Hutan Begu (Part 5)

1132 Kata
Belasan Begu Ganjang menyerbu. Tubuh raksasa mereka menumbangkan pohon-pohon yang menghalangi. Erlangga menarik napas dalam-dalam. Tujuan quest Kutukan Hutan Begu sudah tertulis jelas : bertahan hidup. Artinya tidak ada keharusan baginya untuk mengalahkan monster-monster tersebut. Asalkan ia terus lari, menghindar, sembunyi, harusnya sudah cukup. Pemuda itu mengedarkan pandangannya untuk mencari celah. Namun monster-monster itu datang dari segala arah, menutup semua opsi untuk kabur. Ia memutar otak. Celah mana yang paling lebar? Celah mana yang bisa ia terobos? Selagi ia berpikir, para Begu semakin dekat. Ia tak punya banyak waktu. “Ah…” Ia menjentikkan jari. Sebuah ide melintas di benaknya. “Kenapa pusing?” Ia bertolak kencang ke arah para Begu Ganjang. Yeri yang menyaksikan itu pun tertawa, “Ihihihihi, mau bunuh diri, ya?” Satu Begu Ganjang menjulang menghadang Erlangga. Ia menekuk lutut depannya, lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Begitu sang pemuda memasuki jarak serangnya, ia menghajar bumi dengan telapak tangannya. Suaranya hantamannya menggelegar, seolah gunung baru saja runtuh. Yeri tertawa histeris, “Selesai sudah.” Namun, saat sang Begu Ganjang mengangkat tangannya, pemuda itu melesat seolah tak pernah terjadi apa-apa. Hit Pointnya masih utuh. Ia berlari lewat kolong di antara kedua kaki Begu Ganjang. Butuh waktu bagi sang monster memutar tubuhnya mengikuti pergerakan Erlangga. Pemuda itu memasuki hutan, bergerak di antara pepohonan untuk menyamarkan diri. “Kenapa… kenapa… kenapa nggak mati… kenapa…” gumam Yeri dengan mata mendelik. Kedua kakinya terangkat dari tanah, lalu ia melayang mengikuti Erlangga. Para Begu Ganjang mengejar di belakang pemuda itu seperti bencana alam. Mereka memporak-porandakan tanah yang mereka pijak. Meski pergerakannya terlihat lambat, tapi langkahnya sangat panjang. Erlangga was-was. Bagaimana cara bertahan dari makhluk-makhluk itu selama dua puluh empat jam? Opsi pertama yang terpikir olehnya adalah keluar dari hutan. Tapi, kemungkinan sistem akan mencegahnya melakukan itu. Opsi berikutnya adalah terus berlari. Masalahnya ia tak yakin apa staminanya kuat. Medan hutan ini terlalu sulit karena kontur tanahnya tidak rata. Banyak batu besar dan batang-batang kering berserakan. Belum lagi makin jauh ia berlari makin banyak Begu Ganjang yang mengejar. Monster-monster yang tadinya tersebar kini ikut mengepungnya setelah mendengar seruan dari yang lain. Pemuda itu harus mengubah arah tiap kali ada Begu Ganjang yang datang dari depan. Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Stamina Erlangga goyah. Napasnya tersengal. Lututnya panas berdenyut. Ia mendapat status ailment [Fatigue]. Hit Point nya mulai terkikis. “s**t—s**t—s**t—” Akhirnya ia melambat. Dari lari, ia jadi berjalan, lalu berhenti total. Ia menghirup udara keras-keras untuk mengisi paru-parunya dengan oksigen. Ia melirik ke belakang melalui ujung matanya. Monster-monster itu tidak berhenti. “Nyerah? Nyerah?” Yeri menggoyang-goyang kepala di sampingnya. Erlangga terlalu lelah untuk bicara. Tapi ia memikirkan sesuatu. Ia mengulang memorinya. Pernah ada satu situasi yang mirip dengan sekarang. Hanya saja saat itu ia bukan sebagai yang dikejar, tapi yang mengejar. Waktu itu ada tikus masuk kantor. Semua orang heboh memburu binatang kecil tersebut. Mulanya biasa saja saat sang tikus berlari menjauhi orang-orang. Bencana terjadi ketika ia tiba-tiba berbalik arah menuju orang-orang. Semua langsung panik. Ada yang lompat menghindar, ada yang bertubrukan, bahkan ada yang sampai terjatuh. Dan sang tikus selamat berkat kekacauan tersebut. Erlangga melihat para monster yang mengarah padanya. Jumlahnya puluhan. Ia lari lagi, kali ini menuju mereka. Begu Ganjang paling depan langsung menggaploknya penuh nafsu. Pemuda itu rata dengan tanah. Namun, hal itu sudah diperkirakan. Begitu hidup kembali, ia segera memposisikan diri tepat di bawah kedua kaki Begu Ganjang tersebut. Monster-monster yang lain segera mengangkat tangan untuk menyerang. Yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan yang diharapkan Erlangga. Monster-monster itu malah menghantam si Begu Ganjang yang berdiri di atas Erlangga. Monster itu pun mengamuk, lalu menggebah teman-temannya. Terjadi pergulatan di antara mereka. Erlangga memanfaatkan kesempatan ini. Ia bermanuver di antara kaki-kaki yang sebesar batang pohon cemara itu. Petualang biasa mungkin langsung mati begitu terinjak, tapi tidak dengan Erlangga. Setelah terinjak ia bisa hidup lagi dan lagi. Selanjutnya ia mencari sebuah momen di mana ia bisa memasuki titik buta dari setiap monster. Itu adalah saat mereka lebih fokus terhadap satu sama lain ketimbang Erlangga. Pemuda itu pun melesat menjauhi kerumunan. Nyawanya tinggal lima. Ia berlari, berlari, dan berlari. Ia sembunyi di balik sebuah pohon yang cukup besar. Ia punya satu teori menarik. Ia yakin sekali monster-monster itu tak memiliki radar untuk mendeteksinya. Sejak mereka berlari mengepungnya di kotak kayu, sampai sekarang, mereka hanya mengandalkan indera penglihatan. Toh kalau mereka bisa mendeteksi Erlangga menggunakan cara lain, harusnya dari awal mustahil baginya bisa menguntit mereka. Artinya, asal ia bisa lolos dari pandangan mereka satu kali saja, sisanya jadi lebih mudah. Seperti tikus yang begitu masuk ke antara perabotan bisa seolah menghilang dari peredaran. Ia mengintip para Begu yang sedang kebingungan mencarinya. Bibirnya tersenyum. “Berha—" “Heeeeei! Dia di sini!!!” Yeri berteriak. “Huh?!” Erlangga melupakan variabel tersebut. Sejak tadi, hantu gadis itu terus menempel padanya. Dan sekarang menjadi anak menyebalkan yang mengacaukan permainan petak umpetnya. Para Begu Ganjang yang tadinya sudah kehilangan jejak, sekarang semua menatap ke arah Yeri, yang menunjuk tempat pesembunyian Erlangga di balik pohon. “Curang!” desis Erlangga. Yeri cuma tersenyum mengerikan. “Cih!” Erlangga tak punya pilihan lain. Ia lari lagi. Kalau ia membuat jarak yang lumayan jauh, mungkin ia bisa lepas dari pantauan. Namun, hantu yang mengikutinya tak mau menutup mulut. Yeri terus berteriak-teriak seperti burung beo. “Pergi!” Erlangga menampar Yeri, tapi tangannya tembus. Tubuh gadis itu transparan. “Kau~ tak~ bisa~ memukulku~” ledek gadis tersebut sambil menjulurkan lidah. Erlangga menggeram. Ia harus memutar otak. Mencari jalan keluar. Ia tak bisa membiarkan hantu itu terus mengikutinya. “Tadi… kamu bilang… cuma kamu yang… nerima kutukan… kenapa..?” tanya Erlangga sembari ngos-ngosan. “Hah?” “Kalau nggak salah… gara-gara mayatmu… yang dimasukin ke kotak… kayu… ya?” “Iya. Terus?” “Itu dia…” “Apanya?” “Kalau kutukannya kuangkat… kamu jangan ngikutin aku lagi ya…” “Ca—caranya—?” Erlangga berlari lagi. Tapi kali ini ia balik arah menuju ke tengah hutan. Ke tempat kotak kayu tadi. “Kau mau apa?!” teriak Yeri. “Woooi dia di sini! Cepat tangkap!” Pemuda itu sudah lumayan memahami area ini berkat [Mental Map] dalam otaknya. Ia bisa dengan mudah mengambil rute tercepat menuju kotak kayu. Tempat itu juga tidak dijaga sebab semua monster sibuk mengejarnya. Begitu tiba, ia melihat benda itu masih di sana. Ia mengintip ke dalam. Rasa mualnya muncul lagi. Namun, ia membulatkan tekad. “Kau mau apa?!” ulang Yeri untuk yang kesekian kali. “Apa lagi…” Pemuda itu bernapas lewat mulut, lalu memasukan tangannya di antara ketiak jasad tersebut. Ia menariknya keluar. Kemudian memanggul sang gadis di bahunya. “Kamu bilang karena mayatmu dimasukin ke kotak kayu ini, kamu terjebak jadi penunggu hutan ini. Jadi sekarang aku mau ngeluarin kamu dari sini!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN