Meski Erlangga bilang bukan tanggung jawabnya, ia tak bisa meninggalkan Desa Pertama begitu saja. Setidaknya ia harus mengajari penduduk cara memancing, agar kelak mereka mampu mencari ikan sendiri.
Ia mengumpulkan siapa-siapa yang mau belajar berburu. Hasilnya mengejutkan. Ada setidaknya satu lusin orang datang, yang sebagian besar merupakan lansia dan orang sakit. Rama dan Sinta termasuk di antaranya.
Lalu ia mengajak mereka ke sebuah padang rumput yang dihuni monster Bola Jeli. Ia sendiri baru tahu ada area seperti itu di dekat desa saat berkeliling. Memang monsternya lemah dan tak memberi banyak exp, tapi bisa digunakan untuk membiasakan diri dengan pertarungan.
“Pertama kita naikkan satu atau dua level untuk melihat apakah peningkatan parameter mempengaruhi kemampuan fisik kalian!” jelas Erlangga seperti seorang petugas sosialisasi masyarakat. “Ayunkan saja senjata kalian. Jangan takut luka, karena serangan mereka nggak sakit. Yang penting hati-hati jangan sampai Hit Point kalian habis. Kalau udah tinggal setengah, cepat-cepat teriak minta tolong, nanti saya bantu.”
Mereka berburu di sana seharian. Begitu ada yang naik level, Erlangga bertanya jenis akik apa yang dimilikinya. Kemudian ia mengarahkan parameter orang tersebut agar sesuai dengan skill yang dimiliki.
Rama memiliki akik Giok Lumut, sama seperti Jono. Keunggulannya ada di kekuatan, kecepatan, dan kemampuan untuk mengejar musuh. Maka Erlangga menyarankan anak itu meningkatkan STR, AGI, dan DEX.
Sementara Sinta memiliki akik Pancawarna dengan mayoritas warna merah. Skill-skill yang dimilikinya adalah sihir-sihir berelemen api. Erlangga pun memberinya petunjuk agar meningkatkan INT dan DEX.
Dengan menyesuaikan parameter status dan skill yang dimiliki, penjelajah bisa memaksimalkan potensi kekuatannya.
Selain itu Erlangga juga mengamati keadaan para lansia antara sebelum dan sesudah meningkatkan parameter status. Dugaannya benar. Meski awalnya ringkih, sekarang mereka terlihat memiliki stamina yang lebih baik.
Pemuda itu mengambil hipotesis demikian setelah melihat Tahir si tua bangka. Di dunia nyata, harusnya Tahir tak bisa bergerak selincah itu kecuali ia seorang ahli beda diri.
Keesokan harinya mereka berburu ke hutan. Erlangga menyuruh mereka berburu Cempaka Kuning yang lebih mudah dilawan ketimbang Cempala Kuneng—karena terus terbang tidak jelas ke sana kemari.
Pertarungan tak harus dilakukan satu lawan satu. Ada sebuah fitur yang diberikan sistem, yaitu [Party] yang memungkinkan penjelajah membentuk kelompok. Erlangga membagi orang-orang menjadi tiga party, masing-masing party terdiri dari empat orang. Tiap kelompok ditugaskan mengeroyok satu Cempaka Kuning dari empat arah. Begitu ada yang Hit Pointnya berkurang sampai lima puluh persen, ia diharuskan menjauh sementara sisanya menyerang terus hingga sang monster tewas. Apabila mereka mengeroyok secara biasa, exp akan dibagi sesuai jumlah kerusakan yang diberikan tiap orang. Namun, fitur [Party] memungkinkan mereka berbagi exp secara sama rata.
Saat Hit Point sudah rendah, mereka harus istirahat sebab Erlangga belum menemukan item khusus yang dapat memulihkan Hit Point. Saat membongkar Peti Harta milik Jono—seharusnya peti itu tak bisa dibuka orang lain, kecuali sudah diberi izin atau pemiliknya meninggal—ia menemukan sebuah ramuan [Potion]. Namun, kelihatannya item tersebut sangat langka karena Jono pun lebih memilih menyimpannya ketimbang dibawa saat berhadapan dengan Erlangga. Ia menyerahkan item tersebut pada Ross agar digunakan di saat yang benar-benar genting.
Setelah terbiasa melawan Cempaka Kuning, selanjutnya mereka berburu Cempala Kuneng.
Beberapa hari kemudian, Erlangga memimpin rombongan memasuki dungeon. Di sana ia memperkenalkan strategi berburu pada penduduk desa yang tidak familiar dengan sistem game.
Ada yang disebut dengan [Role], yakni tugas tiap orang dalam sebuah party perburuan. Secara umum Role dibagi menjadi Tank, Fighter, Mage, Assassin, Marksman, dan Support.
Tank adalah penjelajah yang memiliki Hit Point dan pertahanan yang tinggi sehingga bertugas di garis depan. Ia bertahan dari serangan monster untuk melindungi rekan timnya.
Fighter adalah penjelajah yang memiliki daya serang tinggi dan pertahanan seimbang. Ia bertugas mengurangi Hit Point monster dengan serangan-serangannya. Saat dibutuhkan, ia juga bisa menjadi cover menggantikan Tank.
Mage adalah penjelajah yang memiliki daya serang sihir tinggi. Serangannya bisa ditujukan pada target tunggal maupun area. Meski begitu pertahanannya rendah sehingga ia harus berada di posisi belakang.
Assassin adalah penjelajah yang memiliki daya serang dan kemampuan penetrasi tinggi. Ia dapat menjadi pengawas, atau mengendap-endap lalu membantai musuh bertipe Mage atau Support yang berada di garis terjauh lawan.
Marksman adalah penjelajah yang menggunakan senjata jarak jauh. Ia bisa menempatkan diri di posisi aman, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi pada lawan.
Support adalah penjelajah yang memiliki skill-skill pendukung. Meski ia sendiri memiliki serangan dan pertahanan rendah, tapi skillnya mampu meningkatkan kekuatan rekan sekaligus melemahkan kekuatan lawan.
Berdasarkan role-role tersebut, Erlangga seharusnya tergolong role Assassin. Skillsetnya lebih mengutamakan mengendap-endap ketimbang pertarungan terbuka.
Sementara Rama adalah Fighter, sama seperti Jono.
Dan Sinta merupakan Mage.
Erlangga membagi posisi anggota party menjadi Tank dan Damage Dealer—pemberi serangan. Ia mengajarkan bagaimana Tank harus fokus bertahan agar rekan timnya tak terluka, sementara Damage Dealer harus menghabisi monster secepat mungkin.
“Ayo kita mulai,” ia memberi aba-aba pada kelompok Rama. “Waspadalah, ada dua Kelelawar Goa!”
“Ya!”
Seorang nenek memulai rapalan mantera untuk meningkatkan pertahanan Rama.
Kemudian Rama mengaktifkan skill [Earh Splatter]. Ia menerjang sang salah satu monster hingga membentur tanah.
“Sinta!” seru Erlangga. “Sekarang!”
Anak perempuan itu lekas merapal mantera, lalu melepaskan tembakan bola api—kali ini tak mengenai Rama. Akurasinya lebih tinggi sementara si anak laki-laki pun membuat jarak agar tak ikut terbakar.
Rama menyerang Kelelawar Goa yang satunya agar perhatian monster itu juga tercuri ke arahnya. Dengan kedua monster menyerangnya, orang-orang di belakangnya menjadi aman.
Seorang kakek ikut menyerang menggunakan ketapel, sementara Sinta melancarkan sihir lagi begitu cooldownnya selesai.
Tak perlu waktu lama, kedua Kelelawar Goa itu pun tumbang.
“Yes! Berhasil!” seru Rama yang tak percaya dirinya benar-benar mengalahkan monster itu, monster yang dua minggu lalu membuatnya berlari panik.
“Selamat, kerja bagus! Lihat, kalian bisa!” ucap Erlangga, meningkatkan moral penduduk desa.
Kini mereka tahu, mereka sendiri pun memiliki kekuatan. Yang menahan mereka selama ini adalah rasa takut.
Perkembangannya pun cukup cepat, meski tak secepat Erlangga yang bisa bertarung dengan sembilan nyawa.
Setelah terbiasa dengan Kelelawar Goa, mereka melawan Manananggal. Monster itu memiliki level yang berbeda, tapi bukannya tak bisa dikalahkan. Skill Rama sangat berguna untuk menjatuhkan makhluk tersebut, sementara Sinta juga mempelajari skill baru yaitu [Fire Wall]. Ia bisa membuat dinding dari kobarang api yang melindungi party dari serangan Manananggal dan bisa digunakan untuk mengurung monster tersebut. Penduduk lain juga mulai mempelajari skill-skill yang sangat berguna.
Dari lantai dua, lanjut ke lantai tiga yang dihuni banyak sekali Manananggal. Di sana sesekali Erlangga turun tangan bila ada terlalu banyak monster yang mengepung. Tapi karena monsternya banyak, mereka juga bisa naik level lebih cepat.
Terkadang ada Manananggal Kuno yang memiliki kekuatan dahsyat. Di saat seperti itu, Erlangga mengambil alih posisi sebagai Tank, sementara yang lainnya memberi dukungan dari garis belakang. Erlangga penasaran apakah Jono biasanya berburu daging kelelawar sampai sini atau cuma berhenti di lantai dua.
Di ujung lantai tiga ada sebuah gerbang raksasa yang terbuka. Namun, ruangan itu kosong. Tebakan Erlangga itu merupakan sarang dari bos dungeon yang sudah ditaklukan oleh penjelajah-penjelajah generasi pertama. Ia tak bisa membayangkan perjuangan seperti apa yang harus dilalui pendahulu-pendahulunya. Mungkin tak sedikit yang gugur dalam dungeon ini, mengingat ia sendiri mati berkali-kali andai tak diselamatkan skill Sembilan Nyawa.
“Saya rasa sampai di sini saja,” kata Erlangga suatu sore saat mereka keluar dari dungeon. “Kalian sudah bisa berburu sendiri.”
“Emang Kak Angga mau ke mana?” tanya Sinta. “Kak Angga di sini aja, sih, sama kita.”
“Gimana ya…” Erlangga menggaruk-garuk kepalanya.
“Sinta!” tegur Rama. “Kak Angga juga punya urusan, nggak bisa terus-terusan ngebantu kita.”
“Ya… begitulah… Tapi tenang aja, kapan-kapan saya pasti main-main ke sini lagi, kok.”
Sinta yang ekspresinya sedih, berbicara sembari menjejak-jejak tanah dengan ujung kakinya, “Benar, ya?”
“Janji.”
Erlangga mengulurkan jari kelingking di kedua tangannya. Rama dan Sinta pun meraihnya. Mereka saling menautkan jari kelingking sebagai tanda janji.
Penduduk desa pun menggelar acara perpisahan untuk Erlangga. Tidak banyak yang dilakukan di acara tersebut, selain berkumpul sambil membakar daging. Ternyata Jono memiliki item [Kompor Batu] yang ia simpan untuk dirinya sendiri. Daging yang dimasak akan memberi nutrisi dan Hit Point yang lebih tinggi. Sayangnya alat masak level dasar tersebut memiliki batasan jumlah pakai, sehingga setelah digunakan sekian kali maka tak akan bisa dipakai lagi. Penduduk desa memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk memakainya.
Selain itu Erlangga juga melihat keajaiban. Seiring dengan meningkatnya level penduduk, mereka tampak lebih segar dan kuat. Seolah usia atau penyakit bukan halangan bagi sistem. Bahkan pria yang tak memiliki kaki itu tetap bisa berburu. Ia menggunakan sihir menyerang yang kuat. Saat di dungeon, ia digendong seorang kakek yang meningkatkan parameter status VIT sehingga memiliki stamina kuat.
Mereka semua mengobrol santai, bercerita soal kehidupan, keluarga, pekerjaan, dan lain sebagainya. Erlangga menjelaskan situasi dirinya yang terpisah dari Nabila. Penduduk desa pun mendoakan agar keduanya bisa segera dipertemukan kembali.
Di hari keberangkatan, semua orang mengantar sampai gerbang desa.
“Kalau terus ke selatan, Mas Angga akan sampai Dungeon Medan,” jelas Ross. “Kalau ke selatan lagi, sampai di Kota Peradaban. Itu kota pertama yang berada di antara tiga dungeon—Padang, Pekanbaru, Jambi.”
“Kota Peradaban? Jadi di sini ada kota?” Bayangan sang pemuda adalah semua pemukiman Nusantara bentuknya seperti desa ini.
“Iya… Tapi saya sendiri belum pernah ke sana.”
“Oke. Mungkin saya bisa nyari informasi di sana. Kalau gitu saya berangkat dulu.”
“Ya, hati-hati di jalan,” ucap Ross. “Dan terima kasih.”
“Terima kasih, Kak!” susul Rama dan Sinta.
“Terima kasih, Nak!”
“Terima kasih!”
“Terima kasih Mas!”
Seluruh penduduk mengucapkannya bersama-sama. Erlangga pun nyengir lebar. Ia melambaikan tangan, lalu mengambil langkah pertamanya. Penduduk desa juga melambaikan tangan tinggi-tinggi mengantar kepergiannya menuju petualangan berikutnya.