Bab 15 : Gairah Dito

2087 Kata
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Begitu sampai di kafe tempatnya bekerja, Nabila langsung menuju dapur dan akan menggunakan seragam kerjanya, namun langsung dicegah oleh Rio, rekan kerjanya. "Mau ngapain lu?" "Mau kerjalah, ya kali mau mandor." Rio terkekeh pelan, lalu menarik paksa seragam yang berada di tangan gadis itu. "Gak ada, gue tau yah lu lagi ada masalah, mata lu sembab gitu. Kenapa?" Nabila menggeleng pelan, ia segera menarik seragam yang berada di tangan Rio. "Bil, mending duduk aja Sono, masih lama kan jam mata kuliah lu, kok udah di sini aja?" "Kena usir gue, dah lah, buatin lemon tea yah." Nabila berlalu dari hadapan Rio, memilih duduk di kursi yang menghadap langsung dengan jalanan di samping kafe. Pikirannya melayang dengan kejadian di kelas tadi. Semua ucapan Dito serasa masih menusuk hatinya. Dan juga bayangan kemarahan sang Abi yang mendapati dirinya harus memperlama proses kuliah karena mata kuliah wajib statistik tidak lulus, seolah menjadi mimpi buruknya setiap hari, terlebih lagi dengan uang kuliah yang akan terus bertambah. Ah! Nabila hanya bisa pasrah dengan kehidupannya. Tak lama Rio datang membawa segelas lemon tea pesanannya. "Nah, segerin dulu tuh otak, gue mau ngantar pesanan di meja sebelah." Nabila mengangguk, lalu menyeruput pelan minumannya, mata Nabila menyesar pada jalanan yang terlihat lenggang, padahal sudah masuk waktunya makan siang. Beberapa orang juga sudah memadati kafe tempatnya bekerja ini. Wajar, kafenya berada di antara gedung perkantoran dan juga kampus, yang merupakan lokasi strategis. Kehidupannya tidak seperti yang lain, keluarga yang tidak memiliki kehangatan sama sekali, ia bahkan tidak mengerti makna rumah yang sebenar-benarnya rumah. Yang ia tau, rumah hanya tempatnya berlindung dari cuaca, dari bencana, atau tempat bernaung untuk tidur. Sedangkan di luaran sana, menganggap rumahku adalah surgaku. Tak lama bangku di hadapannya bergeser, dan duduk seseorang yang menjadi rekan kerjanya dalam tiga tahun belakangan ini, ia dan Rio adalah teman SMA, yang memutuskan untuk bekerja di kafe seberang ini universitas. Rio merupakan anak sulung dari 4 bersaudara, memiliki tiga adik membuat Rio yang sudah tidak memiliki ayah menjadi tulang punggung keluarga. "Lu Napa dah? Jaenab." "Jaenab kepala lu botak." Rio terkekeh geli melihat kekesalan Nabila yang sangat tidak suka jika dipanggil dengan sebutan Jaenab. "Terus, Napa dah?" "Stres gue, ada kemungkinan gak bakal lulus tepat waktu." Rio terlihat terkejut, ia tau Nabila merupakan salah satu mahasiswa berprestasi, bahkan temannya pernah lulus PKM, atau pekan kreativitas mahasiswa di Bali tahun kemarin. Terus bagaimana bisa tidak lulus tepat waktu? "Lah kenapa? Apa masalahnya?" Karena setau Rio, jika sudah mumpuni dalam bidang akademi, tapi tetap saja tidak lulus tepat waktu, berarti memiliki masalah dengan dosen ataupun jajaran kampus. Tapi tipe Nabila, tidak mungkin memiliki masalah dengan orang lain. "Nape sih bocah?" "Nyawa gue habis di tangan dosen Izrail," jawab Nabila dengan kepala menunduk lesu, bayangan wajah marah Dito tadi membuat tubuh Nabila merinding. "Dosen Izrail? Lu kuliah di akhirat atau gimana sih, Nabil? Perasaan nama dosen lu horor banget." "Memang horor, melebihi kuyang intinya. Apalagi si Izrail tukang cabut nyawa. Gua udah koid di mata kuliahnya, Yo." "Kok bisa? Eh, maksud gue itu kok koid?" Nabila menceritakan semuanya dari awal, dari dirinya yang terlambat masuk, terlambat mengerjakan tugas, dan sekarang karena jatuh dari kursi. "Hahaha... Lagian bisa-bisanya sih, Bil. Jenis mahasiswa serajin elu telat, malah telat ngumpul tugas lagi, kayak bukan elu deh." "Yah, lu bayangin. Gue disuruh ngerangkum semua materi mata kuliah statistika selama satu semester, tugas itu kudu dikumpul dalam tenggat waktu yang singkat. Kan bangke." Respon Rio di luar dugaan Nabila, ia pikir temannya akan tertawa ngakak seperti tadi, akan tetapi Rio malah terdiam dengan wajah yang super terkejut. "Lu ngapa dah? Diem-diem Bae." "Gue takjub sama dosen elu, Nabil. Keren banget dalam ngasih tugas. Malah pakai nyawa pula, duh horor," ujar Rio yang membuat Nabila terkekeh geli. Masih membayangkan saja Rio sudah takjub, apalagi dia yang menjalaninya. Bisa stres mungkin. "Jadi gimana keputusan elu?" Nabila terdiam sejenak, jujur saja ia tidak memiliki planning mengenai ini semua, bukan karena apa, hanya saja semua kejadian ini benar-benar mendadak dan membuat ia kebingungan harus bagaimana lagi ke depannya. Nabila mengangkat bahunya sambil menggeleng tidak tau. "Gua gak punya planning apa-apa, Yo. Rasanya gue pengen nyerah aja, semua terlalu mendadak, belum lagi masalah Abi yang terus jadi beban pikiran buat gue." Rio mengetahui perihal Abi Nabila, berteman sejak SMA tidak menutup kemungkinan Rio untuk tau itu, hanya saja dirinya memilih tidak mencampuri terlalu dalam karena itu akan mengganggu privasi Nabila. "Udah coba minta dispenser sama dosen lu?" "Buat apa gue minta dispenser?" "Yah kan biar elu dapet keringanan, Jaenab." Rio menjawab dengan penuh percaya diri, membuat Nabila tertawa ngakak. Astaga, gini kalau punya temen otaknya kurang satu tabung. "Dispensasi, Markonah! Ya kali dispenser, gile memang lu." "Lah, gak dispenser? Maklum lah, mana gue tau." Nabila kembali tertawa ngakak, bahkan beberapa pengunjung melihat ke arahnya. Nabila segera menghentikan tawanya dan berpura-pura tidak mengetahui apa-apa. "Gue bakal nemuin tuh Izrail, minta penambahan nyawa, kalau bisa sih nyawa gue utuh lagi, tapi kalau gak bisa, yah minimal setengah deh." "Kalau tetep gak bisa?" Tantang Rio yang mencoba membuat Nabila mengeluarkan pikiran absurd nya. "Kalau tetep gak bisa mah gampang. Pesen bunga tujuh rupa, 7 sumber mata air, kemenyan. Terus ajian jaran goyang sama Semar mesem. Gue yakin nyawa gue langsung utuh." "Lu mau minta nyawa, atau mau pelet dia biar jadi laki elu?" Nabila terdiam sejenak. "Yah kalau bisa jadi laki, kenapa enggak? Toh lumayan, gua skripsian ada yang bantu, hahahah..." "Walaupun kamu istri saya, saya gak akan ngebantu, Nabila Ananda." Glek! Tubuh Nabila menegang sempurna, terlebih lagi ketika ia melihat ke sampingnya, sudah duduk dosen Izrail yang memberikan tatapan tajam serta senyuman miring penuh peringatan. Rio mendadak merasa aura di sekitar mereka sangat mencekam, sepertinya yang dimaksud oleh Nabila tentang Izrail adalah laki-laki yang ada di sampingnya saat ini. Pantas saja disebut Izrail, pembawaannya sudah seperti ingin mencabut nyawa saja. "Meskipun kamu jadi istri saya, saya gak bakal biarin kamu curang," ujar Dito lagi, sedari tadi ia mendengar dengan jelas apa yang diobrolin mahasiswi nya ini kepada rekan nya. Hanya saja ia menahan dan ingin mendengarkan sampai mana gadis itu berghibah ria tentang dirinya. "Tapi kalau nyawa, bisa diatur." Mata Rio membola terkejut, nyawa? Astaga, ternyata cerita Nabila bukanlah karangan fiksi doang, dosennya ini memang sang pencabut nyawa. "Bil, ada pengunjung, gue ke sana dulu yah." Pamit Rio sembari mendekatkan diri ke arah Nabila. "Hati-hati, Bil. Entar bukannya dikasih nyawa tambahan, yang ada minus nyawa lu." Rio langsung ngacir begitu mendengar suara deheman dari laki-laki di sampingnya. "Saya dengar apa yang dikatakan temanmu itu." Sontak Nabila langsung memicingkan matanya curiga, sambil meneliti Dito dari atas sampai bawa. "Saya curiga kalau bapak beneran titisan Izrail." Dito langsung tertawa ngakak, terlebih Nabila yang langsung meringsut menjauh dan memasang wajah horor. "Kalau saya titisan Izrail, terus kamu titisan apa?" "Saya? Titisan bidadari lah," jawab Nabila singing, bahkan ia melupakan kekesalan nya dengan Dito saat di kelas tadi. "Yakin? Bukan titisan ratu pantai selatan?" Nabila melongo, serius? Dirinya disamakan dengan Nyi Roro kidul? Yang benar saja. "Terserah bapak, saya sebagai gadis yang lemah lembut hanya bisa diam saja." Dito menggelengkan kepalanya heran, Nabila seperti gadis yang mempunyai kepribadian yang berlipat-lipat ganda. Bukan ganda lagi. Tapi sudah berlipat. Dalam sekejap bisa marah, menangis, malu, angkuh, dan kepribadian lainnya. "Gimana? Kamu gak jadi melet saya?" "Melet? Maksudnya gimana yah, Pak?" Dito duduk dengan tegak, lalu menatap wajah Nabila serius. "Tadi kamu mau pelet saya pakai bunga tujuh rupa, tujuh sumber mata air, Semar mesem, jaran goyang, kemenyan, apa lagi tadi? Gak jadi?" Nabila diam, ia gak tau harus ngomong apa lagi, ternyata dosennya ini punya telinga gajah. "Sayang banget kalau gak jadi, padahal saya mau loh dipelet kamu. Gak nolak! Langsung saya terima." Anjim! Ini dosen cari gara-gara dengannya ternyata. Ada gitu orang yang mau dipelet malah pasrah? Dan menerima? Bukannya kalau pelet itu khusus orang yang menolak yah? "Yakin harus saya pelet dulu baru mau, Pak? Gak mau yang ori aja? Tanpa pelet dan perpeletan?" "Saya sih mau aja. Tapi emang kamu mau sama duda?" Hah? Ini obrolan apa sebenarnya? Kenapa jadi ke mana mana? "Gak papa, kalau dudanya tajir dan keren," celetuk Nabila asal, dirinya bahkan langsung menutup mulutnya dengan wajah yang memerah malu, Dito sendiri sudah tertawa keras tanpa memperdulikan pengunjung lainnya. "Ehem. Ma-maksud saya bukan gitu, Pak. Ya kali saya mau." Nabila berusaha mengembalikan imagenya di depan sang dosen. "Kalau gitu juga gak papa, saya malah suka. Jadi gak perlu repot cari ibu untuk Akbar." Yah, ternyata hanya sekedar untuk jadi ibu pengganti bagi anaknya, dan kenapa Nabila merasa lesu seketika? Ada yang tidak beres dengan dirinya sekarang. Oke, mari keluar dari obrolan absurd ini. "Pak, nyawa saya beneran habis?" Tanya Nabila takut-takut. Dito yang sedang membaca buku menu, mengangkat kepalanya, dan melihat ke arah Nabila yang menggigit bibirnya pelan karena gugup, tiba-tiba ada sesuatu yang muncul dalam diri Dito melihat bibir mungil Nabila. Sebuah gairah ingin mencicipi bibir yang sialnya sangat menggoda. Dito segera menghentikan pikirannya sebelum semakin merajalela, yang pada akhirnya membawa Nabila secara paksa untuk ke hotel tempat di depan pertigaan lampu merah, nah kan, pikira nya traveling jadinya. Belum lagi Nabila yang terlihat sangat manis sekarang, astaga! Kenapa matanya hanya fokus dengan bibir yang sedang digigit itu? "Nabila, bisa berhenti menggigit bibirmu? Saya takut yang bangun semakin memberontak untuk dilepaskan," ucap Dito dengan nada berat dan serak. Nabila menuruti ucapan Dito, meskipun ia bertanya-tanya, apa yang bangun? Dan kenapa minta dilepaskan. Tolong ajarin otak polos Nabila. Ia sama sekali tidak mengerti. "Bapak mau bangun apa? Kok sampai dilepaskan?" Kenapa suara Nabila malah terkesan sangat sexi sekarang di telinga Dito. Dia sekarang seperti penjahat kelaminn saja. "Nabila, bisa bawakan saya air dingin satu telo besar, kalau bisa yang ada es nya." "Hah? Air es, Pak? Tapi kok banyak banget?" "Nabila, jangan banyak tanya, cepat ambil saja." Nabila langsung berlari ke arah pantry, dan meminta air es hasil dari buah yang diletakkan di dalam sejauh sterofom buah. membawa ember yang berasal dari kamar mandi, Nabila menuang semua air es yang ada di wadah tersebut. Lalu membawanya keluar, menghiraukan pertanyaan para rekan kerjanya dan tatapan aneh Rio. Begitu sampai, Nabila dikejutkan dengan perintah Dito yang menyuruh Nabila untuk menuangkan air itu ke kepalanya. "Gak mau. Gila bapak ni, yang ada nyawa saya benar-benar minus nanti." "Cepetan, Nabila. Kalau kamu ingin selamat dan nyawa kamu saya buat full." Mata Nabila langsung berbinar, tanpa aba-aba, dia langsung mengangkat ember tersebut lalu menyiramkannya tepat di kepala Dito. Byur! Semua atensi pengunjung mengarah ke meja mereka, bahkan Rio langsung berlari menghampiri Nabila yang masih berdiri kaku dengan menggigit kuku jarinya pelan. "Bil, apa-apaan sih lu? Kalau dia marah gimana?" "Gue gak tau, Yo. Dia yang minta," sahut nabila dengan mata masih melihat Dito yang memejamkan matanya. "P-pak, bapak baik-baik aja, kan?" "Saya oke, Nabila. Bisa minta handuk, gak? Saya gak bawa handuk dan hanya ada baju di mobil." Rio dengan sigap langsung mengambil handuk baru yang tersedia di kafe khusus buat orang yang akan berenang di lantai atas. Karena kate tempat mereka bekerja memiliki 2 lantai, dan di lantai atas adalah ruang outdoor dengan konsep mewah, karena terdapat kolam renang anak dan kursi yang langsung menghadap ke arah jalan. Rio datang sembari membawa handuk dan menyerahkannya ke Dito. "Saya pinjam kamar mandi dulu, makasih yah." Dito berlalu meninggalkan Rio dan beberapa karyawan yang menatap aneh ke arah Nabila. "Kenapa sih, Bil? Kok tiba-tiba lu nyiram dia? Lu gak dikasih nyawa atau gimana?" "Gua gak tau, bangkekk. Tiba-tiba tuh dosen minta air dingin banyak, dan siram ke badan dia. Kan aneh?" Rio mengernyitkan dahinya heran, lalu entah mengapa pikirannya mengarah ke hal 'itu' "Bil, sebelum dia minta air, dia ngomong apa?" "Hah? Emmm... Tadi sih nyuruh gue stop gigit bibir, itu doang." Rio mengangguk, sekarang ia paham kenapa Dito sampai seperti itu, rasanya ia ingin tertawa, sebagai sesama laki-laki, Rio tau kalau tadi Dito sedang bergairahh karena tingkah Nabila. Untung Dito adalah pria yang paham akan situasi, meskipun sedikit konyol sih, disiram di dekan Banyak orang. Ponsel Nabila berdering, ia dapat melihat nomor Dito sang dosen Izrail lah yang menelpon. "Halo, iya, pak. Ada apa?" "Tolong ambilkan baju saja di mobil, kuncinya ada di atas meja." Nabila melihat ke arah atas meja yang memang terdapat kunci mobil laki-laki tersebut. Dengan cepat ia langsung berjalan ke arah parkiran. Hanya ada satu mobil di sana, yang ia duga sebagai mobil dari Dito. "Selain pencabut nyawa, ternyata pencabut kewarasan juga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN