Semua manusia-manusia dalam bis sudah terlelap namun hanya satu makhluk yang belum, yaitu Adam. Remaja itu belum terlelap karena masih menyambungkan beberapa puzzle yang mencurigakan yaitu antara kepala sekolahnya dan guru cantiknya.
Sejak awal Adam sudah menaruh curiga terhadap kepala sekolahnya dan guru cantiknya. Pasalnya, tatapan kepala sekolahnya kepada guru cantiknya begitu berbeda. Seperti ada tatapan marah, kecewa, dendam dan rindu?
Seperti itulah yang Adam rasakan dan ia yakin perasaannya tidak salah!
“Lo kenapa belom tidur Dam?” Tanya Hilmi setengah sadar.
“Gue masih mikirin tadi.” Jawab Adam seketika Hilmi sadar dari rasa kantuknya.
“Oh iya tadi gimana lanjutannya? Tadi lo gak lanjut-lanjut sih.” Gerutu Hilmi. Adam menoleh kearah Hilmi lalu ia melihat suasana bis lalu memastikan ke arah kursi Sadewa, terihat kepala pria itu miring kearah kursi Nara.
“Bentar-bentar.” Ucap Adam lalu remaja itu berjalan pelan tanpa suara ke depan menuju kursi Sadewa dan Nara.
Adam menoleh ke kursi Sadewa dan Nara. Sedikit terkejut karena posisi kepala mereka saling menyandar. Baiklah Adam akan menganggap ini di luar kesadaran kepala sekolahnya dan guru cantiknya. Ini wajar Dam, ini wajar! Batin Adam dalam hati.
Akhirnya Adam kembali ke kursinya, Hilmi pun menatap Adam bingung, “kenapa sih?” Tanya Hilmi makin kepo.
“Mi, gue ngerasa ada sesuatu nih antara pak Sadewa sama bu Nara.” Bisik Adam. Hilmi pun diam menunggu kelanjutan cerita Adam.
“Mereka kayaknya ada kisah yang belum kelar deh.” Gumam Adam.
“Maksud lo mereka dulu punya hubungan gitu?” Tebak Hilmi.
“Bener! Lo tadi liat gak tatapannya pak Sadewa pas nyanyi? Tatapannya tuh ke kursi bu Nara terus.” Ucap Adam, Hilmi menggeleng.
“Enggak gue fokus ke penghayatan pak Sadewa yang bucin banget. Tapi.. Kayaknya iya deh soalnya gue pernah tuh gak sengaja liat pak Sadewa liatin bu Nara mulu.” Gumam Hilmi.
“Nah kan. Jadi gini lo mau bantuin gue gak? Buat ngetes pak Sadewa?” Tanya Adam.
“Ngetes apa nih? Siap gue mah hayuk.” Balas Hilmi semangat.
“Ngetes kalo emang bener Pak Sadewa sama bu Nara pernah ada hubungan dulu. Besok kita hajar pak Sadewa sampe emosi.”
****
Nara mengerjapkan matanya ketika suara kondektur membangunkannya dan Sadewa bahwa mereka sudah sampai di lokasi pertama yaitu Pantai Indrayanti. Sedangkan Sadewa juga mulai sadar. Mereka berdua mulai menyesuaikan jarak duduk agar tidak terlalu berdempetan bukankah akan sangat awkward jika terlalu berdempetan?
Nara mulai membenarkan jilbabnya lalu melipat selimutnya, Sadewa yang masih mengumpulkan nyawa pun hanya menatap Nara yang berbenah.
“Saya mau bangunin anak-anak pak. Permisi.” Ucap Nara sambil berdiri melewati Sadewa.
“Ayo bangun udah sampai.” Ucap Nara sambil menepuk pelan bahu anak-anak dalam bis. Anak-anak pun mulai bangun dan ada yang langsung menyiapkan alat mandi.
Saat kembali ke kursinya Nara sudah tidak melihat Sadewa, sepertinya pria itu sudah turun. Pikir Nara. Nara pun mulai menyiapkan alat mandinya serta mukena yang akan ia pakai sholat subuh di mushola terdekat.
Benar saja, saat turun Nara melihat para guru sudah berkumpul dan Sadewa juga ada disana, “Eh Bu Nara udah turun.” Sapa bu Yati.
“Hehehe iya bu, soalnya tadi bangunin anak-anak dulu.” Jawab Nara sambil mendekat ke gerombolan guru-guru.
“Duh bujangnya SMA kita sebis nih. Bisa PDKT dong pak.” Goda pak Basuki seorang guru Olah Raga.
“Wah bagus tuh, gak usah pusing-pusing cari jodoh pak Dewa. Sama bu Nara aja.” Seru guru yang lain.
“Bapak Ibu ngaco ah, mana mau Pak Sadewa sama saya.” Ucap Nara.
“Lagian Bu Nara kan udah ada calonnya. Ya gak bu? Ganteng, mapan, keren lagi.” Cetusan suara dengan nada cempreng menimbruk pembicaraan para guru. Siapa lagi kalau bukan-
“Adam ngapain kamu disini?” Tanya Nara kesal.
“Kamar mandinya penuh bu jadi kami kesini sekalian gabung ghibah.” Jawab Adam polos.
“Eh, emang calonnya bu Nara siapa?” Tanya bu Yati penasaran.
“Eng-”
“Kemarin yang jemput bu Nara, itu ya kembaran Pak Sadewa? Yang tampan, berani dan beruang?” Tanya Hilmi yang ada disamping Adam.
“Iya.” Jawab Sadewa singkat dengan wajah muram pasalnya remaja tengik ini mulai mengaitkan Nara dengan Nakula.
“Namanya siapa pak? Saya tebak deh saya tebak.. Yudistira bukan?” Tanya Hilmi polos.
“Dimana-mana kembaran Sadewa itu Nakula, Toyib!” Jawab Adam kesal.
"Ya siapa tau beda." Jawab Hilmi.
"Oh bagus dong sebentar lagi Bu Nara sama pak Sadewa jadi saudara ipar." Jawab guru lain.
"Eh enggak bu. Jangan percaya sama mereka dong." Sahut Nara langsung karena tak terima dengan tuduhan muridnya.
"Gak usah malu bu Nara, kalau emang punya hubungan sama kakak saya gak papa kok." Ucap Sadewa dengan nada datar sambil menatap Nara
"Saya gak ada hubungan sama kakak Pak Sadewa. " Bela Nara pada dirinya sendiri.
Sedangkan kedua remaja tengik itu saling melirik disertai senyuman iblis dan Adam pun mulai menendang kaki Hilmi tanda bahwa Sadewa mulai terpancing.
"Eh bu Nara bu Nara." Panggil Hilmi saat Nara akan pergi.
"Apa?" Tanya Nara kesal.
"Saya boleh pinjem hp bu? Batre saya habis mau ngehubungi mama saya kalo saya udah sampe. Kan bu Nara punya nomer mama saya tuh. Mau pinjam HPnya Adam juga kehabisan batre." Pinta Hilmi memelas. Nara akhirnya menyerahkan ponselnya ke Hilmi tanpa curiga apapun.
Hilmi yang menerima ponsel Nara pun senang dan akhirnya membuka aplikasi w******p, disana ada beberapa pesan yang belum Nara buka terutama pesan dari kontak bernama Nakula, mereka saling pandang dan mengangguk samar.
Hilmi pun membuka chat di nomer milik Adam untuk mengirimkan nomer Nakula dan setelah terkirim ia segera menghapus chat tersebut. Lalu Hilmi mencari nomer Mamanya dan saat ketemu ia langsung Selfie sebagai bentuk laporan.
Setelah terkirim Hilmi menyerahkan ponsel Nara, "Makasih ibu kita tercinta." Goda Hilmi sambil tersenyum bodoh Nara hanya memberi deheman sebagai jawaban lalu berpamitan pada guru setelah itu pergi untuk mengantri kamar mandi.
"Pak bu permisi ya kami mau antre kamar mandi dulu." Pamit Hilmi dan Adam dan diangguki para Guru.
Mereka berdua mulai mencari tempat sepi dan Adam membuka ponselnya, ia mulai membuka chat dari Nara dan menyimpan nomer Nakula.
"Kita chat langsung nih?" Tanya Hilmi. Adam mengangguk.
"Kita chat, kalo langsung ada pergerakan respon berati kembaran pak Sadewa ada rasa nih sama Bu Nara." Ucap Adam lalu ia mulai mengetik.
Halo Om Nakula, saya Adam muridnya Bu Nara sama Pak Sadewa. Saya ketua gerombolan yang nyorakin om sama Bu Nara kemarin loh.
Om pasti kepo kan bu Nara dimana? Bu Nara sekarang ada di Jogja om. Kami sekarang di pantai Indrayanti sampe jam 8 pagi, nanti jam 10 kita ke borobudur. Om yakin gak mau nyusulin bu Nara nih?
****
Nakula mengerjapkan matanya. Ia menoleh ke nakas samping ranjangnya dan melihat jam berapa sekarang.
03.58 AM
Terlalu dini untuk bangun apalagi tubuhnya sangat lelah karena semalam ia lembur sampai jam setengah dua belas namun bagaimana lagi, ia tak nyenyak tidurnya.
Namun ada yang menganjal di hati dan pikiran Nakula, yaitu Nara belum membalas pesannya. Sepertinya perempuan itu sengaja mengabaikannya, hingga efeknya bisa membuat Nakula tidur tak nyenyak karena mengkhawatirkan perempuan itu.
Akhirnya Nakula bangun dan bersandar di kepala ranjang lalu meraih ponselnya untuk mengecek apakah sudah ada balasan dari Nara, namun nihil, yang ada malah nomer asing mengirim pesan padanya.
+6289765567098
Halo Om Nakula, saya Adam muridnya Bu Nara sama Pak Sadewa. Saya ketua gerombolan yang nyorakin om sama Bu Nara kemarin loh.
Om pasti kepo kan bu Nara dimana? Bu Nara sekarang ada di Jogja om. Kami sekarang di pantai Indrayanti sampe jam 8 pagi, nanti jam 10 kita ke borobudur. Om yakin gak mau nyusulin bu Nara nih?
Nakula menatap layar ponselnya dengan diam dengan dahi menyengit sambil mengingat segerombolan anak didik Nara yang menyorakinya beberapa hari yang lalu.
Ah ia ingat anak ini dan teman-temannya. Tanpa sadar Nakula tersenyum karena mendapat informasi dari murid Nara, pasalnya Nakula baru tau jika Nara ada di Jogja ya dari anak ini.
Nakula berpikir sejenak, ia baru ingat jika ia harus ke Jogja untuk mengecek kemajuan pembangunan hotel barunya lusa. Senyum merekah menghiasi wajah rupawannya. Akhirnya! Mungkin ini yang disebut jodoh, pikir Nakula.
Tanpa pikir panjang lagi Nakula menelpon sekertarisnya untuk mengundur jadwal hari ini dan memajukan jadwal pengecekan pembangunan hotel. Ia akan ke jogja dan langsung menunggu Nara di Borobudur. Katakanlah ini sebagai jalan-jalan bersama Nara dan jika Sadewa mengetahuinya, ia tidak akan peduli.
Toh menurutnya ialah yang pertama kali bertemu dengan Nara dan ia lah yang pertama kali menyukai perempuan itu, namun Sadewa yang lebih dulu mendapatkannya.
Jika dulu ia bisa mengalah demi adiknya, maka kini ia tak akan mengalah. Ia akan memperjuangkan Nara dan mengabaikan Sadewa yang terlihat masih mencintai perempuan itu meski bertopeng benci.