9 🌺 Titik balik

1542 Kata
Allah Maha Melihat. Bagaimana syoknya Bagas saat ini. Selain basah karena hujan ia juga mengigil karena terkurung dengan gadis yang tak sadarkan diri. Beda dengan malam itu yang Windi dalam keadaan sadar dan bugiiil, malam ini gadis itu bercelana panjang dan tertutup mukena, tetapi mereka jauh dari jangkauan orang yang Bagas atau Windi kenali. Kontrakan bekas Kita tak jauh dari jalan raya dan mudah sekali untuk jadi sasaran kejahatan, dibandingkan kontrakan Bakhtiar dulu, apalagi Windi tinggal sendirian dengan hilir mudik tukang tagih hutang yang mendatanginya tiap-tiap hari. Bagas yakin Windi mungkin saja akan pindah kontrakan lagi, tapi gadis itu pasti menunggu sampai akhir bulan. Gadis menyedihkan, tapi terlalu keras kepala. Tubuh tergolek tak sadar itu sekitar lima meter saja dari jangkauan Bagas. Tak lupa ia beristigfar supaya dirinya tak ikut jadi perangkat setan. Bagas kini bingung harus apa. Gadis yang dalam pengaruh bius itu sepertinya belum akan sadar, entah sampai pagi mungkin. Bagas sendiri tak tahu harus menghubungi siapa saat ini. Bakhtiar, Bagas tak mau Ivy salah paham lagi. Akhirnya ia menghubungi Bintang. Jelas reputasi Bintang di mata Windi lebih baik daripada Bagas Wandawarma itu sendiri. Saat ini Bagas sama sekali tak bisa berpikir atau merencanakan apa pun. Ia masih tak tahu harus apa, buntu otaknya tiba-tiba sementara hujan lebat di luar memaksanya harus menutup pintu daripada makin banyak rembesan air hujan masuk dan membuat basah rumah Windi. Meninggalkan Windi begitu saja berbahaya, tinggal dengannya hingga gadis itu bangun juga akan menimbulkan tanda tanya. Benar-benar Bagas dalam dilema. Lumayan lama Bagas menunggu hingga Bintang datang. Lelaki yang ditunggu langsung menghela napas panjang saat masuk kontrakan. “Masih sempat memakai payung,” sinis Bagas menyambut Bintang yang santai sekali. Bintang tersenyum lebar. “Ada kamu, apa yang harus kukhawatirkan?” Bagas hanya menarik napas panjang. Lupakah Bintang jika Bagas Wandawarma ini juga lelaki dengan hasrat yang belum padam, apalagi setelah menjadi duda sekian tahun lamanya dan tak pernah menyentuh perempuan selepas Nasila?! Bekas air masih berceceran di lantai sementara Bagas tertegun tak melakukan apa pun. Bintang kemudian memperhatikan sahabatnya lebih sekksama, “Kamu baik-baik saja?” “Tidak.” Benar Bagas tidak baik-baik saja. Kesalnya hampir membuat gosong kepala. “Kurasa, kalian benar. Lebih baik kunikahi saja gadis bodoh itu!” Bintang mengangguk tenang. Abai dengan ucapan serampangan Bagas itu. “Bisa kita minta bantuan dua gadis anggota klan untuk berjaga di sini sampai dia bangun? Aku rasa itu lebih etis daripada dua dedengkot tua yang menemaninya.” Bintang terkekeh sendiri karena Bagas mengurut kening sebagai reaksi. “Ah!” Bagas tersentak ide itu. “Otakku benar-benar kosong sampai kamu datang.” “Syukurlah otakku tidak ikut kosong.” Bintang menepuk pundak Bagas. “Kamu tidak bisa menarik kalimat tadi. Kamu akan menikahinya ‘kan?” Bagas menggulung bibir, terjebak kalimat sendiri di depan sang pewaris Abinaya. Bintang tersenyum miring sambil merangkai tangan di depan d**a, “Di luar hujan. Aku tadi mengaminkan dalam hati ucapanmu.” Bagas mendengus kesal, “Berdoa saja semoga dia mau menerimaku.” *** Windi bangun dengan kepala berat. Penglihatannya seperti berputar dan jatuh. Ia mengerjap beberapa kali sampai sadar bahwa ada wajah di depannya. “Hah! Siapa kamu?!” tanya Windi terperanjat mundur. Windi mendadak menarik naik selimut ke dadda dan detik itu pula ia sadar jika semalam hal mengerikan telah menimpanya lagi. Windi mengerut lutut dan menangisi diri. Ia telah ternodai. Mungkin saja azab yang harus ia terima setelah mengusir ibunya. “Ukhti,” panggil gadis lain menyentak Windi. “K---kalian dari klan Sayap Mulia ‘kan?” Windi mengenali salah satu dari dua gadis itu. “M---mengapa kalian di sini?!” “Bangun, subuh dulu. Nanti akan kami jelaskan.” Windi mengerjap bingung. Rasanya semalam dua orang penagih hutang ibunya yang Windi ingat. Bagaimana bisa jadi dua gadis klan Sayap Mulia? Namun, Windi lantas memenuhi kewajibannya akan Allah lebih dulu, meski tetap di kepala terus merasa janggal dengan situasi tak biasa pagi ini. Salah satu gadis itu membawakan s**u dan kue kering. Mereka tampak santai sekali, seolah nyaman di kontrakan Windi, seperti teman dekat yang telah menganggap rumah sendiri. “A---aku tak ingat. Apa yang terjadi?” “Kami juga tidak tahu, Tuan Bagas dan Tuan Bintang yang menyuruh kami di sini.” Windi menggaruk kepalanya. “Lalu?” Dua gadis itu bergidik bahu. “Kami menunggu beliau datang, hanya itu.” Perasaan Windi tak nyaman. Dua lelaki dewasa itu akan Windi hadapi sendiri? Tak lama kemudian memang muncul dua lelaki yang dimaksud di depan Windi, beserta Bakhtiar dan Ivy. Dia gadis sebelumnya langsung pamit juga. Begitu melihat Windi, Ivy langsung berlari dan memeluknya. “Maafkan aku,” katanya pilu beserta tangis. Windi tentu makin janggal dengan situasi ini. “N—nyonya, mengapa Anda minta maaf?” Ivy bungkam menarik bibirnya ke dalam mulut sambil canggung memandang Bakhtiar yang menggendong Eva. “Mengapa Anda semua ke sini?” tanya Windi kepada mereka yang menyerbu kontrakannya. “Kamu butuh suami. Benar?” tanya Bagas langsung. Windi ragu-ragu mengangguk. “Aku akan menikahimu. Tidak perlu membantah atau menolak. Ayahmu sudah setuju. Aku bisa saja memaksamu jadi istriku.” Windi tercengang. Baru akan membuka mulut, tetapi Bintang menarik Bagas dari hadapan gadis itu. “Caramu salah sekali untuk melamar seorang gadis." Bintang kemudian bicara kepada Windi, "Dia flu karena semalam. Harusnya dia istirahat bukan malah melamarmu.” Lucu, Windi tahu lucu yang dikatakan di depannya. Namun, tak ada satu pun yang tersenyum. Pertanda jika situasi tegang ini serius terjadi. “A---apa maksud Anda, Tuan?” “Biar aku yang bicara,” Bintang angkat tangan. Ia tahu bahwa Bagas sedang dalam kondisi tertekan dengan keputusannya sendiri. “Semalam kamu ingat dua orang yang menagih hutang?” “Y—ya!” Windi merinding seketika. Khawatirnya ia telah kehilangan selaput dara. “Saya tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.” “Allah menjagamu lewat Bagas. Dua lelaki itu berniat jahat dan hampir saja menyakitimu. Bukan kebetulan Bagas mengawasimu.” Windi melihat lelaki yang dimaksud Bintang, tetapi beliau langsung membuang muka dan napasnya seolah malu atau enggan disebut begitu. “Baiklah, kebetulan Bagas orangnya. Dia peduli, bukan hanya kepadamu, hampir kepada semua yang hidupnya menyedihkan, dia akan peduli,” ralat Bintang. Bakhtiar menghela napas, “Bisa kita singkat saja. Eva perlu sarapan.” “Apa yang kukatakan benar. Aku akan mengambil tanggung jawab untuk menikahimu. Anggap saja ‘Sugar Daddy’, mudah-mudahan kamu paham istilah itu. Tetapi, hubungan kita tidak begitu. Aku tidak akan meminta apa pun darimu. Aku ---“ Bagas menggantung kalimatnya karena tak nyaman ditatap mereka. “Nanti kita bicarakan lagi di depan ayahmu sementara ini pikirkan tawaranku.” Windi termenung. “Kamu mengerti?” tanya Bagas datar. “Y---ya.” Menjauh Bagas dari Windi baru gadis itu bebas meraup udara untuk paru-parunya. Takut, segan, dan sungkan jadi satu saat lelaki itu terlalu dekat dengannya. “Aku akan tinggal di sini menemaninya. Mungkin dia butuh teman bicara,” kata Ivy. “Eva makan sama ayah, ya?” Gadis kecil itu mengangguk patuh dan pergi dibawa tiga lelaki tersebut menjauh. “Bagaimana kalau kita sarapan dulu?” tanya Ivy setelah tertinggal berdua saja. “Boleh kulihat kulkasmu?” Windi tak menjawab izin itu. Kepalanya tertuju kepada sosok Bagas semata. “Nyonya, bagaimana Tuan Bagas yang Anda kenal?” Ivy tersenyum di antara gerakan lincahnya. “Dia pilihan yang bagus. Lebih baik dengannya pula daripada Bakhtiar. Tiap dia datang, Bagas selalu membawakan bunga. Dia tidak memberiku secara langsung, tapi menyuruh Bakhtiar. Dia selalu begitu. Kurasa dia selalu ingin dunia ini baik-baik saja. Melihat orang lain hidup dengan baik akan memberinya energi positif. Kira-kira begitu dia yang kukenal. Melihat beban orang akan membuat hatinya ikut terbebani, dia lelaki yang sangat peka.” Windi mengingat momen-momen dirinya dengan Bagas. “Kalau kamu masih ragu, mintalah petunjuk Allah. Boleh juga memintanya membuat semacam proposal ta’aruf,” saran Ivy lagi. Windi tertunduk dalam memainkan jemarinya, “Saya berencana menikah dengan orang yang saya cintai, Nyonya.” “Dan orang itu tidak ada sampai saat ini?” Windi diam. Malah orang itu putra Bagas sendiri. Namun, Khalid telah milik Khumaira. Pernikahan dengan cinta sebelah pihak mereka telah membuahkan janin di rahim Khumaira. Akhir-akhir ini juga keduanya makin serasi dan romantis hubungannya. “Opsi lainnya, cintai orang yang kamu nikahi. Hasilnya sama, bahkan lebih baik,” tutur Ivy lagi. “Nyonya, beliau seusia ayah saya,” keluh Windi enggan. Rasanya pasti akan sulit menyesuaikan diri dengan lelaki setara ayah sendiri. Terlebih bagi Windi yang tak pernah baik hubungan dengan ayahnya. “Jangan lupa dengan teladan terbaik umat ini. Bukan yang dipandang usia. Bahkan dalam kriteria memilih calon istri tak ada usia. Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam bersabda : nikahi karena cantiknya, harta, keturunan dan akhlaknya. Benar ‘kan? Mungkin aku salah urutan,” keluhnya sendiri. Windi diam tak bisa membantah. Hal yang sama diperintahkan untuk menargetkan suami. Diutamakan akhlaknya. “Dia duda. Lelaki baik-baik yang paham agama dan menjalankan perintah Tuhannya. Apa lagi yang kamu cari?” Windi tak nyaman. Sesungguhnya tak ada alasan bagi Windi untuk menolak. Setelah semua bahaya yang hampir menimpanya, Windi sadar ia memang butuh seorang suami. “Beliau berniat membantu, tetapi menyiksa dirinya sendiri. Saya rasa itu bukan pilihan baik.” Ivy diam sesaat. “Masalah itu ... kurasa kamu benar, tetapi bagaimanapun juga dia lelaki dewasa.” Windi menggulung bibirnya penuh pertimbangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN