Ariel hanya mampu menggertakkan giginya mendengar bisikan Hazel yang terlihat seperti hantu baginya. Ia datang lebih cepat bukan seperti apa yang Hazel katakkan. Ia hanya ingin segera menyelesaikan permasalahannya dengan pria itu.
Yah. Ariel memang berencana untuk menolak permintaan Hazel untuk menjadi sekretarisnya. Ia tidak ingin bertemu lagi dengan orang seperti Hazel. Orang yang akan melibatkan seorang anak kecil untuk mengancamnya.
"Cih! Sudah kubilang kalau aku tidak akan pernah tertarik denganmu. Meskipun tubuhmu memiliki delapan roti sobek sekali pun. Bahkan hanya dengan melihat wajahmu rasanya aku ingin sekali mengeluarkan semua isi perutku," balas Ariel ikut berbisik.
Kali ini ia tersenyum karena membuat Hazel marah. Ia bisa merasakan nafas pria itu yang kian memburu.
"Baiklah, kita lihat saja nanti. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Aku hanya akan mengingatkanmu satu kali saja. Aku yakin kau akan tergila-gila padaku, hingga kau memohon agar aku mau menerimamu."
Hazel merasa tertantang setelah mendengar ucapan Ariel. Selain ingin menyiksanya, Hazel juga berencana untuk membuat Ariel jatuh hati padanya. Setelah itu, ia akan membuat hati wanita itu hancur berkeping-keping.
"Tidak perlu membahas masalah yang tidak penting. Tujuanku datang ke sini hanya untuk menyelesaikan masalah kemarin." Akhirnya Ariel bisa mengatakan tujuan kedatangannya.
Pria itu menjauhkan tubuhnya dari Ariel. Ia merapikan pakaiannya dan berkata, "Ikut denganku!" Kemudian ia berjalan diikuti oleh Ariel di belakangnya.
Semua karyawan yang melihat Hazel datang menghampiri Ariel merasa heran. Mereka penasaran dengan sosok Ariel yang mampu membuat Hazel datang menghampirinya. Karena pria itu tidak pernah mau menghampiri orang lain.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa berdiri saja di situ?" tanya Hazel melihat Ariel berdiri di depan lift bukannya masuk ke dalam.
"Ak-aku menunggu lift selanjutnya saja," jawab Ariel tergagap. Ia tidak ingin satu lift dengan Hazel karena takut pria itu akan berbuat yang tidak-tidak.
"Masuk atau aku akan--"
"Iya, iya ini aku masuk," potong Ariel sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Sudah terbaca raut wajah Hazel, bahwa pria itu akan mengancamnya.
Enam puluh detik berada dalam lift, Hazel dan Ariel hanya terdiam. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar keduanya. Sampai suara lift berdenting dan pintu lift pun terbuka.
Hazel melangkah lebih dulu diikuti Ariel di belakangnya. Sampai di depan pintu, Hazel langsung masuk ke dalam dan menempati kursi kebesarannya.
"Duduklah!"
"Tidak perlu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal. Bahwa aku menolak keinginanmu untuk menjadikanku sekretarismu." Tanpa basa-basi Ariel langsung mengutarakan tujuannya.
"Apa kau serius? Kau tidak takut apa yang akan aku lakukan pada putrimu?" Hazel bertanya seolah ingin menggoyahkan hati Ariel dengan cara mengancam.
"Jangan ganggu putriku. Kau bisa melakukan apapun yang kau mau padaku. Tapi, aku mohon jangan lakukan apapun pada putriku."
Meskipun tidak ada kata memohon yang terucap dari bibir tipis Ariel. Namun, terlihat sekali raut memohon di wajahnya.
Hazel bangkit berdiri dan keluar dari meja kerjanya. Ia berjalan mendekat ke arah Ariel dan memutari wanita itu.
"Apa kau serius?" tanya Hazel tersenyum penuh arti.
"I-iya, aku serius. Kau bisa menamparku seperti apa yang aku lakukan sebelumnya padamu," jawab Ariel serius. Jika dengan ditampar urusannya dengan pria itu akan selesai. Maka dengan senang hati ia akan menerimanya.
"Tidak semudah itu. Kau sudah menghancurkan harga diriku sebagai seorang pria. Jadi, aku tidak bisa menerima saranmu."
Melihat Ariel yang pasrah membuat Hazel merasa tidak tertarik lagi. Ia harus memberi pilihan lain agar wanita itu tidak bisa berkutik. Sehingga keinginannya untuk menjadikan Ariel sebagai sekretarisnya akan segera terwujud.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Ariel menatap Hazel sendu.
Hazel mendekatkan wajahnya dan lagi-lagi ia berbisik. "Tidurlah denganku!"
Ariel tersentak mendengar ucapan Hazel. Hampir saja tangannya terangkat dan memukul pipi pria itu lagi. Namun, secepat kilat ia menahannya. Ia tidak ingin menambah masalah yang akan membuat pria itu semakin murka.
Mengatur nafas dengan cara menarik nafas dalam-dalam, kemudian hembuskan. Itulah yang Ariel lakukan saat ini. Ia melakukannya hingga beberapa kali sampai bisa mengatur emosinya.
"Oke. Kau bisa menjadikan aku sebagai sekretarismu. Asalkan kau tidak akan pernah mengganggu kehidupan pribadiku dan putriku."
Mau tidak mau akhirnya Ariel pun menyerah. Ia tahu, sekeras apapun usahanya untuk menolak. Hazel tidak akan pernah membiarkannya lolos begitu saja.
"Bagus! Pilihan tepat." Hazel menjentikkan jarinya dan menuju meja kerjanya. Ia ingin sekali berteriak atas kemenangannya. Namun, karena ada Ariel di dekatnya. Jadi, ia mengurungkan niatnya.
"Sekarang duduklah dan baca baik-baik kontrak kerja ini," ujar Hazel menyodorkan berkas perjanjian kontrak kerja.
Dengan lesu, Ariel menerima berkas itu dan duduk berhadapan dengan Hazel. Ia mulai membuka berkas itu dan membacanya. Halaman pertama dan kedua masih terlihat normal. Namun, ketika lembaran ketiga dan keempat Ariel mulai mengerutkan keningnya.
"Sebenarnya ini kontrak kerja untuk sekretaris atau untuk asisten pribadi?" tanya Ariel sedikit bingung. Terlihat jelas kerutan-kerutan di dahinya.
"Tentu saja untuk sekretaris. Aku hanya menambahkan sedikit poin saja," jawab Hazel malas. Ia sudah tahu Ariel akan menanyakan hal itu. Dan ketika melihat raut bingung di wajah wanita itu membuat perut Hazel merasa menggelitik ingin tertawa.
"Sedikit bagaimana? Jelas-jelas banyak poin yang kau tambahkan," protes Ariel sambil mengetuk-ngetuk lembar berkas itu dengan jari telunjuknya.
"Kau tenang saja. Semua sekretarisku sebelumnya melakukan tugas yang sama sepertimu dan gajinya pun tidak sedikit. Karena aku akan menambahkannya tiga kali lipat. Apa kau masih mau menolaknya?"
Hazel berbohong dengan apa yang baru saja ia katakan. Sebelumnya tidak ada satu pun sekretaris yang ia izinkan untuk menyentuh barang-barangnya. Apalagi untuk menginjakkan kaki di rumahnya. Ia hanya ingin membuat Ariel percaya dan menerima tawarannya.
Ariel menelan salivanya mendengar tawaran Hazel yang begitu menggiurkan. Gaji sebagai sekretaris di DN Company saja sudah sangat besar. Apalagi jika dikalikan dengan tiga kali lipat. Pasti akan cukup dan bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Cita-cita untuk memindahkan sekolah putrinya ke tempat yang lebih bagus pun akan segera terwujud.
"Bagaimana? Masih mau lanjut untuk tandatangan atau mau mundur?" ujar Hazel membuat Ariel tersadar dari lamunannya.
"Baiklah, aku akan menandatanganinya sekarang. Tapi aku tidak bisa mulai bekerja hari ini."
Tangannya bergerak memencet tombol bolpoin. Kemudian, mulai membuat sebuah coretan di setiap lembar kontrak kerja.
"Memangnya kenapa?" tanya Hazel mengernyitkan dahinya.
"Aku akan menghabiskan waktuku hari ini dengan putriku. Karena aku yakin setelah menandatangani kontrak ini. Aku tidak akan memiliki banyak waktu untuknya."