Setelah pulang dari kontrakan kumuh Ariel. Hazel tidak berhenti tersenyum dan bersenandung. Pria dingin itu nyaris kehilangan ekspresi dinginnya. Entah apa yang membuatnya berubah. Apa mungkin karena Ariel lagi? Atau karena menemukan sebuah mainan baru? Berhati-hatilah wahai Hazel Dewananda! Jangan sampai kau termakan senjatamu sendiri.
"Ke ruanganku, segera!"
Hazel menghubungi Indra agar bergegas ke ruangannya. Ia ingin meminta dibuatkan surat perjanjian kerja untuk Ariel. Dan itu memang sudah menjadi tugas Indra mengingat posisinya di perusahaan sebagai manajer personalia. Pria itu ingin membuat sendiri poin-poinnya yang tentu saja tidak akan ditemui di perjanjian kontrak kerja lainnya.
"Masuk?" ujar Hazel, setelah mendengar suara ketukan pintu.
Sepersekian detik kemudian, muncullah sosok Indra dengan wajah tampannya yang menginjak usia kepala empat.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Indra.
"Duduklah!" seru Hazel karena Indra masih berdiri di depan pintu.
"Terima kasih," ujar Indra yang kemudian berjalan ke depan dan duduk di seberang atasannya.
"Jadi, apa yang Anda perlukan, Pak?" tanya Indra lagi. Ia penasaran apa yang akan atasannya lakukan setelah mengetahui informasi pribadi Ariel.
"Buatkan surat perjanjian kontrak kerja untuk wanita itu," ujar Hazel datar.
Di saat seperti ini atau dalam urusan pekerjaan, terutama di kantor. Hazel selalu bersikap layaknya seorang atasan yang selalu tegas dan berwibawa. Tidak pernah sekali pun ia bersikap lembek. Karena di situlah kewibawaannya sebagai seorang direktur utama. Sikap dingin dan seriusnya selalu menonjol ketika sedang bekerja.
"Apa wanita yang Anda maksud itu Nona Ariel?" tanya Indra dengan dahi yang berkerut.
"Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan dia, Indra. Dia satu-satunya calon yang lolos saya wawancarai," jawab Hazel seolah tidak ada niat jahat di balik diterimanya Ariel sebagai sekretarisnya.
"Benarkah? Aku pikir setelah memaksa masuk ke dalam, Nona Ariel tidak akan baik-baik saja," batin Indra sedikit tidak percaya.
Setelah kejadian kemarin, apalagi setelah atasannya meminta informasi pribadi Ariel. Indra tidak bisa bernafas dengan normal. Ia merasa sangat bersalah karena membiarkan Ariel masuk ke dalam ruangan Hazel. Ia merasa usaha pencegahannya kurang, sehingga Ariel bisa masuk ke dalam.
Namun, kekhawatirannya seharian itu salah. Justru karena ia membiarkan Ariel menerobos masuk ke dalam, membuat Ariel diterima sebagai sekretaris Hazel.
"Siapkan alat tulis, karena saya ingin kamu mencatat poin-poin yang akan kamu tulis di surat perjanjian kontrak kerja wanita itu."
"Baik, Pak." Indra hendak berdiri berencana untuk mengambil alat nulis. Namun dengan cepat Hazel memberikan yang Indra butuhkan.
"Pakai ini saja," ucap Hazel membuat Indra urung dan kembali duduk.
"Jadi poin-poin apa saja yang harus saya tulis?" tanya Indra sambil memencet tombol bolpoin.
Hazel menyebutkan satu per satu poin-poin itu. Di mulai dari berapa lama kontrak kerja itu berlangsung. Kemudian memberikan tugas asisten pribadi pada sekretaris. Seperti, menyiapkan sarapan di pagi hari, menyiapkan keperluan pribadi, dan yang paling parah, pria itu meminta agar setiap pagi, Ariel harus datang ke rumahnya sebelum pergi ke kantor. Tentunya untuk melaksanakan poin-poin yang pria sebutkan tadi.
Setelah menyebutkan poin-poin di atas, akhirnya Hazel menyerahkan sisanya pada Indra. Karena poin-poin perjanjian kontrak kerja sesungguhnya Indra yang menyiapkan.
"Sudah, Pak? Apa ada tambahan lagi?" tanya Indra.
"Sudah cukup. Sekarang kamu boleh keluar dan lanjutkan menyiapkannya. Karena besok pagi, wanita itu akan datang untuk menandatangani kontrak itu."
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi." Indra berdiri dan membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. Kemudian, ia berbalik dan keluar.
"Sebenarnya ada apa dengan Pak Hazel? Kenapa menambahkan poin-poin yang seharusnya menjadi tugas asisten pribadi?"
Indra bertanya-tanya mengenai sikap atasannya yang tidak wajar. Karena tidak menemukan jawaban, akhirnya ia kembali fokus dan kembali melakukan pekerjaannya.
Sementara di ruangannya, Hazel tidak bisa fokus dalam bekerja. Ia hanya membolak-balikkan berkas, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia sudah tidak sabar menunggu pagi tiba. Padahal saat ini waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Andai waktu cepat berlalu, harap Hanzel dalam hati.
***
Keesokan harinya, Hazel bangun lebih pagi. Sebenarnya bukan karena bangun pagi, tetapi karena memang semalaman suntuk ia tidak bisa memejamkan matanya. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu Ariel.
Menyaksikan ekspresi dingin yang akan wanita itu tunjukkan padanya. Apalagi setelah melihat isi kontrak kerja. Hal itu yang paling Hazel tunggu-tunggu. Ia tidak sabar ingin menyiksa Ariel di hari pertamanya bekerja.
Hazel keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melekat di bagian bawah tubuhnya. Otot bisepnya menghiasi tubuh indahnya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, benar-benar idaman semua wanita. Tidak ada yang kurang darinya kecuali cinta. Penghianatan satu tahun lalu membuat hatinya keras bagaikan balok es.
"Kenapa waktu berjalan begitu lambat?"
Pria itu mengeluh sambil berjalan ke arah ruang ganti. Ia memilih setelan yang akan ia kenakan hari ini. Ia memilih kemeja dengan warna periwinkle dengan dasi berwarna biru dengan garis-garis miring warna hitam. Celana dan jas dengan warna charcoal. Tidak lupa pula dengan menata rambutnya dengan gaya curtain haircut. Gaya rambut ini biasa dipakai oleh aktor-aktor Korea yang ada di drama-drama romantis.
Setelah selesai, Hazel turun ke parkiran bawah tanah yang ada di apartemennya. Saat ini, ia tidak lagi menggunakan jasa supir pribadi. Karena ia sudah berencana menjadikan Ariel supir pribadi selain tugas-tugas lain yang telah ia sematkan di dalam kontrak kerja.
"Aku benar-benar sudah tidak sabar," ucap Hazel terkekeh geli. Benar saja. Saat ini ia sedang membayangkan wajah kesal Ariel.
"Apapun itu, aku yakin dia akan menerimanya."
Hazel memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi. Tentu saja karena ia memegang kelemahan Ariel. Jika tidak, maka ia tidak akan seyakin itu.
Sampai di depan lobby perusahaan, ia turun dan menyerahkan kunci mobilnya pada petugas keamanan. Ia biasanya menyuruh petugas keamanan untuk memarkirkan kendaraannya. Kemudian, terlihat para karyawan yang langsung membungkukkan badannya sembilan puluh derajat memberi hormat pada atasan mereka.
Sementara Hazel, ia hanya berjalan melewati mereka datar. Tanpa senyuman sedikitpun, bahkan hanya raut dingin yang pria itu tunjukkan.
Ketika di baris terakhir para karyawan, Hazel merasa melihat seseorang yang sejak kemarin mengusik pikirannya. Ia menoleh ke belakang dan menatap ke arah pintu lobby. Dan, ia melihat sosok Ariel Aruna sedang meremas tali sling bag yang ada di sebelah kiri tubuhnya.
Pria itu berbalik dan berjalan menghampiri Ariel. Sudut bibirnya terangkat sempurna melihat wanita itu datang sebelum waktu yang telah ditentukan.
"Apa kau sudah tidak sabar ingin bertemu denganku Nona Ariel?" bisik Hazel di telinga Ariel membuat sang empu bergidik ngeri.