Bab 2: Game
***
Ketegangan menyelimuti suasana ruang rapat. Bulir keringat sampai meluncur di punggung para orang tua berjas rapi di kursi mereka. Evaldo telah membuat jajarannya merasakan panas dingin meski pendingin ruangan berfungsi sangat baik. Kesejukan AC tidak akan terasa bagi mereka selama rapat ini belum dibubarkan.
Target yang seharusnya para orang tua itu -jelas-jelas berpengalaman dibidangnya- bisa tercapai, tapi laporan pada bulan ini membuat Evaldo menarik urat. "Kuberi waktu tiga hari, apa kau bisa?" perintah Evaldo pada salah seorang pria tua yang menjabat sebagai manajer umum. Pria tua itu gugup. "Bagaimana jika diberi tambahan sedikit waktu lagi, pak?" Peluh sudah membasahi sisi wajah keriputnya. Evaldo ingin membeli sebuah gedung besar dipusat kota untuk peresmian proyek baru. Tetapi, bawahannya malah tidak bernegosiasi dengan benar.
"Kalau begitu tiga jam harus sudah rampung!" Tak menerima negosiasi, Evaldo bangkit dan mengakhiri rapat seraya berjalan ke luar ruangan dengan angkuh. Sementara para orang tua itu gelisah. Rambut yang sudah menipis mungkin akan jadi botak memikirkan tuntutan tugas mereka. Tidak dipungkiri bila dibenak mereka membandingkan dengan kepemimpinan direktur utama sebelumnya. Jika Dirut sebelumnya terbilang lembut dan ramah dalam memerintah, lain hal dengan Evaldo yang dikenal paket kejam: dingin, tegas, tanpa toleransi. Di belakang Evaldo, mereka mengeluhkan hal-hal tersebut sambil keluar dari ruang rapat. "Selama tuan Kelly tidak ada di kantor, kita semua dibantai oleh anaknya." Dan komentar lainnya tidak pernah sampai pada orangnya langsung.
***
Masuk ke ruang kerjanya, Evaldo langsung duduk dibalik meja. Seorang pria menyusul masuk ke ruangannya dan berdiri di depan meja kerja tersebut. "Apa kau tidak terlalu keras pada mereka?" kata pria berdasi biru tua itu. William namanya. Tampak seumuran dengan Evaldo. Sekretaris pribadi pria yang duduk di kursi bos. "Oh, William, aku tak bisa memanjakan mereka seperti ayahku. Mereka terlalu santai bekerja di saat perusahaan kita akan melaunching produk baru." Evaldo menyahutnya dengan nada akrab.
"Setelah semua berjalan lancar dan produk kecantikan ini akan laris dipasaran, kusarankan untuk merayakannya di suatu tempat," usul William. Berharap ada liburan gratis dari Evaldo. Setidaknya dalam lima tahun sekali. Liburan juga berguna untuk merilekskan pikiran dan mempererat hubungan dengan karyawan lain.
"Kita akan diskusikan lokasinya nanti, kalau produk ini dapat terjual ke seluruh benua. Oh iya, bagaimana dengan perekrutan calon model ambasador?" tanya Evaldo. Kemudian dia menatap layar komputer lagi. Membaca data-data laporan dari berbagai bidang di dalam layar. Perlu ketelitian ekstra supaya tidak satu angka pun terlewat. Seluruh kendali perusahaan ini ada ditangannya selama direktur utama -ayahnya- dalam perjalanan bisnis di luar negeri.
"Pengumumannya sudah dipublikasikan hari ini. Aku yakin HRD dan bawahannya akan sangat sibuk seharian." William mengulas senyum puas.
***
Goldie Grup bukan sembarang nama perusahaan. Sebuah kerajaan bisnis yang bergerak dibidang kesehatan dan kecantikan ini telah melalangbuana di dunia internasional. Bersaing dengan produk kecantikan sekelas Maybelline bukan perkara mudah untuk berada diperingkat teratas dalam penjualan terbaik dari sepuluh merk kecantikan terbaik dunia.
Papan billboard di gedung-gedung New York telah digantikan dengan iklan baru. Berupa tulisan sebuah pengumuman calon model wanita untuk Goldie Grup. Layar besar itu terpampang jelas dan dapat dilihat oleh semua orang di jalanan. Goldie Grup begitu baik memberi kesempatan kepada semua wanita untuk mengukir karir mereka dari perusahaannya.
Hanya dalam hitungan detik, informasi di era digital menyebar sangat cepat. Kaum wanita jadi antusias sekalipun bukan dari kalangan model. Sebagian menantikan peluncuran produk baru dari Goldie Grup, sebagian wanita berniat melamar pekerjaan ini, hingga antusiasme para manajer model baru yang membutuhkan job. Email kantor pusat Goldie Grup pun dipenuhi pesan masuk para pelamar. Seperti yang dikatakan William, pegawai ruangan administrasi terlihat ramai dan aktif hilir mudik.
Ini adalah tiket emas menuju panggung dunia di mana impian akan bersinar sebagai calon model iklan internasional. Menjadi ambasador di Goldie Grup akan dipandang sederajat di kelas sosial. Begitulah kenyataan dunia. Mereka berlomba-lomba menuju podium bercahaya dalam impian mereka.
Peluang tersebut sampai ke telinga seorang model wanita seksi di pantai California usai diberitahu oleh manajernya. Dia berbaring di kursi pantai dengan hanya berbikini. Kacamata hitam di hidung mancungnya menghalau silau matahari walau payung pantai menaungi. Musim panas menjadi musim favorit hampir semua orang Amerika. "Aku yakin sekali banyak calon yang mendaftarkan diri di perusahaan itu," komentarnya. "Tapi, aku sudah tahu siapa yang akan lolos nanti." Diakhiri senyum miring di bibir penuhnya. Begitu pula dengusan senyum wanita paruh baya di dekatnya.
Garis halus disudut mata telah membuktikan perjalanan hidup yang tidak sebentar. Memakai dress hitam, dia duduk anggun. Topi lebar di mahkota putih bergaya bob lurusnya menambah style ala ibu-ibu sosialita. "Tidak mungkin puteriku tersingkir oleh para amatir," sahut wanita ini bangga. "Apa pun yang terjadi, kau harus menjadi brand ambassador Goldie Grup." Dia menegaskan dengan serius, perkataannya mutlak: Oliver Deacon.
"Kapan aku bermain-main, mama?" ucap wanita muda itu sembari menyeringai pada mama sekaligus manajernya. "Ini langkah pertama kita. Jadi tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan."
Mamanya memeriksa jam tangan, merk ternama dari Paris. "Sebentar lagi pemotretan terakhir hari ini dimulai," ucapnya. "Ayo, ganti pakaian, Margaret." Sementara di sekitar mereka para kru tampak sedang mempersiapkan sesi berikutnya.
"Sudah secepat ini?" keluh Margaret, lalu beranjak malas. Dia adalah seorang model California yang sedang naik daun. Tubuhnya yang langsing serta proposional sering mengisi majalah bikini.
***
"OH TIDAK!" Emily menjerit tertahan ketika game adventure-nya sedang bertarung melawan monster dan hampir kalah. "Dengan ini aku tahu bahwa aku bukan seorang gamers pro. Baiklah, saatnya ganti game." Emily hendak logout ketika sebuah pesan muncul di layar game.
'Kau bermain cukup pandai sampai ke level ini. Bagaimana kalau kita menjadi sekutu? Aku akan membantumu mengalahkan monster itu.' Nama L tertera sebagai pengirim.
Emily mengeryitkan dahi. L? Entah mengapa dia jadi teringat L seorang detektif muda yang super cerdas dalam tokoh Death Note. Lantas Emily membalas pesan itu. 'Karena namamu seperti tokoh anime favoritku, aku menerima tawaranmu.' Kedengaran angkuh kalimatnya. Seakan gengsi membutuhkan bantuan dari pemain lain. Tapi sebenarnya tidak ingin permainan ini berakhir begitu saja.
'Kau rupanya seorang tsundere, ya.' Satu balasan lagi dari L bagai menebak sifat Emily berdasarkan kalimat tadi.
Emily tercenung. Dia berpikir tidak menyangka orang itu mengerti tentang nama karakter seseorang dalam bahasa Jepang. Contohnya saja tsundere. Yang berarti orang dengan sifat malu-malu kucing. Lantas Emily mengetikkan sesuatu. 'Apa kau seorang otaku?'
'Bisa dibilang begitu, tapi tidak juga.'
Obrolan online mereka berakhir dengan si L menghampiri karakter game Emily. Kemudian bertarung melawan monster besar di hadapan mereka. Sedangkan Emily hanya diam ditempat menunggu level pemulihannya naik menjadi warna hijau.
***