "Tadi malam udah makan banyak, Ma," jawab Aira. "Tadi malam 'kan kamu tidur dulu." Gibran yang melihat suasana sudah tak enak pun langsung menengahi. Apalagi saat melihat raut wajah Aira yang bingung. "Ma, Aira makan berdua sama Gibran. Yuk, ke belakang, Sayang," ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Aira yang paham pun mengangguk. Mengikuti rencana Gibran. "Romantis banget kalian. Kenapa gak bilang tadi? Ya udah sana, penganting baru harus lengket, ya. Jangan bertengkar!" Mama Sari memberikan nasehat kepada keduanya yang hanya dijawab anggukan dan senyuman tipis. Gibran mengajak Aira ke halaman belakang. Berdua di sana. Untung saja banyak pepohonan sehingga terasa sejuk. "Makasih," ujar Aira dengan singkat. Ia berdo'a lalu mulai menikmati makanan. "Untuk apa?" "Sudah membantuku tadi." "Ah, saya tidak membantumu. Kamu juga harus membantu saya menghabiskan makanan ini." "A—pa?" Aira melongo mendengarnya. "Ya, banyak banget kamu ambilnya. Saya tak biasa makan pagi sebanyak ini. Cukup satu entong dan buah saja." "Kamu tidak bilang, sih. Mana aku tahu." "Kamu 'kan tahu sendiri kebiasaan saya selama ini." "Aku lupa." Aira menjawabnya dengan singkat. Walau sudah kenal lama, tetapi ia dan Gibran tak sedekat itu. Namun, perjodohan ini membuatnya harus menikah dengan lelaki itu. "Mulai sekarang kamu harus mengingatnya!" "Ya." Gibran kembali memaksa Aira untuk menghabiskan makanannya juga. Ia tak sanggup menghabiskannya sendiri. "Lagian kenapa tadi malam tidak menginap di rumahku? Ngapain bawa ke rumah orang tuamu," gerutu Aira. "Saya akan membawamu ke rumah kita nanti. Kalau dari rumahmu kejauhan." "Cepat banget, sih. Bisa 'kan besok atau gimana." "Saya tak mau menundanya." Aira menghela nafas. Ia mengangguk saja mengikuti keinginan Gibran. Baru pertama menikah sudah banyak perdebatan. Walau ia tak mengambil pusing akan masalah ini. Namun, entah bagaimana nantinya. Akankah ia dan Gibran selalu begini terus? Ia juga susah untuk mencintai seseorang. Takut jika akhirnya sudah jatuh sedalam-dalamnya lalu ditinggalkan atau parahnya dikhianati. Cukup sudah ia pernah merasakan sampai move on berbulan bahkan bertahun lamanya. Ia tak mau mengalaminya lagi. Benarlah sebuah kata untuk tidak terlalu mencintai seseorang karena jika sudah dikecewakan akan sakit sekali rasanya. Gibran menyodorkan piring miliknya saat melihat makanan di piring Aira sudah habis. "Udah gak muat," jawab Aira. "Enggak, kamu ikut habisin." "Ish." Aira mengerucutkan bibirnya sebal. Akan tetapi ia tetap memakan makanan yang ada di piring Gibran. Sepiring berdua. "Kamu pernah memikirkan jika makan berdua begini?" tanya Gibran setelah mengunyah makanannya. "Tidak boleh berbicara saat makan." Aira berkata tanpa menatap Gibran. Helaan nafas terdengar, Gibran memutuskan diam dan kembali makan. Setelah ini ia harus prepare dengan Aira. Tentu saja ia akan bulan madu. Tetapi, sebelum itu memutuskan untuk pindah rumah. Ya, ia memilih mandiri setelah menikah. Untung saja sudah memiliki rumah yang siap dihuni. ***** Aira kira akan tinggal di rumah yang mewah dan halaman yang luas. Nyatanya hanya rumah yang masih masa renovasi namun sudah bisa dihuni. Berlantai satu, namun banyak pepohonan di sekitar. Setelah sarapan pagi tadi, ia dan Gibran langsung saja prepare lalu ke sini. Ditatapnya Gibran yang juga menatapnya. "Kamu tak suka dengan rumahnya?" "Kamu ngetes aku?" Aira bertanya balik. Ia lalu masuk ke dalam rumah dan menatap penjuru rumah. "Saya lupa bahwa rumah saya yang sudah jadi saya sewakan," kata Gibran dengan perasaan bersalah. Ia baru ingat tadi malam. Namun, belum sempat untuk mengatakannya kepada Aira. "Kita menginap di sini, kamu tak masalah?" "Kamu pikir aku wanita apa?" Aira berdecih pelan tanpa menatap Gibran. Ia sedikit tersinggung akan perkataan Gibran. "Kamu pasti tak nyaman." Aira membalikkan tubuhnya. "Aku tak masalah soal itu, Gibran. Kamu pikir aku wanita matrek? Kamu pikir aku wanita yang tak mau diajak hidup susah?" Gibran tersenyum. "Tentu iya." Wajah Gibran langsung saja berubah. Senyuman itu hilang bergantikan dengan wajah murung. "Siapa sih yang mau diajak hidup susah? Tidak ada yang mau kali. Tetapi, aku tak masalah tinggal di sini. Kita bangun rumah ini supaya lebih indah lagi. Aku juga suka dengan suasananya yang sejuk." "Kamu beneran suka?" "Iya, kenapa, sih? Lagipula kenapa kamu mempermasalahkan aku?" "Aku menikahimu bukan untuk mengajakmu hidup susah. Kamu sudah tanggung jawab saya sekarang. Sudah tugas saya membahagiakanmu walau tanpa cinta," ujar Gibran membuat Aira gugup seketika. "Udah deh," kata Aira lalu berjalan menuju ruangan yang ia pikir itu adalah sebuah kamar. "Kamu boleh mendesain ulang rumah ini. Dari warna tembok," ujar Gibran yang mengikuti Aira dari belakang. Aira mengangguk saja. Tentu ia akan melakukannya dengan senang hati. Warna kesukaannya, putih, biru, dan merah. "Di depan halamannya tidak luas, di belakang lumayan luas. Bagaimana kalau aku beternak kambing dan sapi? Ya, itung-itung mencoba bisnis. Lagipula kalau uang dibiarkan begitu saja bukannya nambah malah berkurang. Kamu tahu betul 'kan?" Gibran menatap Aira, ia masih memikirkannya. "Bagaimana, kamu setuju?" "Iya, agak belakang saja supaya kotorannya tak sampai rumah." Aira mengangguk. "Rumah tetangga juga agak jauh jika dari halaman belakang." Gibran mengangguk setuju. Kemudian ia membantu Aira membereskan baju-baju untuk dimasukkan ke almari. Peralatan dan perlengkapan sudah lengkap. Hanya tembok masih berupa bata juga belum dipaflon. Ia memang belum sempat untuk meninjau rumah ini setelah tiga bulan yang lalu. Hanya menyuruh beberapa orang untuk membersihkannya pagi dan sore.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN