SEBULAN Barry bekerja di rumah pengusaha property nomor wahid di Indonesia, mengurus anak kedua di keluarga ini yang kesulitan berjalan akibat kecelakaan hebat lima bulan lalu. Berusaha betah, meski setiap penghuni rumah mewah ini termasuk si anak kedua—Kania Anandhita, membuatnya tidak nyaman. Bayangkan saja saat pertama kali mereka bertemu, Kania histeris sambil bicara; Nggak! Kamu nggak nyata! Barry nyaris menyahut: maksud lo, gue hantu? Namun, mengingat Alby sudah memohon padanya sebulan penuh—membuat Barry menahan diri.
****
"Kenapa harus gue sih, Al?" sungut Barry begitu menemukan Alby sudah ada di depan kamar kosnya.
Cowok berpawakan tinggi dengan wajah kebule-bulean itu mengangkat kedua bahu santai. "Lo ngerti soal terapi jalan. Lo udah sering bantu orang latihan jalan pasca kecelakan."
"Ya, iya sih. Tapi biasanya gue kerja secara terbuka, bukan jadi selundupan."
Alby memasang wajah putus asa, seperti biasanya. "Gue nggak minta lo buat membahayakan orang, gue cuma mau lo memastikan pacar gue baik-baik aja."
"Tuh cewek ada sama orangtuanya, pasti baik-baik aja." Menurut Barry, usaha Alby memaksanya buat merawat cewek yang katanya pacar Alby itu, terlalu berlebihan.
"Bar, gue tanggung semua pengobatan nyokap lo di Bandung." Barry yang tadinya berniat buat masuk dan menolak Alby seperti hari-hari sebelumnya, langsung menoleh ke cowok itu. "Lo bisa pindahin nyokap ke rumah sakit jiwa terbaik di Bandung, supaya bisa dekat sama Kakak perempuan lo yang bakal pindah ke sana setelah nikah. Gue bakal minta dokter terbaik buat mengurus nyokap lo, gue—"
"Tunggu! Wah ... gila sih. Lo mata-matain gue?"
Sekali lagi Alby mengangkat kedua bahu. "Dua hari lagi keluarga Atmadja menutup pendaftarannya, dan gue nggak bisa terus-terusan sabotase orang-orang yang daftar ke sana." Alby menepuk ringan bisep Barry. "Besok, gue tunggu lo di Red Lion. Jangan salah datang ke gedung Mega Tarinka."
****
Dan itu, alasan utama Barry harus betah di rumah ini sampai si cewek aneh nan keras kepala itu bisa berjalan. Astaga, selera Alby benar-benar buruk!
"Mas Barry..." Barry yang tengah duduk di ruang tamu terpaksa menengadah ke sumber suara, di lantai dua.
Pasti drama lagi, batin Barry begitu melihat wajah pusing Bik Ninuk. "Kenapa, Bik?"
"Ke atas."
Tuh kan, benar! Gila ya nih cewek, sehari tanpa drama kayaknya nggak bisa, omel Barry, tentu saja dalam hati, masih sayang nyawa. "Emang Mbak Kania belum bangun?"
"Sudah. Tapi nggak mau bersiap ke rumah sakit, dan Bu Yohana sudah terlanjur pergi arisan." Suara Bik Ninuk semakin terdengar putus asa.
Barry menunduk sebentar, mengembuskan napas pelan-pelan, mengingatkan diri sendirinya untuk sabar. Setelah merasa emosinya reda, Barry kembali menengadah, lalu berkata, "Kali ini biar saya saja yang bujuk. Bik Ninuk siap-siap saja dulu, ganti baju, atau apa gitu..." Barry berdiri dan berlari cepat naik tangga, berhenti sebentar di samping Bik Ninuk. "Dandan yang cantik sana, siapa tahu ada satpam ganteng di rumah sakit."
"Mas Barry gelo." Satu tangan Bik Ninuk berniat melayangkan pukulan, tapi Barry dengan gesit menghindar.
Barry menuju ke kamar Kania, menyadari Bik Ninuk mesih mengikuti membuat Barry mendadak berhenti dan berbalik. "Sana, Bik. Siap-siap dulu."
"Terus si Non gimana?"
"Saya bujuk, Bik Ninuk siap-siap dulu. Jadi, kalau Mbak Kania udah luluh—Bibi tinggal bantu Mbak Kania bersiap, terus kita berangkat. Saya takutnya udah luluh, eh, merajuk lagi selama nunggu Bik Ninuk ganti baju." Barry berusaha meyakinkan Bik Ninuk, dia perlu membujuk Kania dengan membawa nama Alby, artinya tidak boleh ada Bik Ninuk di sekitar mereka. "Ih, si Bibi nggak perlu khawatir, Mbak Kanianya nggak bakal saya todong pistol."
Bik Ninuk menyerah, lalu turun meninggalkan Barry.
Tidak mau menyiakan kesempatan yang mungkin bakal sedikit, Barry bergegas memasuki kamar Kania tanpa mengetuk terlebih dulu. Cewek berwarna rambut marbel brown itu tengah duduk di depan pintu kaca menuju balkon, dan memasang wajah terkejut saat Barry berdiri di depan tanpa permisi.
"Kenapa mukanya langsung pucet gitu? Udah sebulan loh, Mbak ... masih mikir saya nggak nyata?" tanya Barry skeptis.
Kania memutar bola mata malas, lalu memundurkan kursi roda otamatis itu, menjauhi Barry. "Saya nggak mau ke rumah sakit. Saya benci tempat itu."
"Kalau Mbak nggak cek up, nanti saya dan Bik Ninuk kena marah Ibu."
"Bukan urusan saya."
"Mbak..." Barry menghentikan kursi roda Kania secara paksa, memasang wajah serius yang belum pernah dia tunjukkan ke cewek itu. " Mbak nggak mau minum obat, nggak mau latihan jalan, nggak mau cek up—sebagai bentuk protes ke orangtua karena diperlakukan seperti tahanan tanpa alasan. Betul?" Wajah cantik Kania terlihat tidak suka dengan kalimat Barry, ah, Kania memang tidak pernah suka apa pun yang dilakukan Barry. "Sebelumnya saya mohon maaf dulu nih. Tapi saya harus ngomong, apa yang Mbak lakuin sia-sia. Semakin lama kaki Mbak pulih, semakin lama pula Mbak diperlakukan seperti sekarang."
"Bukan ... urusan ... kamu," geram Kania.
"Tentu aja urusan saya, Mbak. Kan saya terapis Mbak Kania."
"Kalau begitu kamu bisa berhenti jadi terapi saya, keluar dari rumah ini."
"Maunya sih gitu, Mbak. Tapi kalau saya keluar, Alby bisa stres."
Kania semakin tegang, kedua tangan cewek itu terkepal erat di pangkuan.
"Mbak selalu tanya: apa saya kenal Alby Bagaskara. Apa saya ada hubungan sama Alby Bagaskara. Jawabannya iya. Selama ini saya nggak bisa jawab atau komentar tentang Alby, karena ada Bik Ninuk."
Bibir Kania terlihat gemetar, kepalan tangan yang disangka Barry akan terurai justru semakin kuat terkepal. Kania menggeleng. Sorot mata cewek itu nampak ngeri. "Nggak. Nggak mungkin. Kamu bohong."
Ya Tuhan, ini cewek maunya apa sih? Kemarin nyudutin terus, suru ngaku suruhan Alby apa bukan. Sekarang gue ngaku, dia mulai histeris lagi. Barry kembali mengomel dalam hati. Kedua sudut bibirnya siap membentuk garis datar, tapi sekuat tenaga dia tetap mempertahanlan senyum. "Sumpah, Mbak!"
"Nggak." Satu tangan Kania sudah menyentuh pelipis, tidak mau berhenti menggeleng. "Ini semua nggak nyata. Nggak. Gue harus bangun. Gue harus bangun." Kania mulai memukul kedua pipinya, mencubit tangan bergantian.
Barry menepuk jidat sebelum akhirnya turun tangan memegangi kedua tangan Kania supaya berhenti menyakiti diri sendiri, memanggil nama Kania beberapa kali yang tetap tidak berhenti menggeleng dan terus saja merapal kata: 'Nggak mungkin.' 'Gue harus bangun.'
Barry kehilangan kesabaran, dia melepaskan tangan Kania, merengkuh pundak cewek itu, lalu berteriak, "Stop, Mbak Kania! Berhenti bersikap seperti ini!" Kania berhenti bicara, memandang Barry dengan mata berkaca-kaca. "Berhenti bersikap seperti orang kehilangan akal sehat. Saya nggak tau ini tujuannya untuk membuat orangtua Mbak marah atau alasan lain. Tapi yang saya tahu, keadaan Mbak sekarang mempersulit Alby!"
Air mata Kania jatuh memabasahi pipi, namun diabaikan Barry.
Perlahan dia melepaskan rengkuhannya di pundak Kania, menegakkan posisi badannya. "Sekarang Mbak Kania bersiap dibantu Bik Ninuk. Alby sudah menunggu di rumah sakit. Jangan bilang apa pun ke Bil Ninuk soal Alby. Tetapi kalau Mbak masih mikir ini nggak nyata atau saya bohong, nggak masalah, silakan ceritakan apa yang saya sampaikan ini dan kesempatan Mbak buat ketemu pacar terbuang percuma."
Tepat setelah Barry berhenti bicara, pintu kamar terbuka, Bik Ninuk masuk masih dengan wajah was-was.
Barry mengedipkan satu mata ke Bik Ninuk, bersedekap, sambil berjalan meninggalkan Kania. "Bantu Mbak Kania bersiap ya, Bik. Saya tunggu di depan lift." Lalu, Barry keluar kamar dan memosisikan diri di tempat yang tadi dia bilang ke Bik Ninuk. Lift, fasilitas yang sengaja disediakan di rumah ini buat memudahkan Kania beraktifitas.
Selama menunggu, sedikit penyesalan bergelayut di dadanya. Dia merasa sikap kerasnya ke Kania tadi sedikit berlebihan. Bagaimana kalau memang otak Kania memang bermasalah. Bagaimana kalau ada masalah rumit yang susah diurai antara Kania, orangtuanya, dan Alby. Barry mengacak rambut kriwilnya. "Kayaknya gue ketularan sindrom drama tuh cewek!"