Dias memandang uang yang jumlahnya mencapai sepuluh juta, uang yang dia dapatkan dari Thalia. Dias memandang heran uang tersebut meskipun dia senang, tetapi dia juga cukup penasaran darimana anak sambungnya mendapatkan uang sebanyak itu.
Dias mendengus kasar, dia mengeluarkan uang tersebut dari amplop. Dia memeriksa keaslian uang yang dia dapatkan dari Thalia. Satu sudut bibir Dias tertarik ke atas membentuk senyuman miring, uang ini nominalnya melebihi utangnya pada debt collector. Namun, dalam hitungan detik raut wajah Dias berubah datar dan penuh keheranan.
"Dari mana jalang itu mendapatkan uang sebanyak ini?" Kening Dias mengerut, dia mengusap uang itu dengan gerakan lambat.
"Mungkin dia jual diri?" lanjutnya dengan senyuman miring.
Namun, senyuman itu harus pudar kala dia mengingat kehadiran Thalia sore tadi dengan sebuah mobil Alphard. Penampilan Thalia bahkan berubah 180° persis seperti saat mendiang ayah dan ibunya hidup, wanita itu berdecak kesal saat mengingat seorang pria berpakaian serba hitam memanggil Thalia dengan sebutan "Nona" segala praduga muncul tanpa bisa dia hentikan.
"Apa jalang kecil itu menikah dengan orang kaya?" Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya memukul meja. "Sialan! Dia bahkan tidak mengundangku? Anak itu benar-benar lupa diri!"
Dia menggeram tertahan, cukup kesal sekaligus marah meskipun dia tak tahu dugaannya benar atau tidak. Namun, dia begitu yakin jika memang begitu adanya. Tangan wanita itu terkepal kuat, uang yang ada di tangannya pun dibuat menyusut olehnya.
Dia Dias Purnomo, ibu tiri dari Thalia Amelia. Seorang wanita yang sudah selama 12 tahun lamanya menjadi ibu tiri Thalia. Sama seperti di cerita dongeng mengenai ibu tiri yang jahat, maka serupa dengan Dias. Wanita itu menikahi ayah Thalia hanya demi harta, sedikit pun dia tak pernah memperdulikan Thalia bahkan hingga saat ini.
Dias bangkit dari duduknya, dia berjalan memasuki kamar. Satu-satunya peninggalan dari ayah Thalia yang tersisa adalah rumah megah ini, rumah yang hanya ditempati oleh Dias dan anaknya. Tak ada lagi pembantu, tak ada lagi tukang kebun, dan tak ada lagi supir. Semuanya pergi semenjak Thalia meninggalkan rumah ini, pun sejak Dias banyak berhutang ke bank untuk memenuhi gaya hidup mewahnya.
"Aku harus memberi pelajaran pada anak tidak tahu diri itu. Dia menikah dan tidak mengundangku?! Apa dia lupa aku pernah berbaik hati merawatnya?! Jalang sialan!" Dias terus mengomel sepanjang jalan, dia berencana membuat perhitungan pada Thalia.
Pintu kamar dia banting, Dias berjalan cepat-cepat menuju sebuah lemari. Wanita itu membuka lemari dan mengambil sebuah album, dia tertawa sarkas melihat foto seorang pria yang dengan gagahnya mengendong anak kecil dan merangkul pinggang sang istri. Dias yang melihat itu mendengus, dia memandang tak suka foto yang dia pegang.
"Mas, aku udah nunggu puluhan tahun buat milikin kamu. Sampai di mana istri penyakitan kamu itu mati, aku berhasil masuk ke dalam dunia kamu." Dias tertawa puas.
Tangan wanita itu mengusap wajah pria yang nampak tersenyum lebar ke arah kamera. "Seandainya kamu tidak terlalu memanjakan Thalia pasti anak kamu itu masih hidup dengan bahagia di sini, 'kan? Kita masih jadi keluarga bahagia, 'kan?" sambugnya dengan raut wajah berubah sendu.
Dias menghapus air matanya yang turun membasahi pipi, wanita itu lantas menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Dia tertawa pelan.
"Tapi rasanya jauh lebih baik dia menderita 'kan, Mas?"
***
Thalia menyambut kepulangan Damar, wanita itu meraih tangan Damar dan menciumnya. Hal tersebut mampu membuat Damar terpaku di tempatnya, pria itu merasakan tubuhnya mematung. Untuk pertama kalinya dirinya ada di situasi ini, terasa aneh. Namun, justru membuat Damar tak berkutik.
Pria itu berdeham pelan. "Mama di mana?" tanya Damar seraya mengalihkan pandangan.
"Pergi arisan sama temen-temennya," sahut Thalia seraya mengambil tas kerja Damar.
Wanita itu berjalan lebih dulu meninggalkan Damar di belakang, sedangkan Damar mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan mengikuti Thalia tanpa protes. Mata tajam pria itu memandang punggung kecil sang istri, tatapan Damar tanpa sengaja turun ke arah b****g Thalia yang bergerak seirama dengan langkah kecil perempuan itu. Damar segera membuang muka, pria itu terbatuk kecil saat sesuatu dalam dirinya bergejolak. Satu hal yang dapat simpulkan, bahwa Thalia begitu menggoda.
"Bapak sudah saya siapkan air hangat, bisa langsung mandi. Bajunya juga udah saya siapin." Thalia meletakkan tas milik Damar.
Mendengar itu pandangan Damar tertuju pada pakaian yang ada di atas kasur. Dia mengangguk perlahan lantas berjalan ke kamar mandi. Ternyata memiliki istri tak seburuk itu, setidaknya beberapa hal disiapkan oleh istrinya dengan inisiatif tinggi.
Thalia yang melihat Damar sudah masuk kamar mandi mengembuskan napas panjang. Dia berjalan ke arah meja rias untuk mengambil ponselnya, semenjak menikah Thalia merasa bosan karena bagaimanapun dia terbiasa pergi berkerja dan sekarang dia harus menetap di rumah sebesar istana ini.
"Apa gue main ke kafe aja ya? Sekalian jajan," gumam perempuan itu.
Thalia menggeleng cepat. "Jangan deh, nanti banyak yang julid."
Dia menghela napas panjang, Thalia menjatuhkan kepalanya di meja rias. Jari-jari perempuan itu mengetuk-ngetuk meja rias, pikiran Thalia berkelana. Seandainya dia tak menerima penawaran Damar, mungkin dia tengah dipusingkan dengan hutang ibu tirinya. Namun, menikah dengan Damar juga membuatnya pusing. Damar terlalu menyebalkan dan selalu menguji kesabarannya, terkadang pria itu juga sangat baik walau hanya sesaat.
"Hidup kalau nggak bikin capek ya bikin depresi," keluh perempuan itu.
"Kamu kenapa?" Suara Damar berhasil mengagetkan Thalia, wanita itu secara spontan menegakkan tubuh.
Thalia menoleh menatap Damar yang masih berpakaian lengkap, alis wanita itu terangkat tinggi. "Bapak belum mandi?" tanyanya.
Damar menggeleng. "Nanti aja, saya males."
Mendengar itu Thalia termenung, mulut perempuan itu terbuka. Jika perempuan yang malas mandi itu masih terdengar wajar di telinganya, tetapi jika laki-laki terdengar aneh di telinganya. Thalia pikir Damar tidak memiliki rasa malas, ternyata dia memang masih manusia.
Thalia memandang pintu kamar yang sudah tertutup, pria itu pergi dari kamar tanpa mengatakan apa pun. Dia menghela napas panjang, tak bisa berharap banyak pada pernikahan kontrak ini. Thalia tentu tahu posisinya hanya untuk menyelamatkan Damar dari perjodohan gila itu dan Thalia tak bisa berharap banyak, bahkan pada sikap manis pria itu.
"Kirain manusia modelan dia nggak bisa males," ucap Thalia dengan cukup pelan.
Perempuan itu terdiam sejenak. "Ini kalau gue tiba-tiba baper kayak di novel gitu dia bakal suka balik nggak ya?" Pertanyaan random itu muncul begitu saja, setelahnya Thalia menggelengkan kepala keras dan memukul pelan kepalanya.
"Apa sih gue?! Ya nggak mungkinlah, manusia songgong kayak dia mana ngerti cinta, sih?!" omel Thalia pada dirinya sendiri.
Dering ponsel wanita itu mampu mengalihkan perhatian Thalia, Thalia mengerutkan kening. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk segera mengambil ponselnya. Dia berdecak keras setelah tahu siapa yang menghubunginya. Menarik napas panjang kembali, Thalia lantas menempelkan ponselnya ke telinga.
"Kenapa lagi? Uang untuk bayar hutang udah aku kasih ke Ibu, 'kan? Mau minta apa lagi?" celoteh Thalia dengan wajah malas.
"Kamu menikah?"
Pertanyaan dengan nada penasaran itu membuat Thalia mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Dia mengangguk pelan meskipun orang di seberang sana tak melihatnya. Thalia tak akan memberitahu secara gamblang, dia tahu betul seperti apa Dias. Thalia tidak ingin hidup tenangnya kembali diusik oleh wanita yang selama ini dia anggap tidak waras.
"Kalau iya, kenapa?"
"Dasar jalang sialan! Kamu tidak memberitahu saya!" teriak Dias di seberang sana.
Thalia mendengus, dia menjauhkan ponselnya lantas mengusap telinganya. Rasanya Dias akan jatuh sakit jika tidak berteriak padanya, berteriak seperti hal wajib yang harus wanita itu lakukan jika menelepon dirinya.
"Memang Ibu siapa? Cuman Ibu tiri kok," balas Thalia.
"Kamu—"
"Udah ya, Bu! Aku capek, uangnya udah aku kasih jadi jangan ganggu aku lagi. Selamat sore, dadah!"
Thalia dengan geram mematikan sambungan teleponnya. Dia berdecak sebal, semakin hari Dias semakin menyebalkan dan itu membuat Thalia ingin mencekik wanita itu. Sialnya Thalia tak memiliki sisi psikopat. Padahal sudah sejak lama Thalia ingin membunuh Dias dengan sadis seperti novel-novel dark romance yang dia baca atau film-film pembunuhan yang dia tonton, tetapi kewarasan perempuan itu masih menyelamatkan dirinya.
"Dosa apa sih hamba, Tuhan?" Thalia mendesah panjang. "Cobaan hidup gini banget. Rasa manis kagak, isinya rasa asin sama pahit doang kecampur kecut," sambungnya.
Thalia berhenti mengoceh saat Damar kembali masuk ke kamar, dia hanya menatap sang suami sekilas lantas keluar dari kamar. Wanita itu seperti tak ada tenaga hanya untuk sekadar berbicara dengan sang suami, sedangkan Damar memandang kepergian Thalia dengan tatapan tajam dan wajah datar.
"Kenapa dia?"