Pernikahan adalah salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam. Manfaatnya besar bagi individu maupun masyarakat.
🌺🌺🌺
Salah satu substansi penting pernikahan adalah akad, bagaimana jika pihak satunya tak menerima? Lalu legalitas bagi pasangan untuk melakukan hubungan intim akan bagaimana jika salah satunya terpaksa? Dalam hal ini Bagas yakin bukan keputusan bagus baginya untuk menikahi Windi.
Bintang menepuk pundak Bagas. “Siapa bilang kamu dedengkot tua? Kamu lelaki paling tulus yang pernah kukenal. Windi juga gadis baik-baik yang pandai menjaga dirinya. Dia bisa saja mendapatkan lelaki muda sembarangan, tapi belum tentu lelaki itu bisa bersikap tulus kepadanya.”
“Aku rasa Windi pun akan jadi rendah diri jika lelaki yang menikahinya mengetahui asal usul hidup Windi bagaimana. Aku hanya takut Windi mengambil jalan pintas,” tambah Bakhtiar serius. “Bintang benar, dia bisa ditipu laki-laki muda dengan mudah.”
Bintang mengangguk, “Kudengar Kitha juga sudah mengajukan surat pengunduran diri, dia akan menikah dalam waktu dekat. Windi akan kehilangan sahabat juga. Kabarnya Kitha akan ikut suaminya tinggal di negara jauh.”
Kini Bakhtiar dan Bintang menatap Bagas. Lelaki tersebut mengangkat tangan di udara. “Aku masih mencintai Nasila. Kita mungkin peduli pada Windi, tapi hidupnya tetap bukan tanggung jawab kita. Aku tidak mau terikat dengannya.”
“Jadi Sugar Daddy saja dulu, tanpa mengambil manfaat darinya. Bawa dia ke rumahmu dan lindungi. Itu saja,” Bakhtiar memberi saran.
Bagas menggeleng keras. “Aku lebih suka ada pemuda seusia dia yang siap menikah lalu kita biayai hidup mereka sementara atau bantu secara finansial mereka entah dengan pekerjaan atau apa pun caranya.”
Bakhtiar dan Bintang menggeleng pasrah.
Dalam diam Bagas pun setuju jalan pernikahan adalah solusi terbaik untuk Windi. Dengan gadis itu menikah, ayah tirinya bisa saja segan lalu menghentikan kebiasaan buruknya dan ibu tiri yang dikhawatirkan itu pastinya tak begitu saja berani menindas gadis tersebut karena di bawah lindungan suaminya. Namun, sayangnya harapan itu sulit diwujudkan karena Windi sepertinya tak punya calon untuk dijadikan suami. Windi juga menjaga jarak dari lawan jenis. Sudah Bagas coba lewat salah satu pemuda klan Sayap Mulia untuk mendekatinya dan bisa dibilang gagal pendekatan itu. Windi malah langsung memboikot pemuda tersebut dengan kalimat ta’aruf.
***
Khumaira sempat menaruh kecemburuan besar kepada Windi, padahal Khalid bersikap sangat dingin dan terus memanggilnya ibu. Kini setelah kabar Khumaira hamil kesempatan Windi untuk jadi pelakor semakin kecil dan ia pun merasa amat bahagia untuk kabar baik Khalid dan Khumaira itu. Lepas masalahnya di kantor, kini kehidupan pribadinya pula yang goyah. Windi mulai tak nyaman dengan sikap Ivy sejak ibunya ikut tinggal di sana. Sikap bermusuhan Ivy yang tak ramah lagi membuat Windi bingung dan tak tahu sebabnya, tapi kemungkinan besar karena keberadaan sang ibu tiri. Beberapa kali Windi dapati Eva menangis jika Venita lewat depan rumah mereka. Windi akhirnya memutuskan untuk pindah kontrakan. Kebetulan Kitha yang akan pindah segera bisa langsung Windi lanjutkan kontrak rumahnya.
Windi berpamitan kepada Ivy saja dan mengetahui darinya bahwa ayah tiri Windi sering datang. Ivy bahkan meminta maaf atas sikapnya terakhir. Windi lega sekali bisa angkat kaki dengan hati lapang begitu. Namun, Windi pura-pura tak tahu apa-apa kepada sang ibu. Windi pikir selagi tak mengganggunya biarkan saja. Karena bukan orang lain juga, suami wajar merindukan istrinya.
Awalnya baik-baik saja kehidupan baru mereka di tempat itu. Hari ke hari mulai ada perubahan yang terjadi. Baru-baru ini Windi merasa tak nyaman karena seringnya tukang tagih hutang muncul bergantian. Maka, malam itu Windi mempertanyakan kepada ibunya.
“Ibu pinjam uang lagi?”
“Iya.”
Windi langsung panas telinga, tapi mengkonfirmasi dengan santun bahasanya. “Untuk apa? Bukannya Ibu di rumah saja sepanjang hari?”
“Kadang Ibu pergi juga. Bosan di rumah terus.”
Windi beranjak kesal. “Windi tak melarang Ibu pergi-pergi, tapi mengapa harus membuat hutang lagi? Ibu tidak bekerja, Windi juga memberi uang untuk Ibu gunakan sesuka hati. Untuk apa lagi Ibu meminjam uang?”
“Kebutuhan Ibu beda sama kebutuhan kamu. Yang kamu berikan itu kurang. Kamu ‘kan sekarang jadi orang besar, Windi. Beri lebih untuk Ibu. Jangan seperti kacang lupa kulitnya. Apa susahnya bayar hutang 50 ribu sehari. Kalau kamu bisa memenuhi mana mungkin ibu mau berhutang pula?”
Memang 50 ribu sehari, tetapi itu ditarik oleh tiga orang. Untuk hutang ibunya saja Windi harus mengeluarkan 150 ribu setiap hari. Windi saja ingin berhemat supaya bisa membeli tanah atau rumah setelah semua harta peninggal neneknya tumpas oleh ibu tiri dan hutang sang ayah. Ia bosan membuang uang hanya untuk membayar kontrakan. Lelah bekerja dari pagi hingga sore, tapi hasilnya dinikmati orang bukan dirinya sendiri. Windi lelah, dikumpul-kumpul tabungannya malah terkuras lagi untuk membayar hutang yang bukan ia miliki.
“Salahkan ayahmu! Dia yang ---“
“Cukup!” teriak Windi muak. “Windi bosan mendengarnya, Bu. Windi tak mau tahu apa yang terjadi di masa lalu kalian. Cukup jangan rusak hidup Windi sekarang! Bukan Windi yang minta dilahirkan dari kalian!”
Venita tertegun.
Windi menangis karena kesal sekali. Membara amarah di dalam dadanya. Sampai sesak ia bernapas dan tersengal kalimatnya. “Angkat kaki Ibu dari sini dan jauhi Windi! Ibu hanya Ibu tiri Windi ‘kan, ayah juga sudah menceraikan Ibu. Selama ini Windi masih membayarkan hutang atau memberi Ibu bantuan karena ibu juga merupakan tante Windi. Namun, mulai detik ini tidak lagi. Windi muak! Windi lelah! Pergi!”
Venita menelan liur sulit. Tak mengira jika gadis lembut dan mudah dimanfaatkan tersebut kini mencapai batasnya. Tentu Venita tak mau kehilangan tempat tinggal dan bank pribadinya. Sejak melihat di televisi penampilan indah Windi dalam acara pameran permata internasional hari itu Venita tahu Windi punya lebih dari jutaan rupiah tiap bulannya, minimal belasan juta mungkin masuk ke rekeningnya dari gaji dan bonus. Gaun yang sebelumnya juga masih mahal dihargai tukang loak. “Windi, Ibu ---“
Windi kalap melemparkan semua pakaian Venita ke luar. Ditariknya tubuh perempuan itu ke pintu lalu menutup dari dalam dan menguncinya.
“Windi! Buka!”
Gedoran itu tak Windi gubris sama sekali.
“Anak durhaka! Lihat saja, hidupmu bakal lebih sulit! Tidak tahu diri!”
Windi bersandar di belakang pintu. Tak peduli betapa sakitnya hati yang terluka dan kecewa. Tangisnya tak terbendung lagi. Ia merasa sangat jahat dan kotor. Namun, Windi tak sanggup lagi terus menerus menerima perlakuan seenak Venita. Ia bosan dan lelah. Terserah saja kali ini jadi durhaka asal hatinya tak terlalu terbebani lagi. Allah Maha Tahu jika saat ini Windi sudah tidak mampu lagi. Mungkin belum saat baginya untuk naik derajat keimanan di sisi Sang Pencipta.
***
Banyak hari berlalu sejak pembicaraan serius dengan Bintang dan Bakhtiar hari itu. Bagas meyakinkan diri bahwa Windi bisa mengurus hidupnya sendiri. Meski begitu nyatanya nurani tulus dan peduli Bagas tidak baik-baik saja. Waktunya benar-benar tersita untuk memikirkan Windi dan Windi lagi. Tak jarang Bagas berkendara sendirian malam-malam untuk memantau kontrakan baru gadis itu. Lepas pindah dari kontrakan Bakhtiar, Bagas tak tenang memikirkan Windi tinggal sendirian. Terutama setelah Bagas juga jadi saksi bisu saat Windi mengusir ibunya malam itu.
Entah bagaimana, Bagas sulit tidur hanya demi memikirkan gadis belia tersebut. Bagas masih menepis ketertarikan sebagai lawan jenis, ia hanya bergerak karena empatinya. Kini Khumaira sedang mengandung, Bagas makin banyak pikiran. Takut jika suatu saat nanti cucunya akan mengalami hidup tragis seperti Windi. Memang saat ini semuanya baik-baik saja, tetapi segala sesuatu bisa saja terjadi tanpa ada yang bisa memprediksinya.
Bagas baru akan beranjak menekan pedal gas ketika sebuah motor berhenti di depan kontrakan Windi. Dua lelaki berpakaian hitam dengan helm tertutup seluruh wajah itu mencurigakan, belum lagi kondisi yang sedang hujan.
Sempat Bagas perhatikan Windi yang melongok dari jendela dengan mukenanya lalu menyerahkan uang, tetapi kemudian wajah gadis itu dibekap. Kejadian yang singkat itu langsung memacu Bagas untuk menggagalkan. Ia turun menerobos hujan sementara dua lelaki tadi masuk rumah Windi. Hujan lagi-lagi membuat jalanan sepi. Bagas mengetuk pintu. Muncul lelaki membukanya. “Ada perlu apa?”
Tak menjawab, Bagas langsung menerjang lelaki itu sementara yang satunya tampak sudah membawa Windi ke ranjang. “Pergi kalian dari sini!” teriak Bagas keras.
Lelaki yang tadi membawa Windi masih tertutup helm dengan sempurna. Dia menarik temannya menjauh. Dari matanya dia seolah mengenali Bagas sehingga langsung kabur sebelum wajahnya terlihat.