SENTUHAN PERTAMA

1404 Kata
Cahaya lampu gantung yang mulai meredup perlahan membuat ballroom tampak seperti panggung akhir dari drama panjang yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Musik jazz berubah menjadi alunan yang lebih lambat sementara para tamu-tamu berpengaruh mulai meninggalkan ruangan sambil saling bertukar ucapan selamat. Eleanor berjalan mendekat dengan langkah pasti, menyodorkan laporan terakhir kepada Alvaro. “Naya membutuhkan waktu sepuluh menit lagi untuk formalitas foto penutupan bersama pihak Kazuya,” ucap Eleanor tanpa menatap langsung, seolah sudah hafal bahwa tatapan langsung bisa mengganggu dinamika antara dua orang itu. Naya menoleh dalam kebingungan. “Masih ada sesi foto?” “Dua foto saja,” jelas Eleanor. “Hanya untuk dokumentasi resmi bahwa istri Mr. Sezareth hadir bersama beliau.” Nada Eleanor terdengar datar tetapi ada sedikit penghormatan yang berbeda dari sebelumnya. Sejak insiden Rizal, Eleanor memperlakukan Naya dengan cara yang tidak seramah asisten pribadi, namun tidak pula merendahkan. Jelas ia sedang mengevaluasi peran Naya dalam hidup bosnya. Alvaro mengangguk. “Kita selesaikan dengan cepat.” Ia menggenggam pinggang Naya untuk mengarahkan langkah, tidak keras namun sangat pasti, membuat Naya hampir lupa bagaimana caranya menjaga jarak yang aman dari pria berbahaya itu. Kedekatan seperti itu terasa wajar namun tidak pernah benar-benar jinak. Sesi foto berlangsung singkat, hanya dua jepretan, namun cara Alvaro berdiri sangat dekat membuat fotografer hampir tidak tahu harus memberi arahan apa. Dalam foto, tangan Alvaro bertumpu di punggung Naya, sementara Naya menatap kamera dengan ketenangan yang tak bisa dibaca siapa pun. Kombinasi itu menciptakan citra pasangan yang terlalu serasi untuk sekadar kebetulan. Begitu sesi foto selesai, Alvaro menoleh pada Eleanor. “Pastikan tamu-tamu terakhir sudah keluar. Kita pergi setelah semua aman.” Naya mengikuti langkahnya menuju pintu keluar ballroom, namun langkah Alvaro terhenti ketika wanita high class yang tadi mengganggu mereka kembali muncul dengan senyum tipis. Senyum itu seperti pisau kecil yang ingin menggores tanpa meninggalkan bekas. “Kamu benar-benar tampak berbeda malam ini,” ucapnya dengan suara yang sengaja dibuat halus. “Aku tidak pernah melihat kamu bertahan di acara sepanjang ini tanpa menghilang untuk menghindari keramaian.” Alvaro menjawab tanpa menoleh lama. “Saya tidak punya alasan untuk menghindar malam ini.” Tatapan wanita itu merosot pada tangan Alvaro yang masih terletak di pinggang Naya. Ekspresi yang muncul tidak bisa disebut cemburu, lebih menyerupai penolakan karena seseorang telah mengambil haknya memainkan permainan yang ia pikir miliknya. “Kamu berubah,” katanya, “dan saya rasa perubahan itu belum tentu baik.” Naya bisa merasakan ketegangan lain yang muncul di sekitar Alvaro. Bukan marah, melainkan sebuah garis tipis antara kesabaran dan ancaman. Alvaro tidak suka diusik, terutama ketika ia sedang memegang kendali. “Perubahan yang baik atau buruk bukan urusan kamu,” balas Alvaro dengan nada yang membuat wanita itu terdiam seketika. Wanita itu mundur dengan wajah tersenyum palsu, tetapi matanya mengunci pada Naya seperti menyimpan rencana baru. Naya merasakan hawa tidak nyaman menggelayuti pundaknya. Ketika keduanya akhirnya melangkah keluar ballroom menuju koridor besar, Alvaro sedikit menundukkan wajah ke arah Naya. “Jika wanita itu mengganggu kamu di lain waktu, beri tahu saya.” Naya mengangguk walau ia tidak tahu apakah itu perintah atau bentuk perhatian. Malam mulai mengalir lebih pelan ketika mereka memasuki mobil hitam yang telah menunggu di depan gedung. Sopir membuka pintu, dan Alvaro membiarkan Naya masuk terlebih dahulu sebelum duduk di sampingnya. Begitu pintu tertutup, seluruh suara luar hilang, menyisakan keheningan antara mereka. Naya menyandarkan punggung dengan hati-hati. Dadanya masih terasa berat karena kejadian barusan. Alvaro memperhatikannya beberapa detik sebelum bertanya dengan suara rendah. “Kamu masih memikirkan laki-laki itu?” Naya menautkan jemari. “Tidak. Saya hanya mencoba memahami apa yang ia lakukan di tempat seperti itu.” “Dia tidak akan muncul lagi,” ucap Alvaro. “Saya sudah memastikan itu.” Nada itu membuat Naya yakin bahwa yang dimaksud bukan sekadar memastikan Rizal pergi dari gedung. Ketika Alvaro ingin menyingkirkan seseorang, ia tidak setengah hati. Perjalanan menuju penthouse berlangsung tanpa percakapan panjang, tetapi ketenangan itu justru terasa seperti sesuatu yang melingkari mereka berdua. Ketika mobil berhenti, Alvaro membuka pintu sendiri dan menunggu Naya turun sebelum berjalan masuk bersama. Penthouse itu luas dan hangat, bukan jenis rumah yang menunjukkan kekosongan pemiliknya. Naya merasakan aroma kayu bercampur kain linen, seakan tempat itu menahan seluruh suara dunia agar tidak menyentuh dindingnya. Ia menatap sekeliling, mencoba membaca ruangan yang mencerminkan karakter Alvaro. “Kamu bisa istirahat,” ucap Alvaro sambil melepas jasnya dan meletakkannya di kursi. “Kamar kamu ada di lantai atas, sebelah kiri.” Naya mengangguk namun tidak bergerak. Ada sisa ketegangan yang tidak sempat dilepaskan sejak ia melihat Rizal di ballroom. Alvaro memperhatikan itu, lalu mendekat. Tidak tergesa namun dengan tujuan yang jelas. “Berdiri di acara besar seperti itu memang melelahkan,” ucapnya pelan. “Saya baik-baik saja,” jawab Naya. “Kamu terlihat seperti seseorang yang menyimpan banyak hal,” kata Alvaro, “dan biasanya saya bisa membaca itu. Namun kamu berbeda. Kosong dan penuh pada saat yang sama.” Ucapan itu membuat jantung Naya berdentum aneh. Alvaro tidak pernah menutupi rasa frustrasinya soal ketidakmampuannya membaca Naya, namun malam ini nadanya lebih lembut. Seolah ia sedang menyingkap sesuatu yang selama ini ia pikir tidak penting. “Kamu butuh istirahat,” ucap Alvaro lagi, “karena besok pagi kita harus melakukan sesuatu yang lebih sulit daripada menghadiri pesta.” Naya menatapnya, bingung. “Sesuatu apa?” “Foto pernikahan.” Kata itu menggantung di udara seakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar sesi studio. “Kamu ingin saya pura-pura bahagia?” tanya Naya. “Tidak,” jawab Alvaro. “Saya ingin kamu terlihat seperti seseorang yang memilih berada di sisi saya. Itu lebih sulit daripada pura-pura bahagia.” Naya menunduk. “Kalau begitu saya akan berusaha.” Alvaro mengangguk dan mundur sedikit. “Pergilah ke kamar. Saya tidak akan mengganggu.” Naya melangkah naik ke lantai atas, namun ketika ia hampir mencapai pintu kamarnya, suara Alvaro terdengar dari bawah. “Naya.” Ia menoleh. “Kamu aman di sini.” Tidak ada embel apa pun, namun kalimat itu terasa seperti sesuatu yang mewakili ketakutan Naya selama ini. Ia masuk kamar dan menutup pintu perlahan. Begitu ia duduk di sisi tempat tidur, ketegangan yang ia tahan sejak ballroom runtuh sepenuhnya. Bukan karena takut namun karena kelelahan bercampur sesuatu yang sulit dipahami. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Naya tidur tanpa suara ancaman di kepalanya. Ketika ia tidur, ia tidak menyadari bahwa Alvaro berdiri di koridor lantai atas selama beberapa menit, menatap pintu kamarnya sebelum akhirnya kembali turun. Pagi datang dengan cahaya lembut yang masuk ke kamar melalui tirai yang sedikit terbuka. Naya terbangun dengan perasaan aneh, seolah tubuhnya masih diapit kehangatan perasaan yang tidak punya nama. Ia bangkit dan berjalan turun, menemukan Alvaro di dapur terbuka sedang menuang minuman panas ke cangkir. “Selamat pagi,” ucapnya ketika melihatnya. “Selamat pagi,” jawab Naya pelan. “Saya sudah menjadwalkan studio foto,” ucap Alvaro. “Kita berangkat satu jam lagi.” Naya mengangguk, lalu duduk di sofa sambil menggenggam tangan sendiri. Degup jantungnya terasa tidak wajar. “Kamu gugup?” tanya Alvaro tanpa memalingkan wajah. “Tidak,” jawab Naya. “Saya hanya memikirkan bagaimana hasilnya nanti.” “Kalau kamu bersama saya, semuanya akan baik.” Kalimat itu sangat sederhana namun membuat udara di antara mereka berubah. Naya merasakan sesuatu yang hangat merayap ke dadanya. Alvaro meletakkan cangkirnya dan berjalan mendekat. Ia berhenti tepat di depan Naya, lalu menoleh sedikit, menunggu Naya berdiri. Ketika Naya akhirnya berdiri, jarak mereka sangat dekat. Alvaro mengangkat tangan dan merapikan helai rambut yang jatuh di pipi Naya. Sentuhan itu begitu lembut hingga tubuh Naya menegang tanpa bisa dicegah. “Kamu harus terlihat seperti seseorang yang menikah karena kemauan sendiri,” ucapnya. “Dan bagaimana caranya saya melakukan itu?” tanya Naya. Alvaro menatapnya dengan tatapan yang dalam. “Percaya pada saya.” Untuk pertama kalinya, Naya merasakan sesuatu menembus dinding kosong yang selama ini ia bangun. Bukan ancaman, bukan paksaan, melainkan ketertarikan yang tidak seharusnya ada. Ia menunduk sedikit, mencoba mengendalikan napasnya, namun Alvaro mengangkat dagunya perlahan menggunakan dua jarinya. “Kita akan jadi pasangan paling meyakinkan di depan kamera,” bisiknya. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya sejak ia memasuki penthouse, Naya merasa dirinya bukan sekadar bagian dari kontrak. Ia merasa seperti sesuatu yang dipilih. Bukan sebagai istri sementara, melainkan sebagai seseorang yang keberadaannya benar-benar menyentuh hidup Alvaro. Mereka berdua menuju studio dengan langkah yang sama, meski tidak ada yang mengakui bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN