4

1355 Kata
KATA orang banyak hal di dunia yang memang diciptakan di luar nalar, seperti kejadian yang berlangsung di hidup Kania saat ini. Lima bulan lalu, dia mengalami kejadian gila, melihat hal-hal yang bakal terjadi kalau nekat memutuskan hubungan dengan Alby di depan umum. Selang beberapa hari, dia mengalami kecelakan hebat. Setelah itu dunianya sepi tanpa Alby, kakinya kesulitan berjalan, tapi tidak gelap. Kania masih berpikir ini kebetulan, namun ... sejak cowok bernama Barry masuk ke hidupnya, Kania menjadi sangat takut. Otaknya sibuk membuat banyak pertanyaan. Kenapa Alby tidak pernah datang? Apa ada yang salah dari cowok itu? Apa Alby menyalahkan diri sendiri atas kecelakaannya? Tapi ini bukan salah Alby. Kenapa orangtuanya melarang dia keluar rumah tanpa pengawalan? Kenapa hidup jadi sulit dari sebelumnya? Meski sikap orangtua menjadi lebih baik. Kenapa Barry muncul di kisahnya? Kenapa Barry mengaku orang yang disuruh Alby? Bagaimana akal sehatnya mampu menerima semua kebetulan yang gila ini? Tak jarang Kania berharap terbangun, dan semua cuma ilusi seperti sebelumnya. "Mbak Nia, kita sudah sampai." Kania terpaksa membuka mata, mengakhiri sandiwara tidur yang sering dia lakukan beberapa hari terakhir. Seulas senyum menyebalkan Barry menyambut, kedua tangan kokoh cowok itu sudah terulur—siap memindahkan Kania dari kursi mobil ke kursi roda. Tidak ada hal lain yang bisa dibuat Kania, pasrah. Bik Ninuk melakukan tugasnya mendorong kursi roda, sementara Barry berjalan dengan gaya tengil di samping mereka. "Bik, liat deh, banyak yang liatin saya. Mungkin kagum saya," kata Barry, setelah mereka bertiga melewati pintu lobi. Kania menaruh siku di pegangan kursi roda, bersikap seolah sedang memijat pelipis, dia melirik Barry. "Boro-boro kagum, norak iya. Mentok dikira lagi sakit mata," ketus Kania begitu melihat Barry masih memakai kacamata hitam. Bik Ninuk berhenti mendorong kursi roda, tertawa geli, diikuti kalimat protes dari Barry. Sementara Kania tidak berselera bergabung dalam euforia itu, memilih terdiam dengan tatapan kosong. Sampai teriakan panas dari Bik Ninuk membuatnya menoleh ke belakang. "Gimana sih orang itu, udah nabrak, nggak minta maaf malah kabur bae," keluh Bik Ninuk. "Mana panas banget." "Bik, di tas saya ada kaus polos, pasti kebesaran di Bibi—tapi lumayan daripada pakai baju ini. Basahnya parah banget." Barry menyela omelan Bik Ninuk. "Tapi tas saya di mobil. Ya udah Bik Ninuk ganti dulu sana, cari Pak Tito di parkiran ... saya bawa Mbak Kania ke atas, ketemu di lantai tiga ya." Tidak ada perlawanan, Bik Ninuk meninggalkan dan memasrahkan Kania pada Barry. Sambil bersiul Barry mendorong kursi roda Kania memasuki lift, tidak ada pengunjung lain. Tanpa menoleh ke Barry, Kania bertanya, "Tadi itu kerjaan kamu kan?" Siulan Barry lenyap, dari pantulan pintu lift, Kania bisa melihat Barry melepaskan kacamata hitam—menaik turunkan kedua alis seperti anak remaja sedang menggoda gadis incarannya. Bibir Kania sudah siap buat bicara lagi, namun pintu lift sudah terbuka—saat kursi roda melewati batas lift—bibir Kania terkatup saat matanya melihat sosok yang sangat dia kenal tengah berdiri anggun, bersandar di ujung tembok, menghadap lift, bersedekap sambil memejamkan mata. "Oi! Alby!" Barry terdengar semangat memanggil, mempercepat dorongan menuju Alby. Lagi. Kania merasa yang terjadi tidak nyata. Barry benar-benar orang suruhan Alby. Apa memang terjadi sesuatu yang buruk pada Alby, sampai tidak bisa menemani dia? Kania menggeleng, nyaris panik seperti biasa. Namun saat Alby menyatukan pandangan mereka, panik itu menguap dengan perlahan. "Lo urus Kania ke dokter, gue jaga Bik Ninuk di bawah." Barry menepuk ringan bahu Kania, berpamitan, lalu meninggalkan dia bersama Alby. Alby menghela napas pelan sebelum akhirnya bicara, "Kita periksa dulu ke dokter Abel, kamu antrian nomor dua." Alby bersiap ke belakang Kania, tetapi tangan Kania cepat menahan Alby tetap di sampingnya. Kania menengadah, sementara tangannya sibuk memastikan seberapa nyata Alby, seberapa sehat Alby. Dia tidak kuat lagi, air mata yang berusaha disembunyikan, menyapa ke permukaan. Tanpa sadar Kania menempelkan keningnya ke lengan Alby, terisak. Usapan lembut mendarat di rambutnya. "Bisa nggak nangisnya ditunda dulu? Kita pindah duduk di ujung sana, lebih enak buat ngobrol." Alby menangkup pipi Kania, memundurkan kepala Kania pelan-pelan, ujung jemari Alby bergerak sangat lembut menghapus air mata Kania. Tanpa menunggu persetujuan, Alby segera membawa kursi roda ke tempat menunggu pemeriksaan. Alby duduk di kursi paling ujung, setelah memosisikan Kania persis di samping kursi. Untuk persekian detik keduanya cuma duduk diam berdampingan, dengan kedua tangan saling menggenggam. "Maaf...." Satu kata dari Alby, yang menghancurkan hening di antara mereka. Kania menggeleng pelan. "Are you okay?" Alby terlihat bingung, tapi tetap menjawab, "Ya. Aku baik-baik aja. Justru aku khawatir banget sama kamu. Aku nggak bisa di samping kamu." "Kenapa?" "Aku nggak tau. Om Ryan dan Tante Yohana mendadak menutup akses dunia luar ke kamu, bahkan Tante Yohana meminta agency kamu untuk membuat pengumuman kamu mundur dari dunia model." Kania tidak mampu berekspresi, lelah memasang wajah kecewa sejak dia sadar beberapa bulan lalu. "Kamu dibawa ke Singapur. Aku datang tiap hari, tapi nggak pernah bisa masuk. Alasannya, mereka mau kamu sembuh total dulu. Kamu dibawa pulang ke Singapur. Aku masih belum bisa ketemu kamu." "Aya juga nggak pernah datang. Handphone aku baru. Aku nggak hafal nomor kamu atau Aya. Aku ada laptop, tapi setiap kali aku ngirim email ke kamu  atau Aya, kalian nggak pernah balas." Kening Alby mengerut. "Email? Kamu kirim email?" "Iya." Kania merogoh tasnya, mengeluarkan handphone. "Masukin nomor kamu." Tanpa bersuara, Alby memundurkan tangan Kania dan menggeleng—menolak dengan tegas. Tentu saja hal itu membuat emosi Kania yang tidak stabil, terpancing. "Kenapa? Oh. Kamu nggak mau aku ganggu?" Kania mencengkeram kuat-kuat handphone, nada suaranya meninggi. "Kenapa? Kamu udah punya cewek lain yang sempurna, yang bisa kamu pamerin? Atau, kamu kembali memikirkan Elora?Fine! Nggak usah hubungin aku!" Kania mau melepaskan tangan dari genggaman Alby, tetapi cowok itu justru memperat genggaman. "Kalau aku udah punya cewek lain atau kembali memikirkan Elora, aku nggak perlu repot-repot membawa Barry masuk ke rumah kamu. Nggak perlu buang waktu ke rumah sakit cuma buat ketemu kamu." Kania enggan melihat Alby bicara, jadi dia menunduk dalam-dalam tanpa mengembalikan handphone ke tas. "Kamu bilang, kamu ngirim email. Tapi aku nggak pernah terima email kamu, artinya ada yang memantau semua jalur komunikasi kamu. Nggak nutup kemungkinan handphone baru kamu ini juga dipantau. Karena handphone lama kamu nggak rusak, Nia. Kamu tuh kecelakaan sebelum berhasil ambil handphone." Tangis Kania yang tadinya sudah reda, kembali pecah. Dia sangat marah, tapi bingung harus marah ke siapa. "Aku nggak mau ambil risiko. Aku menghubungi kami, setelahnya kamu dibawa pergi sama Om Ryan. Aku nggak mau hal itu terjadi." Alby melepaskan tangan Kania, meraih pundaknya, membawa kepalanya bersandar di d**a cowok itu. "Aku tau ini sulit buat kamu, tapi tolong bersabar sedikit lagi, Nia. Kasih aku waktu sedikit lagi buat cari tahu apa masalah sebenarnya. Kenapa Om Ryan dan Tante Yohana berbuat seperti ini. Oke?" "Aku takut, By. Aku bingung. Aku ... aku butuh kamu." Alby mencium lembut puncak kepala Kania. "Aku juga, sayang. Cuma Tuhan yang tau betapa sulitnya aku menjalani hari-hari tanpa melihat kamu, menemani kamu, di samping kamu." Untuk beberapa saat keduanya menikmati kebersamaan yang telah lama disela tembok besar, saling mengucapkan rindu tanpa suara, saling meyakinkan diri bahwa mereka masih terikat. Suasana yang tenang mendadak pecah, saat Barry tiba-tiba berdiri di depan mereka dengan wajah pias dan napas naik turun. "Pergi. Sekarang!" tegas Barry ke Alby. "Ibu datang." "Mama!?" Kania menegakkan posisi duduknya, begitu pun Alby. "Sumpah! Gue nggak tau bakal begini, sebelumnya Bik Ninuk bilang Ibu arisan sampe sore." Untuk pertama kalinya Kania melihat Barry panik. "Oke." Alby berdiri, lalu menatap Kania. "Kamu harus rajin latihan jalan. Kamu masih utang liburan bareng sama aku." Alby membelai pipi kanan Kania sebentar, kemudian berlari cepat menuju tangga darurat. Tersisa Barry yang duduk menggantikan Alby, susah payah mengatur napas dan wajah supaya terlihat biasa. Menyadari diam-diam Kania mengawasi, membuat Barry berkata, "Jangan liatin saya mulu. Itu air matanya diapus, rambutnya dirapiin. Kalau Ibu liat, disangkanya saya abis aneh-aneh ke Mbak." Iba yang mampir ke Kania, langsung pamit dalam hitungan detik. "Terima kasih," ucap Kania pelan, sambil merapikan rambut. "Apa, Mbak?" Kania memberikan lirikan tajam ke Barry, sementara Barry tersenyum kian lebar. "Kalau tulus bilang terima kasihnya, mulai besok wajib latihan jalan tanpa drama. Deal?" "Drama?" Harusnya Kania kesal dibilang seperti itu, namun yang terjadi justru dia tersenyum tipis untuk kali pertama ke Barry.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN