CBL-8

4406 Kata
Andrew menuruni anak tangga dengan langkah begitu cepat setelah keluar dari kamar, tak lupa juga sebelum pergi ke lantai bawah ia menyuruh anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat terhadap sebuah kamar dimana terdapat istrinya di dalam. Sesuai apa yang telah Andrew katakan kepada Raisa bahwa memang akan ada lima orang anak buahnya yang menjaga di luar kamar dan dua orang ART wanita di dalam kamar, terutama untuk berjaga di balkon kamar itu. "Waw, sudah di sini rupanya." Kata Frans santai yang kini sedang duduk angkuh di sofa ruang tamu rumahnya. Di ruang tamu itu, Andrew, Zack, dan Frans akan membicarakan sesuatu yang penting. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Frans kepada Andrew dan Zack yang sudah duduk di sofa yang membuatnya berhadapan langsung dengan kedua saudaranya itu. Zack melirik sekilas Andrew yang duduk di sampingnya. "Aku ingin meminta padamu agar kau tidak menyakiti siapapun di sini, apalagi dengan kedatangan kami." Frans tersenyum miring. "Bukankah itu sudah kita diskusikan, Zack?" "Dan kau pikir aku akan percaya begitu saja padamu?" Andrew bertanya dengan sinis kepada Frans. Tak lupa, mata elang laki-laki itu terus tertuju kepada Frans. Frans membuang nafasnya pura-pura lelah. "Ya ya, aku tahu bagaimana dirimu." Kata Frans pada Andrew sebari menunjukkan smirk khasnya. Andrew menatap Frans tajam. "Jangan pernah berani kau menyentuh, apalagi menyakiti istriku. Dan jangan pernah sekali-kali mencoba untuk berbuat keji di saat aku sedang berada di sini dengannya. Aku sama sekali tidak ingin istriku ketakutan dengan semua ulahmu itu!" Kata Andrew sinis kepada Frans. Frans mengangkat dagunya angkuh. "Owh.. jadi.. kau begitu peduli pada wanitamu sekarang?" "Berhentilah Frans, tidak bisakah kita bicara dengan baik tanpa harus kau sulut emosi Andrew seperti saat ini?" Kata Zack yang sudah kesal dengan tingkah Frans. Frans terkekeh. "Kau terlalu sentimen, Zack!" Zack menatap Frans geram. "Baiklah, aku tidak akan menyakiti siapapun di sini." Frans menoleh Andrew tajam. "Walaupun kau adalah musuhku," Andrew bergeming dan membalas tatapan tajam Frans padanya. "Kau memang musuhku, tapi.. bila melihat situasi kali ini, aku lebih bernafsu untuk menghabisi si Xander serakah itu!" Kata Frans penuh kebencian. "Dia begitu serakah sampai ingin menguasai harta ayahmu, dan juga ingin merebut posisi The Leader Of Mafia darimu." Lanjut Frans pada Andrew. "Bukankah kau juga sama sepertinya, menginginkan posisi The Leader Of Mafia yang saat ini masih bertahan dipegang oleh Andrew?" Tanya Zack meremehkan Frans. Frans mengepal erat kedua telapak tangannya mendengar ucapan Zack yang meremehkannya. Tidak! Saat ini ia tidak akan menyerang kedua saudaranya ini. Belum saatnya. "Tentu saja aku berbeda dengannya. Ingat Zack, si Xander itu ingin merebut dua posisi dari Andrew. Sedangkan aku? Aku hanya satu, aku hanya menginginkan kepemimpinan mafia." "Apa bedanya, dude!" Zack masih meremehkan Frans. "Kalian sama-sama perebut kekuasaan!" Frans memutar kedua bola matanya jengah dengan ucapan Zack. "Ya ya.. terserah apa katamu. Aku tidak peduli!" Andrew menatap Frans serius. "Aku ingatkan padamu Frans, kau juga jangan sekali-kali untuk mencoba melawan Xander seorang diri. Aku tau kau memang sama membenciku karena masalah kepemimpinan mafia, tapi.. aku tetap tidak akan setuju jika kau melawan dia tanpa diriku!" Kata Andrew yang membuat Frans menatapnya heran. "Apa kau mengkhawatirkanku?" Tanya Frans sedikit terkekeh. Zack menoleh Andrew tak percaya. Kenapa saudaranya itu mengucapkan kalimat seperti itu kepada Frans? "Tidak! Aku hanya tidak ingin kau mati sia-sia di tangan pria jahat itu." Jawab Andrew dingin. Frans terkekeh. "Tenang saja, brother! Jangan kau remehkan kemampuanku ini." Andrew memicingkan matanya menatap Frans di depannya. "Dan kau jangan merasa so pahlawan seperti itu. Mungkin kau memiliki kuasa yang lebih saat ini, tapi jangan lupakan soal Xander yang licik." Kata Andrew tajam. Jangan merasa heran bila Frans bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia saat ini, karena sejak pernikahan Yusuf ayah Andrew dengan Lucy, keluarga Kendrick memang kerap kali belajar bahasa itu. Kata Yusuf dulu, untuk membiasakan diri karena salah satu dari keluarga Kendrick saat itu kedatangan anggota baru yang memiliki keturunan dari Indonesia—Lucy. "Apa yang akan kau lakukan saat ini terhadap Xander?" Tanya Frans berubah serius. Andrew terdiam sejenak. "Entahlah, yang pasti saat ini aku akan terus menjaga keselamatan istriku." Ucap Andrew yang masih tajam, seolah tengah menyindir Frans. Frans tersenyum miring. "Kau menyindirku? Oh ayolah! Aku tidak akan menyakiti istrimu, brother! Meski aku tahu kau adalah musuhku, tapi tidak ada niat dalam diriku untuk membunuh bagian dari keluarga Kendrick. Tapi, itu tidak berlaku untuk kau dan Zack. Karena aku tidak akan segan-segan menghabisi kalian berdua jika kalian terus menghalangi jalanku." "Kurang ajar!!" Umpat Zack kesal dengan ucapan Frans. Frans terkekeh mendengar umpatan Zack. "Aku pegang ucapanmu Frans!" Andrew beranjak dari duduknya. "Jika setitik saja kau berani menyentuh apalagi menyakiti istriku, maka tidak segan-segan akan aku balas kau dengan hal yang lebih kejam yang tidak pernah kau duga." Ancam Andrew sebelum melegang pergi menuju kamarnya dan menyisakan Frans dan Zack yang masih duduk setia di tempatnya. Frans tersenyum misterius melihat kepergian Andrew. "Jangan berani-berani kau menusuk dari belakang!" Kata Zack tajam seraya ikut meninggalkan Frans di ruang tamu seorang diri. "Hahh.." Frans menyandarkan punggungnya di sofa sebari membuang nafasnya berat setelah kepergian kedua saudaranya. "Mereka pikir aku sekejam itu sampai akan melukai seorang wanita?" .......... Ceklekk.. Andrew membuka handle pintu kamar dan mendapati Raisa sedang sibuk membereskan tempat tidur, padahal tempat tidur itu sudah rapih sejak awal. Andrew menyuruh kedua ART wanita yang berada di dalam kamarnya untuk keluar dari kamar melalui gestur dagunya. Sekarang Raisa bisa mendengar derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya setelah kedua ART wanita itu keluar dari dalam kamar. "Kenapa kau membereskan ranjang yang sudah rapih?" Seketika Raisa menghentikan aktivitas merapihkan bantalnya ketika mendengar pertanyaan dari seorang laki-laki yang sudah menjadi suaminya, dan kini suaminya itu sedang duduk di sisi ranjang sebari menatap ke arahnya. "Hanya ingin." Jawab Raisa dingin seraya hendak pergi dari hadapan Andrew namun tidak jadi karena laki-laki itu mencekal lengannya. Raisa menatap Andrew kesal. "Lepaskan tanganmu dari lenganku," kata Raisa ketus seraya menunjuk tangan Andrew yang memegang lengannya melalui lirikan matanya. "Duduklah!" Ucap Andrew dingin tanpa mempedulikan nada bicara ketus dari istrinya tadi. Karena tak ada gerakan apapun, Andrew pun dengan terpaksa mendudukan Raisa di sampingnya hingga istrinya itu bersungut kesal. "Ih Dre! Kau ini kenapa suka sekali memaksa!!" Kesal Raisa yang membuat Andrew gemas namun tetap berusaha untuk ia tutupi perasaan itu. "Ada yang mau aku bicarakan," ujar Andrew tanpa mempedulikan protesan Raisa tadi. Raisa menatap Andrew heran. "Apa lag8 yang mau kau bicarakan?" Andrew menatap Raisa intens hingga tanpa ia sadari istrinya itu mulai salah tingkah. "Aku ingin membicarakan soal kita," Deg. Seketika detak jantung Raisa mulai kembali berdebar-debar setelah mendengar ucapan Andrew. Bahkan sekuat yang ia bisa, ia akan tetap terlihat biasa saja di hadapan laki-laki itu. Meskipun tanpa Andrew ketahui, sebenarnya saat ini Raisa sedang malu dan gugup. "Kenapa dengan kita?" Tanya Raisa lirih nyaris tak terdengar. Dengan memberanikan diri karena memang sudah sejak lama ia ingin mengatakan ini kepada istrinya, Andrew pun menghela nafasnya berat sebelum kembali bicara. "Tidakkah kau mau membuka kain cadarmu di hadapanku?" .......... Andrew tidak henti-hentinya tersenyum ketika sedang bersama dengan Zack di tempat pelatihan menembak. Bahkan saat sedang membidik dan menembak pun raut wajah Andrew yang biasanya terlihat tajam, kini berubah menjadi berseri-seri. Zack yang melihat perubahan sikap Andrew yang jarang ini, tak ayal ia merasa aneh sendiri. Bukan hanya Zack, Frans yang sejak tadi berdiri di samping Andrew sebari ikut latihan menembak, ia pun dibuat heran dengan tingkah saudara yang sekaligus musuhnya itu. "Apa kau sehat?" Tanya Frans menatap Andrew di sampingnya dengan tatapan penuh selidik. Andrew tak menghiraukan pertanyaan Frans. Ia malah terus fokus pada bidikkannya, meskipun sebuah senyuman samar tidak lutur dari bibirnya barang sedikit pun. Frans yang merasa diabaikan, ia pun beralih menatap Zack yang duduk di sebuah sofa berwarna hitam di dekatnya. "Apa dia selalu seperti ini saat sedang latihan menembak?" Tanya Frans pada Zack. Zack menoleh Frans. "Tidak, aku rasa ada yang salah dengannya." Andrew terus membidik dan menembak sasaran walaupun sebenarnya di sisi lain ia paham akan kebingungan kedua saudaranya itu. Tapi untuk saat ini, entahlah. Andrew tidak mau mempedulikan siapapun. Sungguh, hati Andrew merasa sangat bahagia pagi ini setelah kejadian semalam dimana ia bisa melihat wajah istrinya yang selama ini selalu tertutup oleh kain cadar. Bahkan malam tadi pun Raisa dengan sukarela mau melepas jilbabnya di saat sedang tertidur. Tentu Andrew senang dengan itu. Walaupun belum bisa tidur satu ranjang dengan Raisa sampai saat ini, tapi setidaknya istri cantiknya itu sudah tidak tertutup lagi dengannya. "Apa kau akan mengajari Raisa untuk berlatih menembak?" Tanya Frans yang mencuri atensi Andrew. Andrew langsung menoleh Frans yang saat ini tengah membidik sasaran. Mengajari Raisa menembak? "Untuk apa kau mau tahu soal itu?" Tanya Andrew yang kembali menatap Frans tajam. Frans meletakkan revolvernya di atas meja hitam sebelum menjawab pertanyaan Andrew. "Tidak, tidak untuk apa-apa. Aku hanya ingin tahu seberapa hebat kemampuan istri seorang mafia." Jawab Frans seraya melegang pergi meninggalkan Andrew dan Zack yang masih berada di tempat latihan menembak. Zack menatap Andrew yang kini sedang berdiri di hadapannya setelah kepergian Frans. "Apakah kau akan mengajari Raisa menembak?" Andrew terdiam. "Ku rasa itu perlu untuk berja.." "Aku sudah memikirkan itu sejak lama, tapi untuk saat ini tidak. Aku hanya akan mengajari Raisa menembak setelah kita sudah berada di rumah sendiri. Tidak di sini." Sela Andrew yang kemudian melegang pergi meninggalkan Zack sendiri. Zack terdiam setelah ia ditinggalkan oleh kedua saudaranya di tempat latihan menembak. Sungguh, saat ini Zack merasa sangat lelah dengan jalan hidupnya. Apakah ia akan terus hidup seperti ini dengan menjadi kawanan dari para mafia kejam, seperti Andrew misalnya? .......... Saat ini setelah sarapan di dalam kamar, Raisa sedang terduduk santai di atas ranjangnya sebari sibuk membaca buku-buku yang telah Andrew siapkan untuknya. Katanya buku-buku itu bisa berguna untuk mengurangi rasa bosan ketika terus terkurung di dalam kamar. Hah.. dasar laki-laki itu, selalu saja membuat Raisa naik darah. Tapi untuk saat ini entah mengapa Raisa merasa tidak ingin marah-marah kepada suaminya itu walaupun masih selalu berwajah masam dan berkata ketus padanya. Terlebih sejak kejadian semalam dimana suaminya itu memintanya agar membuka kain cadar yang selama ini menutupi wajahnya, Raisa merasa bahagia sekali. Bahkan sekarang ia sudah tidak sungkan-sungkan lagi untuk membuka jilbabnya saat suaminya itu sedang berada di dalam kamar ini. Walaupun ia melakukan itu agar bisa terbiasa, tapi tetap saja Raisa masih selalu merasa malu dan gugup bila sewaktu-waktu suaminya itu memperhatikannya dalam diam. "Nona, apa nona ingin memakan cemilan sebari membaca buku?" Lamunan Raisa seketika pecah saat seorang ART wanita yang berada di dalam kamarnya menawarinya sesuatu. "Uhm... tidak usah. Aku tidak ingin apapun, aku hanya akan membaca buku saja," jawab Raisa ramah. ART wanita itu pun tersenyum. "Baiklah nona, jika ada perlu sesuatu nona tinggal panggil saya." Raisa mengangguk seraya tersenyum. "Iya, terima kasih ya." ART itu kembali tersenyum mendapat perlakuan ramah dan baik dari Raisa yang notabennya adalah istri dari seorang mafia kejam. Para ART Andrew terkadang selalu berdo'a agar rumah tangga majikannya itu berjalan seperti rumah tangga pada umumnya, bahagia. Ceklek.. Suara handle pintu itu mau tak mau membuat Raisa langsung menoleh ke arahnya, dan ART wanita yang tadi pun segera pamit undur diri saat melihat kedatangan Andrew yang masuk ke dalam kamar. Memang sudah menjadi aturan dari Andrew jika dirinya dan Raisa berada di dalam kamar, maka para ART wanita yang berjaga di dalam kamar harus segera pergi. Biarlah dia dan istrinya saja yang berada di dalam kamar itu, toh Raisa juga akan aman jika sedang bersama Andrew. "Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Andrew saat melihat Raisa sedang membereskan beberapa buku yang berserakan di atas ranjangnya. Raisa mendengus mendengar itu. "Tidakkah kau melihat bahwa aku ini sedang membereskan buku? Kenapa kau masih saja bertanya?" Tanya Raisa ketus. Walaupun sejak kejadian semalam dimana Raisa sudah mau melepas kain cadar dan jilbabnya ketika sedang bersama dengan Andrew, tapi tetap sikap seolah saling membenci di antara keduanya tidak hilang. Andrew tak lagi mempedulikan Raisa. Kini ia lebih memilih mendudukkan bokongnya di sofa yang berada di dalam kamar sebari mulai membuka beberapa berkas dan laptop yang ia taruh di atas meja kecil yang berada di hadapannya. Andrew berniat untuk mengecek berkas-berkas kantornya yang selama ini sudah lama tidak ia urus. Mengingat ia menjabat sebagai seorang CEO di perusahaan ayahnya, hal itu terkadang membuat Andrew sedikit kewalahan dengan posisinya yang juga sebagai seorang mafia yang banyak memiliki musuh. Perusahaan Andrew akhir-akhir ini memang selalu di tangani oleh Darren, orang kepercayaannya yang bertugas untuk mengurus perusahaannya itu jika ia tidak bisa. Andrew sendiri di perusahaannya tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang mafia. Di samping pekerjaan halalnya, Andrew juga tetap menjalankan pekerjaan yang haram sebagai seorang mafia. Sementara itu seolah terlihat seperti sedang membaca buku padahal tidak, karena di balik buku yang Raisa pegang hingga menutupi wajahnya, wanita itu sesekali mencuri pandangan ke arah Andrew yang sedang sibuk dengan berkas-berkas dan laptopnya. Posisi Andrew yang duduk di hadapannya dengan mengarah padanya itu membuat Raisa menjadi bisa leluasa untuk menatap suaminya diam-diam. Raisa akui, bahwa Andrew yang sekarang sangatlah tampan dan lebih dewasa dibandingkan dengan Andrew yang masih kuliah dulu. Teringat dengan nama Andrew, Raisa pun langsung menutup buku yang ia pegang dan beralih menatap terbuka--tidak terhalang buku seperti tadi--Andrew yang masih sibuk sendiri. "Dre?" Andrew tak menghiraukan panggilan Raisa yang masih duduk di atas ranjang. "Dre?" Sebenarnya Andrew ingin menyahuti panggilan istrinya itu, tapi jika dipikir-pikir lagi jika panggilan itu malah mengundang perdebatan seperti sebelum-sebelumnya, lebih baik Andrew diam dan menunggu wanitanya menjelaskan langsung saja apa yang ia ingin wanita itu katakan. Raisa menatap Andrew kesal karena panggilannya diabaikan oleh suaminya itu. "Andre ih, kau ini mendengarku atau tidak?!" Andrew melirik Raisa dingin yang kini sedang menatap dirinya kesal. "Ada apa?" Tanya Andrew sebelum kembali menfokuskan lagi pandangannya pada berkas-berkas di hadapannya. Raisa menghela nafasnya untuk berusaha sabar dengan sikap suaminya yang kelewat dingin. Dengan kesal ia juga mulai beranjak dari ranjang, dan berjalan mendekati Andrew lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan suaminya itu. Tanpa Raisa ketahui dalam diam Andrew merasa sedikit heran dengan tindakan Raisa sekarang, kenapa istrinya itu malah mendekat? "Ada yang mau aku tanyakan dan kali ini aku minta agar kau menjawabnya dengan jujur." Kata Raisa tegas saat sudah duduk di hadapan Andrew. Andrew menatap Raisa dengan alis terangkat satu. "Apa?" Raisa memutar kedua matanya jengah mendapat pertanyaan singkat itu dari sosok suami sedingin es yang ada di depannya. "Katakan dengan jelas apa yang mau kau tanyakan, Raisa." Ujar Andrew yang kali ini memfokuskan dirinya kepada sosok wanita yang berada di depannya. "Tapi kau harus menjawabnya dengan jujur!" Andrew terdiam sesaat kemudian menjawab. "Baiklah," Raisa tersenyum miring mendengar itu. "Sebenarnya siapa namamu?" Andrew yang tadinya hendak menoleh pada berkas-berkasnya lagi, seketika ia urungkan niatnya itu setelah mendengar pertanyaan Raisa. Bahkan kini laki-laki itu menatap Raisa dengan serius. "Kenapa kau menanyakan sesuatu yang sudah kau ketahui?" Tanya Andrew dingin. Raisa berdecak kesal. "Kau ini! Tentu saja aku tahu namamu, tapi perlu kau ingat satu hal. Ada sebuah keanehan di sini." Andrew benar-benar terdiam kali ini, membiarkan Raisa berkata lebih lanjut. Ia sudah bisa menebak bahwa cepat atau lambat Raisa akan mengetahui siapa dirinya, termasuk soal nama aslinya. "Aku memanggilmu dengan panggilan Andre, tapi mengapa semua orang yang ada di sini memanggilmu dengan nama yang berbeda. Bahkan para pembantumu juga sama, mereka memanggilmu menggunakan nama yang berbeda dengan diriku ketika memanggil namamu." "Memang nama apa yang mereka panggil untuk diriku?" Tanya Andrew yang masih bernada dingin. Raisa membuang nafasnya kesal. Sungguh, kenapa Andrew ini sangat menguji kesabarannya? Untuk apa pula laki-laki itu malah balik bertanya? "Aku rasa kau sudah tahu soal itu tanpa perlu bertanya kepadaku. Mereka semua memanggilmu dengan nama Andrew!!" Jawab Raisa ketus. Andrew kembali terdiam. Tidak membalas perkataan Raisa. "Jadi.. sebenarnya siapa namamu?" Tanya Raisa menuntut. Andrew membereskan berkas-berkasnya sebelum kembali menjawab pertanyaan Raisa. "Kau sungguh ingin mengetahui itu?" Tanya Andrew menatap Raisa datar. Benar-benar menguji kesabaran, Raisa pun kembali menghela nafasnya berat sebelum menjawab pertanyaan suaminya yang sangat menyebalkan. "Iya, aku ingin tahu. Sangat." Jawab Raisa penuh penekanan. Melihat ekspresi kesal istrinya, terkadang hal itu selalu membuat Andrew ingin tertawa jika ia tidak ingat dengan rencana yang saat ini sedang ia lakoni. Jangan lupakan dengan rencana Andrew yang akan terus bersikap tidak baik terhadap Raisa, walaupun terkadang sikap kasih sayang selalu ia tampakkan kepada wanita itu jika sedang dalam situasi berbahaya. "Namaku memang bukan Andre." Raisa sedikit terkejut mendengar ucapan Andrew yang satu ini. "Nama asliku adalah Andrew Lingdon Kendrick. Saat ini kau sedang berada di kediaman keluarga Kendrick. Aku adalah asli orang Amerika dan tinggal di California. Aku menetap di Indonesia saat kuliah hanya karena mengikuti orangtuaku dan setelah orangtuaku bercerai dan ayahku meninggal, aku kembali lagi ke sini." Raisa dibuat menganga tak percaya mendengar perkataan panjang Andrew walaupun masih bernada dingin. Dan apa katanya tadi? Jadi selama ini dia bukan asli orang Indonesia dan.. ayahnya sudah meninggal? Orangtuanya pun bercerai? "Ku rasa jawabanku sudah mewakili semua pertanyaan yang terus bersemayam di otak cantikmu. Jadi jangan banyak bertanya lagi." Ucap Andrew beranjak dari duduknya dan langsung melegang pergi keluar kamar. Drak! Raisa tersentak dari diamnya ketika mendengar suara pintu yang ditutup kencang. Tepat setelah itu, ia terdiam dengan pikiran yang terus melayang pada ucapan suaminya tadi. Oh ya Allaah, sebenarnya drama hidup macam apa ini? Sungguh, Raisa baru pertama kali menghadapi hal serumit ini selain masalah uang sewa kontrakkannya dulu. .......... Setelah seharian sibuk berkutat dengan berkas-berkas kantornya, kini Andrew mulai meregangkan otot-otot tubuhnya yang dirasa pegal karena sejak tadi terus sibuk bekerja dengan duduk di sofa yang berada di depan kamarnya yang kini ditempati oleh Raisa. Di dalam kamar itu pun saat ini sudah tidak ada ART wanita yang berjaga karena larangan keras dari istri cantiknya yang memang susah untuk diberitahu. Sebari berkutat dengan tugas kantornya tadi, Andrew pun tak lupa selalu mengecek vidio cctv yang tersambung ke laptopnya dari dalam kamarnya yang sedang Raisa tempati. Walaupun Andrew membiarkan para ART wanita keluar dari kamarnya, hal itu bukan berarti membuat Andrew menjadi lengah dalam mengawasi dan menjaga istrinya. Masih ingat bukan bahwa saat ini ia masih berada di rumah musuhnya, Frans? Andrew segera membereskan berkas dan laptopnya yang kemudian ia masukkan ke dalam tas hitam. Dengan raut wajah lelah itu, Andrew membawa tasnya tersebut seraya berjalan memasuki kamarnya. Ceklekk.. Tanpa permisi Andrew tersenyum setelah masuk kamar dan mendapati istrinya telah tertidur lelap di atas ranjang. Rasa lelah tadi seolah terbayar dengan melihat istrinya yang begitu menghangatkan hatinya walau hanya dengan melihatnya seperti itu. Tak lupa juga dengan penampilan istrinya saat ini. Dikeremangan lampu tidur, Raisa terlihat sangat cantik meski hanya memakai baju piyama tangan dan kaki panjang. Dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan terbuka, sungguh Andrew merasa sangat bersyukur kepada Allaah karena telah mengirimkan bidadari cantik dan sholihah kepadanya seperti Raisa. Andrew berjalan mendekati ranjang dan berjongkok di sisi kanannya untuk bisa menatap wajah istrinya itu yang kini terlihat polos ketika sedang tertidur. "Kenapa kau itu bisa memiliki mulut yang pedas, Raisa?" Andrew bertanya lirih kepada Raisa yang sedang tertidur. "Bibir ini," Andrew mulai menyentuh bibir ranum Raisa. "Bibir ini selalu saja berkata ketus kepadaku." "Eunghh.." Raisa menggeliat kecil ketika merasakan ada sesuatu yang mengganggu tidurnya karena sentuhan halus jemari Andrew pada bibirnya. Namun hal itu tak sampai membuat wanita itu terbangun. Andrew tersenyum menatap wajah Raisa. "Maafkan aku jika aku selalu menyakitimu, tapi percayalah bahwa aku masih sangat mencintaimu, Raisa." Ujar Andrew lirih sebelum mengecup lama puncak kepala Raisa. Andrew kembali menatap wajah Raisa dengan senyuman. "Aku sangat bersyukur kepada Allaah, karena Dia telah menjodohkan kita. Padahal jika kau tahu, saat ini aku adalah laki-laki terburuk yang pernah kau kenal." Lirih Andrew. "Aku sangat bersyukur karena Allaah telah mentakdirkanmu untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anakku kelak," Anak? Seketika Andrew beralih menatap perut rata Raisa setelah ia mengucapkan suatu kalimat yang membuat hatinya berdesir hebat. "Semoga kita disegerakan untuk menjadi orangtua, sayang." Ucap Andrew lembut seraya mengusap halus perut rata Raisa yang padahal belum ada kehidupan apapun di dalam sana. .......... Raisa terusik dalam tidurnya hingga ia menggeliat dan mulai membuka kedua matanya. Dengan berusaha untuk duduk, Raisa mengucek mata sebelah kanannya persis sekali seperti anak kecil yang baru bangun dari tidurnya. "Jam berapa ini?" Raisa menolehkan kepalanya pada jam dinding yang menunjukkan masih pukul dua pagi. Setelah itu netra matanya tak sengaja menoleh ke arah sosok laki-laki yang sedang tertidur pulas di atas sofa dengan posisi yang menurutnya tidak baik. "Kasihan Andrew, seharusnya dia tidur di atas ranjang. Apakah aku harus mulai menyuruhnya untuk tidur satu ranjang saja ya?" Raisa menipiskan bibirnya setelah mengucapkan kalimat itu. Dirinya sudah memutuskan untuk memanggil suaminya itu dengan nama Andrew. Walaupun ia tidak tahu kenapa suaminya itu merubah namanya, tapi ia akan berusaha untuk mengikuti jalan hidupnya tanpa perlu banyak bertanya lagi. Raisa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lalu ia turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Malam itu Andrew memang benar-benar terlelap, biasanya ia bisa kuat untuk begadang, namun entahlah saat ini laki-laki itu merasa sangat lelah dan butuh istirahat. Setelah beberapa menit, Raisa keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sedikit basah karena ia baru saja mencuci wajahnya dengan face wash. Wanita itu segera mengambil handuk yang bertengker di kursi rias lalu perlahan ia mengelap wajahnya sebari duduk di kursi tersebut. Sekali lagi.. Raisa menoleh ke arah Andrew yang sama sekali tidak berkutik. Suaminya itu terlihat sangat nyenyak sekali dalam tidurnya, padahal posisi tidurnya sangat tidak nyaman. Benar, sepertinya Raisa nanti akan membicarakan perihal tidur satu ranjang dengan Andrew. Bagaimanapun juga ia merasa tidak tega melihat suaminya tidur dengan cara seperti itu. Setelah selesai dengan urusan wajahnya, Raisa bersiap kembali untuk naik ke atas ke ranjang dan berniat membaca sebuah buku di sana. Jika ia tidak sedang berhalangan, biasanya ia akan melaksanakan sholat tahajjud di jam segini, namun karena sekarang ia sedang kedatangan tamu bulanan, jadilah ia hanya membaca buku untuk mengisi waktunya yang tiba-tiba terbangun di malam hari. Ketika baru saja akan membuka buku, tiba-tiba pandangan Raisa beralih pada sebuah kaca jendela yang sedikit terbuka kain gordennya oleh angin. Di sana, di langit malam Raisa melihat ada sebuah rembulan cantik yang bersinar. Karena tertarik akhirnya Raisa memutuskan untuk menutup kembali buku yang hendak ia baca dan beralih segera turun dari ranjang untuk pergi ke balkon kamar. Raisa tersenyum senang saat ia sudah berdiri di ambang pintu balkon kamar dengan pintu yang masih tertutup namun kain gordennya sudah ia buka sempurna. Meski ia sangat ingin untuk berjalan keluar balkon tersebut, tapi ia tidak akan melupakan nasihat Andrew yang mengatakan bahwa dirinya jangan keluar ke balkon itu tanpa izinnya. Jadi dengan terpaksa Raisa hanya melihat rembulan di malam hari hanya melalui kaca pintunya saja. Masih menatap langit malam Raisa pun seketika teringat dengan pernikahannya dengan Andrew. "Apakah pernikahan kita akan bahagia, Drew?" Raisa bertanya monolog dengan nada lirih. Ia sangat berharap pernikahannya dengan Andrew akan sama seperti kisah pernikahan dua insan yang berbahagia pada umumnya. Meski ia selalu bersikap tidak baik kepada suaminya itu, tapi jauh di lubuk hati terdalamnya ia sangat mencintai Andrew. Suaminya. Netra mata Raisa seketika beralih pada sesuatu di bawahnya. Kening Raisa pun dibuat mengercit dan mulai memicingkan kedua matanya ketika melihat sesuatu yang menurutnya aneh. Malam itu juga tiba-tiba Raisa merasa tubuhnya menegang saat ia melihat terdapat sosok yang ternyata sedang melempari sebuah kotak ke halaman rumah Frans. Ya, saat ini tanpa sengaja Raisa melihat sesuatu di bawah sana. Ia melihat sosok laki-laki berbaju serba hitam dengan wajah yang tertutup oleh masker melempar sesuatu ke dalam halaman rumah Frans. Melihat sesuatu yang aneh itu, Raisa bisa menebak bahwa itu ada sesuatu yang berbahaya. Penyelundup. Dengan tubuh yang semakin menegang dan bergetar itu, Raisa berusaha untuk tidak berteriak dengan membungkam mulutnya sendiri. Sungguh, saat ini Raisa sangat takut dengan isi kotak yang laki-laki itu lempar ke dalam halaman rumah Frans. Apakah itu bom? "Apa yang sedang kau lakukan, Raisa?" Seketika Raisa terpelonjak kaget saat tiba-tiba mendengar suara sarat tajam itu dari arah belakangnya. Raisa pun menolehnya. "Andrew?" "Apa yang kau lakukan?" Tanya Andrew tajam yang kini sudah berdiri di hadapan Raisa. Raisa terlihat mulai gelagapan. "Uhm.. itu.. mm.. aku.. aku sedang.. hanya.. ingin.. melihat.. langit malam." "Untuk apa?" Tanya Andrew masih sarat akan ketajaman. Tidak taukah Raisa bahwa saat ini suaminya itu sedang khawatir padanya karena tiba-tiba istrinya itu bangun dan berdiri di dekat balkon kamar yang menurutnya berbahaya? "Mm.. untuk melihat.. aku.. aku hanya ingin Drew." Andrew sedikit terkejut ketika mendengar panggilan baru Raisa terhadapnya. Namun tidak, ia tetap harus fokus pada tujuannya saat ini. Mengintrogasi istrinya. "Untuk apa? Bukankah kau tahu bahwa itu ber.." Dor! Dorr!! Ucapan Andrew seketika terhenti saat mendengar suara tembakan dari arah bawah. Saat itu juga Andrew dan Raisa pun terkejut dan dengan sigap Andrew membawa tubuh Raisa ke dalam dekapannya. "Drew." "Diamlah!!" Andrew memeluk Raisa erat seraya pandangannya mulai condong ke bawah balkon kamar melalui jendela kamarnya. "Kurasa ada bahaya di sana." Tubuh Raisa seketika bergetar takut. "Tenang. Kau aman bersamaku," ujar Andrew yang paham akan bahasa tubuh Raisa. Andrew melerai pelukannya dan mulai menatap Raisa intens. "Dengarkan aku, turuti apapun yang aku katakan dan jangan berusaha untuk jauh dariku." Raisa membeku menatap wajah Andrew saat suaminya itu berkata dengan penuh penekanan sebari menatap intens kedua manik matanya. "Kau mendengarku 'kan, Raisa?" Tanya Andrew tajam karena melihat Raisa tak merespon ucapannya sama sekali. Sadar akan ketajaman Andrew, akhirnya Raisa menggangguk kaku. Sungguh, wanita itu merasa aneh dan takut dalam waktu bersamaan. Kenapa sejak ia hidup bersama Andrew ia menjadi lebih sering mendengar suara tembakan dan ancaman berbahaya? Bahaya? Tiba-tiba Raisa membulatkan kedua matanya saat teringat dengan apa yang baru ia lihat tadi di bawah halaman rumah Frans. Sementara Andrew yang melihat perubahan ekspresi wajah Raisa, ia menatapnya heran. "Ada apa?" Tanya Andrew. Raisa menatap Andrew khawatir. "Drew, tadi.. tadi.. aku lihat sesuatu di bawah," jawab Raisa lirih. Andrew menatap Raisa tegang. "Di bawah?" Andrew kembali mencondongkan kepala ke arah jendela kamarnya untuk melihat sesuatu sebelum kembali menatap wajah istrinya. "Ada apa di bawah?" Tanya Andrew tak sabaran. Raisa mulai kembali gugup dan tegang. "Aku.. aku.. gak tau.. tap.." Ceklek.. "Maaf tuan, tuan sudah ditunggu oleh tuan Frans dan Zack di ruang tamu," Ucapan Raisa terhenti karena dengan tiba-tiba salah satu anak buah Andrew membuka kamarnya, dan mau tak mau sepasang suami-istri itu menolehnya. Andrew memicingkan matanya. "Aku akan ke sana," Anak buah Andrew pun mengangguk dan keluar seraya kembali menutup pintu kamar. Andrew kembali menatap Raisa. "Lupakan apa yang tadi kita bahas, kita bicarakan itu nanti. Sekarang kau mesti ikuti dan patuh terhadapku. Kita akan ke bawah." Setelah ucapan bernada tegas itu, Andrew pun langsung menggenggam tangan Raisa erat untuk pergi ke lantai bawah bersamanya, tepatnya menemui Frans dan Zack yang sudah menunggunnya di ruang tamu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN