Hutan Begu (Part 6)

1059 Kata
Mata Erlangga berair. Jasad di punggungnya terasa kaku dan dingin. Anyep. Seperti menghisap panas tubuhnya. Ia tak tahu kalau temperatur tubuh manusia bisa seberbeda ini saat sudah kehilangan nyawa. Pemuda itu mengerahkan tenaga ekstra. Kalau saja bukan karena STR yang sudah ditingkatkan, mustahil ia mampu berlari sambil membawa beban seperti ini. Para Begu mengamuk di belakangnya. Mereka tahu kutukannya telah dicabut. Tanpa arwah penasaran yang dijebak dalam kotak kayu, tidak akan ada penjelajah yang bisa dipancing ke hutan ini. Mereka mengayun-ayunkan tangannya semakin liar, menghempas semua yang menghalangi. Sebagian besar pohon di sana sudah rata dengan tanah. Lebih sadis dari pembabatan hutan yang dilakukan korporasi kapitalis rakus. Hit Point Erlangga perlahan berkurang. Meski begitu ia tak bisa berhenti. Ia memaksakan dirinya hingga titik Hit Point Penghabisan. Begitu nyawanya nol, tubuhnya ambruk. Lalu ia bangkit lagi. Tatapannya menyala. Ia mendorong bumi, memaksa dirinya berdiri. Yeri ternganga menyaksikan kegigihan tersebut. “Nga—ngapain susah-susah?” ujarnya terbata. “Aku nggak mau ngegantiin kamu,” jawab Erlangga. “Tapi aku juga mau ngebebasin kamu.” Pemuda itu berlari lagi. Para Begu Ganjang sudah tepat di belakangnya. “Aaaaaaaaaa!!!” Ia memaksa kedua lututnya melampaui titik batas maksimal. Melewati segala halang rintang. Menuju tepian hutan yang akhirnya terlihat. Tiba-tiba sebuah notifikasi muncul. [Anda tidak bisa meninggalkan Hutan Begu selama Quest Rahasia masih berjalan] Menduduk tubuhnya terhenti, seolah ada dinding energi tak kasat mata yang menghalanginya. Artinya, ia sudah sampai. “Aku tahu!” serunya pada si notifikasi. “Yang penting cewek ini bisa lewat!” Ia membuat kuda-kuda, lalu melempar jasad Yeri keluar batas hutan. Berhasil. Lalu ia jatuh terduduk, bersandar pada dinding tak kasat mata yang menahannya. “Gimana?” tanyanya pada sang arwah penasaran yang terdiam mengamatinya. “Sekarang kamu udah bebas, belum?” Yeri membuka mulutnya, tapi ia tergagap, “Ak… aku…” “Coba sekarang keluar… bisa nggak?” Gadis itu melayang. Ia memejamkan mata saat hendak menyentuh dinding tak kasat mata itu. Namun, ia berhasil. Tubuhnya bisa lewat. Seketika air mukanya berubah. Kemarahan dan frustasi yang terpendam itu sirna. Seakan beban berat baru saja diangkat dari dirinya. “Aku… aku… bebas…” “Haha!” tawa Erlangga puas. “Sekarang gimana? Jangan bilang kamu masih mau ngehantuin saya, ya!” “Ngg…” Yeri menggeleng-gelengkan kepala. “Ma—makasih…” “Sip, sama-sama.” Erlangga mengacungkan jempol. Tapi itu baru satu masalah yang terselesaikan. Di sana, para Begu Ganjang yang berlomba-lomba sudah hampir mencapainya. “Kalau gitu aku pergi dulu!” Pemuda itu berlari lagi. Quest belum berakhir. Masih ada berjam-jam sebelum batas waktu yang ditentukan. Tapi setidaknya kini tak ada lagi yang mengganggunya. Ia menatap gulungan Begu Ganjang yang seperti tsunami. Bukan masalah. Meski mati berkali-kali, tapi cooldown skill Sembilan Nyawa juga terus beregenerasi. Ia bermain tikus-tikusan sekali lagi. Ia menyelinap di antara kaki-kaki Begu, membuat mereka bertikai satu sama lain, lalu sembunyi saat tak ada yang memperhatikan. Ia memposisikan diri agar tak terlihat tapi bisa terus mengawasi. Saat monster-monster itu bergerak, ia ikut bergerak. Saat mereka diam, ia ikut diam. Ketika malam tiba, ia membuka matanya semakin lebar. Ia tak mau kantuk sesaat menjadi akhir dari segalanya. Tetapi kabut putih di hutan ini rupanya tak cuma menghalangi pandangannya. Para Begu pun sepertinya jadi kesulitan. Mereka cuma mondar-mandir tidak jelak, tak sadar bahwa mangsanya ada di sekitar. Saat fajar menyingsing, jumlah Begu Ganjang sudah berkurang. Tampaknya mereka menyebar untuk mencari Erlangga. Lalu— [Selamat! Anda berhasil bertahan hidup di Hutan Begu selama 24 jam!] —notifikasi itu muncul. Tiba-tiba para Begu Ganjang berhenti mencari. Mereka diam mematung, seolah sedang menerima instruksi yang diberikan melalui sinyal sistem. Kemudian mereka kehilangan sifat agresifnya. Suara gemuruhnya jadi lebih kalem. Lalu mereka berpencar, menuju daerah patroli masing-masing. “Akhirnya—” Erlangga menjatuhkan diri di tanah. Ia berbaring telentang. Otot di sekujur tubuhnya berdenyut akibat ketegangan dua puluh empat jam non-stop. Ia bahkan tak sempat buang air. “Intens banget…” [Anda mendapatkan 1 Senjata Legendaris] Notifikasi itu langsung membuat rasa lelah Erlangga sirna. Ia melompat bangun. Sebuah kotak kayu termaterialisasi di depannya. Kali ini ukurannya kecil, jadi harusnya tak mungkin berisi jasad—kecuali si pemberi Quest memiliki selera humor yang buruk dan memasukkan kepala manusia. Pemuda itu membuka kotaknya dengan bernafsu. Cahaya menyilaukan keluar dari dalam. Begitu cahayanya redup, ia bisa melihat sepasang senjata berjenis katar yang bilahnya terbuat dari jari-jemari Begu Ganjang yang kukunya menghitam. [Jari Begu] [Type : Claw] [Element : Ghost] [Rarity : Legendary] [Attack : 40] [Special Effect : Ghost Hand (Active Skill)] “Iyeuh…” Erlangga mengangkat benda itu. Bentuknya menjijikkan sekali. Tapi ia jelas tak salah lihat saat membaca efek spesialnya. Rasanya tidak heran jika item ini tergolong sebagai senjata legendaris. “Lumayan lah. Disyukuri saja.” Ia mengenakan senjata tersebut. Sekarang ia tak perlu lagi menggaruk monster dengan tangan kosong. “Oke, petualangan selesai.” Tak ada lagi yang perlu dilakukan di tempat ini. Ia berjalan keluar dari Hutan Begu. Sebuah pengalaman yang luar biasa. Tapi tiba-tiba ia teringat pada Yeri. Jadi, sebenarnya gadis itu hantu atau NPC? Jika ia mencari jasadnya, mungkin ia bisa mengetahuinya. Kalau gadis itu adalah NPC, harusnya jasadnya akan menghilang karena Quest Rahasianya sudah selesai. Tapi kalau jasadnya masih, artinya Yeri memang… “Hmm…” Pemuda itu memutuskan untuk tak mencari tahu. Resikonya terlalu besar. Bagaimana kalau jasad yang ia gendong-gendong kemarin adalah jasad sungguhan? Perutnya mual lagi. Ia berlari kecil agar bisa cepat keluar. Saat mencapai tepi hutan, sinar mentari yang hangat menyambutnya. Ia memicingkan mata menatap pemandangan yang terhampar luas. Rupanya ia sedang berada di puncak bukit, salah satu dari jajaran perbukitan yang mengelilingi sebuah danau ekstra luas. Permukaannya tenang dan biru, tapi mungkin menyimpan monster ganas di baliknya. Lalu di tengah-tengah danau tersebut ada sebuah pulau—daratan hijau. Dan di tengah pulau, ada sebuah gunung batu yang lumayan besar. “Apa di sana ada dungeon?” Ia menerka. Tapi kalaupun ada, seharusnya bukan Dungeon Medan. Sebab yang namanya danau raksasa dengan pulau di tengahnya di Zona Sumatera Utara, apalagi kalau bukan Danau Toba? Sepertinya ia sudah salah ambil jalan di persimpangan. Ia terdampar sampai sejauh ini. Selalu begitu. Mungkin tidak ada salahnya memeriksa isi dungeon tersebut. Hanya saja untuk saat ini ia sudah muak. Ia memilih duduk santai menikmati pemandangan. Ia perlu liburan untuk melepas stres. Toh ia juga belum pernah ke Danau Toba di dunia nyata. Petualangan berikutnya bisa menunggu.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN