Bab 7. Lakik Biadab

1310 Kata
"Di perjanjian Bapak nggak bilang kita bakal pisah rumah sama mamanya Bapak," protes Thalia seraya berjalan mengekori Damar. Damar berhenti secara tiba-tiba, tindakan pria itu mampu membuat Thalia terkejut. Wanita itu bahkan tanpa sengaja menabrak punggung Damar, dia memberengut kesal seraya mengusap keningnya. Thalia memandang sinis sang suami, sedangkan Damar hanya memandang Thalia dengan ekspresi datar dan tatapan tajam. "Pakai aba-aba kek, kalau mau berhenti!" kesal Thalia. Kepala Damar berputar ke belakang, dia memandang datar sang istri. "Logikamu digunakan saja, kamu sudah menikah bukankah memang akan tinggal sendiri?" "Ha?" Thalia cengo, dia tak mengerti maksud dari Damar. "Menikah artinya kamu siap mandiri baik secara finansial maupun lainnya, kalau kamu masih menetap dengan mertua kapan kamu akan mandiri?" jelas Damar seraya membalikkan tubuh menghadap Thalia. Mulut Thalia terbuka membentuk huruf O, wanita itu lantas mengangguk mengerti. Dia menarik napas panjang, lantas menatap Damar dengan serius. Wajah Thalia kini bahkan sangat dekat dengan wajah Damar. Sementara itu, Damar secara spontan memundurkan sedikit kepalanya. Melihat wajah Thalia dari dekat sedikitnya membuat Damar tak nyaman. Thalia berdeham, tangan wanita itu terlipat di depan d**a. Dia menelisik wajah tampan Damar, pria itu tetap tenang bahkan tak bereaksi berlebihan membuat Thalia mendengus. Padahal dia berharap setidaknya pria itu salah tingkah. "Terus mamanya Bapak tinggal sendirian di sini? Kasian, dong!" Thalia berucap dengan wajah serius, dia bahkan tak ragu untuk menatap mata tajam sang suami. "Kamu nggak liat di sini banyak pembantu?" Damar balik bertanya, kali ini dengan wajah datarnya. Thalia menepuk keningnya sendiri, dia lantas berdecak sebal. Damar ini terlalu tidak peka dan itu membuat Thalia gemas sendiri. Dia mundur satu langkah, netra wanita itu memandang Damar dengan tatapan tajam dan sinis. Dia berdecih kala mendapati Damar menatapnya lebih tajam. Sungguh, Thalia memikirkan kondisi Astrid nantinya. Dia sangat yakin jika wanita paruh baya itu nantinya akan kesepian sama seperti dirinya selama ini. Mungkin akan ada banyak pembantu di rumah ini, tetapi Astrid membutuhkan hadir keluarganya bukan pekerjanya. Sekiranya itulah yang ada di pikiran Thalia. "Bapak itu peka dikit kenapa, sih?! Mama Bapak pasti butuh Bapak di sini bukan pembantunya. Mama Bapak bakalan kesepian tau nggak?! Gitu doang nggak paham!" sungut Thalia. "Oh." Damar membalikkan badan lantas berjalan menjauhi sang istri, hal itu berhasil membuat Thalia menganga beberapa detik sebelum akhirnya wanita itu memberengut kesal dan menghentakkan kakinya ke lantai. "Selain lakik biadab, dia juga anak biadab!" umpat Thalia dengan kesal. Thalia mengatur napasnya berulang kali, dia juga mengusap d**a naik turun berharap kekesalan dan emosinya segera turun. Menghadapi Damar bisa-bisa membuat dirinya mati lebih cepat atau minimalnya serangan jantung, pria itu selalu saja berhasil membuat Thalia jengkel dan marah-marah. "Tuhan, aku tau dosaku banyak cuman kenapa hukumannya harus nikah sama manusia kayak dia, Tuhan?" Thalia mendongak dengan tatapan melas, perempuan itu seperti tengah berusaha mendapatkan belas kasih dari Tuhan. Mendesah pasrah, Thalia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar. Dia harus beristirahat sebelum nantinya mengemasi keperluan untuk pindah rumah. Ah, sungguh, Damar terlalu mendadak mengatakan semua keputusannya. *** Astrid tersenyum sendu, mata wanita itu berkaca-kaca. Di tangan Astrid sebuah foto dia pegang dengan erat, di dalamnya ada dirinya dan seorang pria yang tengah mengendong anak kecil. Astrid mengusap foto itu dengan perlahan, d**a wanita itu terasa sesak seperti dihimpit di ruangan sempit. Waktu berlalu begitu cepat, dia bahkan masih tak menyangka anak yang selama ini dia besarkan sendiri tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah dan mapan. Damar persis seperti mendiang sang suami bahkan karakter mereka pun sama. Astrid terkekeh, d**a Astrid semakin terhimpit rasanya. Astrid menarik napas panjang. "Sayang, kamu pasti udah tenang di sana, ya? Kamu pasti udah bahagia di sana, ya?" kekehnya. Astrid menghapus air matanya, senyum wanita itu belum juga luntur. Sudah 20 tahun semenjak kematian Kaisan—suaminya, tetapi tak pernah sedikit pun Astrid melupakan pria yang begitu hebat mencintainya. Bahkan setelah puluhan tahun perasaan Astrid justru semakin membesar, baik itu rindu maupun cintanya hanya saja Astrid tak mampu mendekap sosok Kaisan lagi, dia hanya mampu mendekap erat perasaanya. "Anak kamu yang dulunya bandel itu udah nikah, Sayang. Dia udah ngebangun rumah tangganya sendiri." Astrid tertawa pelan. "Padahal baru kemarin kita gendong dan pangku dia ya, sekarang dia udah tumbuh jadi sosok hebat dan gagah kayak kamu." Astrid tertawa paksa, bayang-bayang masa lalu kembali menghantui wanita itu. Segala kenangan berputar di pikiran Astrid, bahkan saat pertama kali dia bertemu dengan mendiang sang suami. Kekehan pilu Astrid seolah menjadi pertanda bahwa tak ada yang pernah berubah, termasuk perasaan yang selama ini dia punya. Suara pintu kamar yang diketuk membuat Astrid buru-buru menghapus air matanya dan meletakkan foto yang dia pegang di bawah selimut. Wanita itu memperhatikan penampilan dirinya sebelum akhirnya meminta orang di depan pintunya masuk. Astrid menarik napas panjang lantas mengembuskan napasnya secara perlahan. "Masuk!" Gagang pintu diputar, pintu itu terbuka perlahan. Di sana Damar berdiri dengan tatapan yang sulit terbaca. Pria itu melangkah mendekati Astrid, dia berjongkok di hadapan Astrid yang masih duduk di atas kasur. Kedua sudut bibir Damar terangkat membentuk senyuman tipis. "Ma, Mama habis nangis?" tanya Damar. Astrid menggeleng pelan. "Enggak, Sayang. Mama cuman kelilipan," kilah Astrid. Damar yang mendengar itu menarik napas panjang lantas mengembuskannya. Dia meraih tangan Astrid dan menggenggamnya, Damar memandang sang ibu dengan tatapan lembut. "Aku tau ini nggak mudah buat Mama, tapi makasih Mama udah bertahan dan jadi sosok Ibu sekaligus Ayah untuk aku. Aku beruntung masih punya Mama di sini," tutur pria itu dengan tulus. Mata Astrid memanas, dia segera memeluk sang putra. Tangis yang tadinya dia tahan akhirnya tumpah. Perasaan haru, sedih, bahagia, dan sesak itu menyatu semakin membuat d**a Astrid terasa dihimpit. "Mama tau Mama belum sempurna untuk jadi orang tua, tapi makasih kamu udah selalu ada buat Mama." Damar menggeleng keras, pria itu tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang ibu. Dia memeluk tubuh Astrid dengan erat. Baginya Astrid tak pernah gagal menjadi orang tua, Astrid tak pernah gagal dalam mendidik dirinya. "Bagi aku Mama udah sempurna banget, Mama udah yang paling terbaik," ucap Damar dengan tulus. Astrid tertawa pelan, dia tak pernah menyangka akan mendengar kalimat itu langsung dari Damar. Kalimat yang bahkan tak pernah terbayangkan oleh wanita itu. "Mama harap kamu selalu bahagia." Damar menggeleng, dia melepaskan pelukan mereka. Pria itu menangkup lembut wajah sang ibu, senyuman Damar bahkan terlihat tulus di hadapan wanita yang amat dia cintai. "Bukan hanya aku, tapi Mama juga! Aku mau Mama hidup lebih lama lagi ya?" *** Dias berusaha menghubungi nomor Thalia, tetapi nomor itu tak bisa dihubungi sama sekali. Berdecak keras, Dias membanting ponselnya ke sembarang arah. Wanita itu tak peduli jika nantinya ponsel miliknya itu rusak. "Sialan! Apa dia memblokir nomorku?!" Suara Dias tertahan, dia menahan geram. Mendudukkan dirinya ke kasur, Dias mendesah panjang. Semakin lama Thalia justru semakin berani membangkang. Thalia tak takut lagi dengannya, perempuan itu tak peduli lagi dengannya. Thalia yang Dias kenal adalah Thalia yang penurut dan tidak pernah memberontak, Thalia bahkan tak pernah melawan dirinya. Namun, semenjak dia keluar dari rumah, dia berubah drastis. Thalia bahkan berulang kali mengabaikan panggilan telepon darinya. "Apa aku harus memberikan pelajaran pada anak tidak tau diri itu?" Dias tersenyum miring, dia menjilati bibirnya sendiri. Tawa wanita itu pecah, bukan tawa bahagia melainkan tawa penuh amarah. Dia melirik ponselnya yang berada di lantai, dengan sedikit membungkuk dia mengambilnya. Dias mengutak-atik ponsel miliknya, dia akan berusaha mencari alamat tempat tinggal Thalia sekarang. Dias berjalan mendekati jendela, dia masih mencoba menghubungi Thalia meskipun Thalia berulang kali mengabaikan panggilan darinya. Dia berdecak, geram rasanya saat Thalia semakin berani padanya. Bagi Dias, Thalia harusnya selalu menurut dan menurut, Thalia harus ada di bawah kendali dirinya sampai kapan pun. "Aku akan membawamu ke mari apa pun caranya, Sayang." Satu sudut bibir Dias terangkat membentuk senyuman miring, mata wanita itu memicing sinis dengan satu tangan terlipat di d**a dan satu tangan lagi memegang dagu. Otak Dias berusaha mencari cara untuk bisa menemui Thalia, dia harus memenuhi janjinya. "Anak sialan itu ... aku pastikan dia akan menemuiku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN