"Kemana kita akan pergi, Drew?"
Raisa menatap Andrew yang kini dilihat suaminya itu tengah sibuk mengetik sesuatu di keyboard ponselnya setelah menelpon seseorang tadi.
"Drew,"
"Kita akan pindah ke apartement yang sudah aku beli." Jawab Andrew akhirnya.
Raisa menatap Andrew tak percaya.
"Apartement? Maksudmu—"
"Sudahlah Raisa, kau tidak perlu banyak bicara dan bertanya. Turuti saja aku sebagai suamimu."
Raisa pun langsung terdiam setelah mendengar ucapan Andrew yang satu ini. Belum lagi saat lelaki itu menekankan bahwa dirinya adalah seorang suami. Raisa langsung saja speechless.
Melihat Raisa yang langsung terdiam begitu saja, walaupun masih dengan memegang ponselnya seolah tengah mengetik pesan. Mata Andrew masih sempat melirik ke arah istrinya itu. Dalam diam Andrew tersenyum. Mungkin jurusan andalannya kali ini adalah dengan kata "suami" agar istrinya itu mau menurut.
"Aku sudah membeli apartement. Aku tidak akan membiarkan kau dan orang-orangku tinggal di rumah musuhku." Kata Andrew kembali angkat bicara.
Raisa menatap Andrew. "Tapi Drew, Frans itu saudaramu, mana mungkin bisa kau berkata bahwa dia adalah musuhmu. Sekalipun memang benar jika Frans adalah musuhmu, dia tidak akan mungkin menyakiti kita. Terlebih kau saudara kandungnya."
Andrew terdiam mendengar penuturan Raisa. Baginya, Raisa bisa mengatakan hal itu karena istrinya itu belum mengetahui apapun tentangnya dan Frans. Apalagi permafiaan yang juga termasuk dalam kehidupan keduanya.
"Terserah apa katamu, yang jelas sekarang kita harus segera berkemas dan pergi dari rumah ini." Kata Andrew tak terbantahkan.
Raisa tak bergeming.
"Aku sudah menyuruh anak-anak buahku mempersiapkan pembelian apartement itu sebelumnya selama kita masih tinggal di rumah ini. Jadi kau tidak usah khawatir. Bereskan saja keperluanmu, lalu setelah itu kita pergi dari sini."
Raisa menatap kepergian Andrew dengan ekspresi wajah yang sulit terbaca. Selepas berkata demikian, Andrew langsung melegang pergi keluar kamar, meninggalkannya sendirian.
Entah sampai pernikahan ini akan terus berjalan, namun yang pasti Raisa tidak ingin bila ia dan Andrew bercerai dikemudian hari. Walaupun pernikahan ini atas dasar pemaksaan, tapi percayalah, bahwa Raisa sudah mulai kembali jatuh cinta kepada Andrew setelah ijab qobul terucap oleh lelaki itu.
..........
"Masuklah!"
Andrew membuka lebar pintu apartementnya untuk Raisa yang masih berdiri diam tak berkutik sedikitpun.
Mendengar itu Raisa mulai meniti seluruh apa yang bisa ia pandang saat itu.
"Jangan pandang apapun, masuklah!" Perintah Andrew lagi dengan nada sedikit gemas pada istrinya itu.
Karena tidak mau membuat Andrew marah, akhirnya Raisa menurut.
Sejak tadi Raisa tidak henti-hentinya tersenyum saat dirinya sampai di apartement. Bagaimana tidak tersenyum, pasalnya saat ini ia sangat bahagia sekali karena sekarang dirinya sudah tidak perlu memakai pakaian serba tertutup walaupun berada di dalam rumah seperti hari-hari sebelumnya. Sekarang Raisa sudah bisa memakai gamis dan jilbab rumahan dan tanpa memakai cadar.
Raisa bisa seperti itu karena memang di dalam apartement yang baru Andrew beli ini, hanya tinggal dirinya saja dan suaminya itu di tempat tersebut. Andrew pun memang sengaja tidak mengajak yang lainnya untuk tinggal di apartement itu karena ia ingin Raisa nyaman. Sejak awal Andrew sangat paham bahwa selama istrinya itu tinggal di mansion Frans, Raisa tidak merasa nyaman dengan keadaan di sana. Maka dari itu Andrew membeli apartement agar Raisa bisa lebih leluasa melakukan aktivitasnya walaupun berada di dalam rumah.
Dengan senyuman yang merekah manis itu, Raisa yang tengah asik menyiapkan makan malam untuknya dan suami, wanita itu sampai tidak menyadari bahwa kini suaminya itu sudah berada di dapur dan tengah memperhatikannya.
Dalam diam sebari berdiri dan bersandar di tembok dapur, dengan senyuman Andrew tengah asik memperhatikan Raisa. Wajah Raisa yang berkulit putih, cantik, manis, dan lucu itu tak sedikitpun Andrew lewatkan untuk terus diperhatikan.
"Eh?"
Raisa menyadari kehadiran Andrew, dan seketika ia bersemu malu di tengah aktivitas masaknya.
"Se-sejak kapan kau di sana?" Tanya Raisa sedikit gugup.
Andrew menegakkan tubuhnya dan mulai berjalan menghampiri Raisa.
"Masak apa?"
Tanpa menghiraukan pertanyaan Raisa, Andrew malah mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajan berisi makan yang sedang di masak di atas kompor.
Raisa menipiskan bibirnya. "Aku masak ayam kecap,"
Andrew menoleh Raisa sebentar sebelum kembali berdiri tegak di hadapan istrinya itu.
"Ayam kecap?" Andrew membeo.
Raisa mengangguk. "Iya ayam kecap, jangan bilang kau sudah lupa dengan masakan Indonesia yang satu ini?" Tuduhnya.
Andrew terkekeh ringan mendengar tuduhan istrinya itu, dan itu malah membuat Raisa mengerucutkan bibirnya.
Apa yang lucu coba?
"Bukan, bukan itu maksud ucapanku. Hanya saja, aku heran. Kenapa kau memasak itu?"
Seketika ekspresi wajah Raisa berubah sedikit tidak enak setelah Andrew bertanya seperti itu padanya. "Kenapa? Mm.. apa kau.. kau tidak menyukai ayam kecap?"
Raisa merasa tidak enak karena ia takut bahwa Andrew tidak menyukai menu masakannya saat ini.
Melihat ekspresi wajah Raisa yang berubah tak mengenakan, tanpa ragu Andrew tiba-tiba tersenyum hangat pada istrinya itu untuk mencairkan suasana.
"Bukan, bukan begitu juga. Aku suka ayam kecap. Hanya saja aku heran, kenapa kau mau memasaknya?"
Kali ini Andrew sudah mendudukkan bokongnya di kursi untuk makan di meja makan yang berhadapan langsung dengan dapur apartementnya. Sementara di sisi lain, mendapat pertanyaan seperti itu Raisa malah menjadi bingung.
Apakah aku boleh mengatakan alasannya bahwa aku memasak karena ingin menjalani peranku sebagai seorang istri?
Raisa masih merasa cukup malu jika harus membicarakan perihal rumah tangganya dengan suaminya itu, apalagi jika membahas soal hak dan kewajiban suami-istri. Tidak! Raisa masih merasa cukup malu untuk membicarakan hal sensitif itu.
"Kenapa kau tiba-tiba diam?"
Lamunan Raisa pun pecah saat suara suara berat Andrew kembali menggema di dalam ruangan itu.
"Ehm.. ti-tidak." Raisa sedikit gelagapan.
Alis Andrew terangkat satu menangkap sikap aneh dari wanita di hadapannya saat ini. "Jadi? Apa alasanmu tiba-tiba ingin masak seperti ini?"
Raisa tidak menjawab pertanyaan Andrew, melainkan malah mulai sibuk menyajikan makan malam di atas meja makan. Dan tanpa Raisa sadari perbuatannya itu tak luput dari perhatian Andrew. Sadar tidak sadar, hati lelaki itu menghangat melihat sosok wanita yang dulu pernah ia cintai kini tengah menyiapkannya makan untuknya dan yang paling membuat hatinya senang karena kini status wanita itu pun sudah berubah menjadi sosok yang ia butuhkan sejak dulu.
Zaujaty.
..........
"Mm.. Drew,"
Raisa berucap lirih lagi kaku saat suaminya itu sudah merapikan sofa yang berada di dalam kamarnya untuk dijadikan tempat tidurnya oleh lelaki itu malam ini.
Andrew yang mendengar panggilan lirih itu, mau tak mau ia menoleh istrinya dengan alis terangkat.
"Ya? Kenapa?"
Raisa menggigit bibir bawahnya setelah Andrew menyahutinya. Saat ini ia tengah berperang dengan hati dan pikirannya. Sudah sejak lama—termasuk ketika masih berada di mansion Frans—Raisa berpikir untuk tidur satu ranjang dengan suaminya itu. Selain karena merasa tidak suka melihat posisi tidak nyaman Andrew saat tertidur di sofa, Raisa juga kerap kali merasa bersalah karena masih membiarkan hal itu terjadi.
"Ada apa Raisa? Apa kau perlu sesuatu?" Andrew menatap Raisa heran. Mengapa wanita itu malah terdiam setelah memanggilnya tadi?
Masih berusaha untuk mengontrol perasaannya yang saat ini tiba-tiba saja gugup, Raisa juga terus berusaha menenangkan dirinya agar bisa berbicara dengan suaminya itu mengenai apa yang sedang ia pikirkan saat ini.
"Mmm... aku.. aku.."
Andrew semakin dibuat heran dan mulai geregetan dengan sikap Raisa yang meragu untuk berucap.
"Aku kenapa?" Tanya Andrew tak sabaran.
"Mmmm," Raisa menipiskan bibirnya dan mulai menatap lawan bicaranya itu dengan ragu-ragu.
"Bisakah kau tidur di ranjang ini saja?"
Tubuh Andrew seketika membeku setelah mendengar ucapan lirih dan ragu itu yang baru saja meluncur dari bibir Raisa. Lelaki nampak tidak mempercayai dengan apa yang baru saja ia dengar.
Raisa mau tidur satu ranjang denganku?
"Apa kau bilang?"
Andrew menjawab pertanyaan Raisa dengan pertanyaan kembali. Sungguh, ia hanya ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar tadi.
Melihat respon Andrew saat setelah dirinya berniat untuk mengajak lelaki itu agar tidak tidur di sofa lagi, tanpa Raisa sadari wajahnya mulai merah padam akibat menahan malu.
Raisa menatap Andrew ragu.
"Maksudku.. maksudku adalah.. ada baiknya untuk kau tidak tidur di sofa lagi. Itu.. itu tidak baik untuk kesehatan," lirih Raisa tak sepenuhnya berbohong. Toh alasan dirinya memerintah begitu memang karena alasan demikian.
Andrew masih diam di tempatnya ia berdiri sambil menghadap Raisa. Ekspresi wajah Andrew kali ini sulit untuk Raisa tebak. Namun tanpa Raisa tahu, saat itu Andrew tengah mengontrol perasaan bahagianya atas tawaran kecil istrinya itu. Walaupun hanya karena alasan kesehatan, Andrew tidak peduli. Yang terpenting adalah istrinya sekarang sudah mulai perhatian dan mau tidur seranjang dengan dirinya yang berstatus sebagai seorang suami untuknya.
"Baiklah," ucap Andrew setelah lama saling terdiam.
Andrew mulai berjalan kembali mendekati ranjangnya seraya membawa bantal dan selimut yang hendak ia gunakan untuk tidur di sofa tadi. Sementara Raisa yang melihat Andrew yang mulai mendekat, gadis itu sampai menahan nafasnya untuk menetralkan degup jantungnya yang semakin berdetak kencang.
Krett..
Bunyi decit ranjang itu yang menandakan bahwa kini Andrew sudah duduk di sisi kanan Raisa di atas ranjang yang sama.
Andrew menoleh Raisa yang masih duduk terdiam membeku di tempatnya.
"Tidurlah! Aku tidak akan macam-macam padamu walaupun kita tidur satu ranjang."
Andrew langsung membaringkan tubuhnya dengan tak lupa menutup tubuhnya itu menggunakan selimut dan mulai terlelap tidur setelah berkata seperti itu kepada Raisa.
Dengan hati yang tidak karuan, Raisa menoleh ke arah Andrew yang kini sudah tidur dengan memunggunginya. Ada perasaan kecewa dalam diri Raisa saat melihat itu. Hingga akhirnya setelah lama terdiam, Raisa pun ikut membaringkan tubuhnya di sebelah Andrew dan menarik selimut untuk kemudian terlelap tidur dengan posisi memunggungi Andrew.
Saling memunggungi.
Disisi lain, merasa wanitanya sudah ikut berbaring tidur bersama dirinya. Andrew langsung membuka kedua matanya yang tadi sempat terpejam. Lelaki itu menghela nafasnya saat sadar pernikahannya dan Raisa ini berjalan tidak normal. Tidak seharusnya suasana canggung ini terjadi di antara dirinya dan Raisa yang statusnya sudah menjadi suami-istri.
Bisakah kelak aku memelukmu setiap dalam tidurku?
..........
"Kau akan ke kantor?"
Raisa bertanya saat melihat Andrew sudah keluar dari kamarnya dengan setelan pakaian yang sudah terlihat rapi seperti orang kantoran pada umumnya.
"Iya, apa kau tidak keberatan jika aku tinggal sendirian di apartement?"
Andrew mendudukkan bokongnya di kursi makan.
"Tidak, pergi saja. Lagipula memang sudah menjadi tugasku bukan agar diam di rumah saat suami pergi bekerja. Baik itu sendirian atau sedang bersama saudara saat di rumah, wanita tetap harus di dalam rumah bukan?"
Raisa berkata tentang posisi suami-istri tanpa sadar kepada Andrew karena tengah menyajikan sarapan, dan itu sukses membuat Andrew tersenyum. "Baiklah, tapi sepertinya kau tidak akan sendirian siang nanti." Andrew langsung melahap sepotong roti setelah berkata seperti itu.
Raisa menatap Andrew bingung.
"Kenapa begitu, memangnya—"
"Siang nanti akan ada ART yang menemanimu di sini," sela Andrew sesantai mungkin.
Mendengar itu, seketika Raisa menatap Andrew tidak suka.
"Jadi kau masih mempergunakan ART?" Raisa bertanya kesal. "Drew, apartement ini tidak membutuhkan itu, aku masih sanggup untuk membereskan pekerjaan rumah,"
Raisa tidak suka ada seorang ART di dalam rumah tangganya. Ia benar-benar ingin menjalankan tugasnya sendirian dalam mengurus rumah tanpa perlu bantuan ART.
Andrew menghela nafasnya.
"Apartement ini luas, aku tidak mau kau kerepotan membereskan semuanya."
Raisa semakin menatap Andrew kesal, namun tetap terlihat lucu dimata lelaki itu.
"Drew, tapi ini 'kan tugasku!"
Andrew menatap Raisa heran. "Tugasmu?"
Raisa langsung tersadar akan ucapannya tadi. Sambil mengerjapkan kedua matanya lucu, Raisa tengah berusaha mencari alasan agar tidak menyangkut-pautkan kata tugas seorang istri ketika berbicara dengan suaminya itu. Ia masih gengsi untuk mengucapkan itu.
"I-iya, tugasku," jawab Raisa meragu.
"Tugasmu yang mana?" Andrew menyeringai jahil menangkap gelagat Raisa yang mulai terlihat gugup saat ini setelah ia bertanya begitu.
"Mm?" Raisa bercelos polos. "Ya.. pokoknya tugasku setelah menikah."
"Oh jadi kau—"
"Pokoknya apapun itu, jangan pernah bawa ART ke sini. Aku tidak setuju!" Sela Raisa tegas yang langsung melegang pergi meninggalkan Andrew di meja makan.
Raisa bersikap seperti itu agar Andrew tidak mendesaknya lagi dengan sebuah pertanyaan yang jawabannya sama sekali tidak ingin ia jawab.
"Hey! Kalau suami sedang bicara setidaknya dengarkan dulu, jangan main potong seperti itu." Teriak Andrew gemas melihat tingkah Raisa.
"Terserah!"
Druk!
Raisa berteriak membalas perkataan Andrew sebelum ia menutup pintu kamarnya dengan kencang.
Andrew terkekeh.
"Dasar! Tinggal bicara tugas sebagai seorang istri saja sulit."
..........
Andrew mengepal kuat telapak tangannya setelah melihat dokumen bukti detail kejahatan Xander dan Janson terhadap paman dan bibi istrinya.Zack yang duduk di hadapan Andrew, ia juga tengah merasakan amarah yang memuncak pada dua orang biadap itu—Xander dan Janson.
"Ku dengar dia akan membuat rencana lagi, Drew. Kita harus lebih ketat mengawasi mereka."
Andrew menatap Zack tajam. "Apalagi yang akan mereka rencanakan?!"
Zack menyandarkan punggungnya di sofa. "Entahlah, yang jelas aku merasa mereka sedang membuat rencana baru untuk menghancurkanmu."
"Mereka telah mengedar narkoba dan menjualnya banyak ke setiap negara. Sepertinya mereka tengah mengumpulkan pundi-pundi uang untuk merencanakan sesuatu yang entah apa itu."
Andrew terdiam mendengar itu, namun terlihat jelas bahwa saat ini lelaki itu tengah menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun.
..........
"Sebentar lagi kau akan menjemput mautmu, dude!"
Xander berucap sinis sambil menyeringai jahat menatap foto Andrew yang saat ini berada di genggamannya.
"Kau yakin besok dia akan mati?" Tanya Janson yang duduk di belakang Xander sebari meneguk segelas wine.
Xander membalikkan badannya menghadap Janson.
"Tentu saja, aku akan membuat dia tidak berkutik sama sekali. Aku sangat bernafsu untuk menghabisi saudara tiriku itu."
"Bagaimana caranya kau menghabisi dia?"
Xander berjalan mendekati jendela kamarnya yang menampakkan indahnya dunia di luar sana.
"Aku akan melakukan pemberontakan terhadap rumah Frans."
Uhukk!
Janson sontak langsung tersedak dalam minumnya setelah mendengar jawaban Xander.
"Apa kau bilang? Rumah Frans?"
Xander kembali menoleh ke arah Janson dengan smirk khasnya.
"Ya. Saat ini si bodoh itu tidak akan mengira bahwa aku akan menyilang menyerangnya terlebih dahulu sebelum Andrew."
Janson menatap Xander bingung. "Maksudmu? Ini.. sebenarnya bagaimana rencanamu?"
Xander tersenyum miring melihat kebingungan tangan kanannya itu.
"Aku ingin menjebak Andrew dengan mengecohnya melalui Frans,"
Janson terdiam mencerna ucapan Xander.
"Setelah pengecohan itu berhasil, aku ingin membawa istri cantiknya itu untuk berada dipelukanku."
Janson membulatkan matanya mendengar ucapan Xander yang satu ini.
"Istri? Maksudmu.. istrinya.."
Xander semakin tersenyum misterius melihat kecengangan Janson.
"Ya, aku merasa tertarik dengan Raisa. Istri kecil Andrew."