ALBY mengumpat pelan, tidak terima pertemuannya dengan Kania begitu singkat. Dia masih mau memeluk gadis itu, melepaskan rindu yang menyiksa kalbu. Beberapa pikiran melintas di benak Alby. Dia tidak melakukan kesalahan apa pun dan hubungannya dengan Kania pun jelas. Seharusnya tidak masalah kalau dia memaksa buat menemani Kania cek up hari ini, toh, dia sudah banyak mengalah. Namun, membayangkan kemungkinan demi kemungkinan di hari esok, membuat Alby menekan lagi egonya sampai ke dasar.
Nggak masalah menunggu sedikit lagi, katanya dalam hati. Semua bakal kembali seperti dulu, mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kania bisa hidup bareng sama gue. Sabar, Alby. Sabar.
Meski berat Alby akhirnya meninggalkan rumah sakit. Berharap tidak ada satu pun orang suruhan keluarga Atmadja yang melihat dia atau mobilnya. Sepanjang jalan, satu demi satu ingatan tentang Kania berputar di otak Alby. Sakit yang tadinya diabaikan, menyeruak ke setiap sendi di badan Alby---sangat menyakitkan sampai Alby nekat menepikan mobilnya di jalan tol.
****
"Kamu banyak berubah dari terakhir kali kita ketemu, lima atau enam tahun lalu, iya kan?" Gadis itu langsung bersuara begitu mereka sampai di pendopo, memamerkan senyum simpul yang harus diakui Alby sangat cantik. "Kania...."
Kening Alby mengerut. "Udah tau. Di dalam sana nama kamu sudah disebut berulang kali," kata Alby tanpa mengindahkan uluran tangan Kania, langsung saja meninggalkan gadis itu, dan menduduki kursi kayu panjang.
"Siapa tau ingatan kamu jelek." Alby tidak berniat melihat ekspresi Kania, tapi dari suara Kania---sepertinya gadis itu kecewa.
Ini pertemuan mereka setelah perjodohan disepakati. Tidak ada yang istimewa, karena bagi Alby, yang istimewa tertinggal di gedung Mega Tarinka.
****
Dari sekian banyak undangan acara yang diterima Alby, baik yang resmi sampai non resmi, ada satu acara yang sangat dihindari Alby---fashion show. Menurut Alby, acara itu tidak ada faedahnya. Cuma duduk, melihat cewek-cewek jenjang berjalan hilir muding dengan baju berbeda. Namun, demi Kania---dia memaksakan diri mengikuti acara fashion show sambil diam-diam berharap tidak akan tertidur saat giliran Kania berjalan.
"Terima kasih," ucap Kania tulus, begitu Alby memasuki ruang ganti sambil membawa sebuket tulip putih.
Alby mengangguk kecil, melangkah lebar-lebar menuju Kania yang tengah duduk di depan meja rias, meletakkan buket tulip itu di pangkuan Kania. "Kamu kelihatan sangat cantik tadi." Semoga saja pujian itu terdengar tulus, supaya fakta Alby sibuk memperhatikan handphone sepanjang acara tertutupi.
"Kenapa tulip?" Kania mengalihkan pembicaraan, menggunakan ujung dagu menunjuk deretan buket yang lain. "Semua memberikan mawar, dan setahu aku---tulip itu kan melambangkan permintaan maaf. Kamu salah apa sama aku?"
Mungkin karena nggak menikmati acara penting kamu ini, atau ... karena belum bisa memasukkan kamu di list orang terpenting hidupku. Tentu saja Alby tidak mengatakan itu secara langsung, cuma di dalam hati. "Oh ya? Setahu aku tulip itu bermakna tentang persahabatan, perhatian, dan ... cinta."
*****
"Kamu keterlaluan Alby Bagaskara! Apa yang kamu harapkan dari aku? Aku pikir kamu beda sama yang lain, aku pikir kamu tulus bersama dengan aku."
"Kania, duduk dulu. Tenang, aku bisa—"
Kania mengangkat satu tangannya di depan wajah Alby.
"Kamu sudah kaya Alby! Kamu nggak butuh aku untuk menimbun kekayaan!" Kania menatap nyalang ke arah Alby. "Kamu mau saham aku? Fine! Kamu butuh berapa?! Sebutkan, Alby! Lebih baik kamu mengatakan terus terang daripada bertingkah mejijikan seperti ini! Kamu bertindak seakan-akan nyaman dengan hubungan kita, ternyata kamu menyukai wanita yang akan menjadi kakak iparmu!"
*****
Alby menghentikan perkataan Kania dengan bibirnya, putus asa terasa sangat jelas mengiringi adegan ciuman bibir yang dilakukan oleh Alby. Kania terkejut, tapi tidak lama. Tangan Alby merengkuh pinggang Kania, sementara kedua tangan Kania hanya mampu mencengkram sisi kemeja Alby pada bagian d**a bidang pria itu. Setelah merasa cukup menguasai Kania, Alby menghentikan pergerakkan bibirnya. Kania menahan seringai puas untuk ciuman yang baru saja terjadi antara mereka. Dan Alby menyadari itu.
"Wow, untuk pertama kalinya kamu mencium bibirku. Biasanya kamu hanya mau mencium kening atau pipiku, itu pun terjadi di hadapan orang banyak. Tapi kali ini, kamu mencium bibirku dan di ruang tertutup," ucap Kania penuh semangat. "Kemajuan, apakah kita harus mengulangnya lagi nanti saat di depan wartawan dan keluarga kita?"
Alby menggerakkan jarinya di atas kulit bibir, matanya mengawasi setiap gerak gerik Kania. Terutama raut wajahnya saat mengartikan ciuman yang dia lakukan beberapa menit lalu.
Alby menghela napas kasar, lalu memutar bola matanya malas. "Membosankan..."
*****
"Nggak peduli apa yang terjadi di antara kita, nggak peduli kita sudah menghabiskan ratusan hari untuk saling menyakiti, nggak peduli kamu sudah berubah dari mimpi indah ke mimpi buruk---kamu tetap pria yang ada di hatiku. Kamu tetap cinta dan napas untukku. Kamu tetap hidup dan matiku."
Kania semakin memajukan tubuhnya, hingga jarak antara wajahnya dan Alby begitu dekat. Terlalu dekat hingga Kania mampu merasakan helaan napas Alby.
Dalam hitungan detik, bibir Kania telah menyentuh bibir Alby. Kania meraup bibir Alby dengan segala asa yang dia punya. Kesedihan, kebingungan, kebimbangan, ketakutan dan ... cinta yang besar untuk Alby.
Perlahan Kania mengakhiri ciumannya dengan Alby, dia mundur, tapi tidak benar-benar menjauh dari wajah Alby. Jarak keduanya masih tersisa beberapa jengkal, napas Alby masih menyentuh kulit wajah Kania.
Alby tidak bereaksi, terdiam sekaligus menatap Kania dengan raut wajah datar.
"Aku nggak sanggup lagi bersandiwara, tapi aku juga nggak sanggup kehilangan kamu. Terus aku harus berbuat apa, By? Kamu bahagia yang aku mau, cuma kamu...."
*****
"Penjahatnya kita berdua, bukan salah satu dari kita. Yang mengacaukan hubungan awal kita pun, bukan cuma kamu, aku ikut terlibat." Alby menatap punggung Kania lekat-lekat. "Aku memutuskan menerima perjodohan untuk melupakan Elora, karena aku tahu perasaan itu salah. Lagipula, Diaz selalu mendapatkan yang dia mau. Aku ini bukan apa-apa kalau harus bersaing sama dia."
Alby maju satu langkah ke arah Kania. "Kamu hadir di saat aku ngerasa putus asa sama kehidupan ini, aku nemuin banyak kesamaan dengan kamu. Aku ... aku ngerasa kita serupa. Dan ya, kamu pernah menyita sebagian perhatianku. Kamu membuatku teralih...."
Alby maju satu langkah lagi. "Hari itu, hari di mana kamu menemukan semua informasi Elora, aku mau memberikan alasan yang sebenarnya, kalau itu bukan kepentingan aku, tapi Diaz. Dan kamu nggak mau memberikan kesempatan buat aku membela diri, kamu marah, menuduhku, dan egoku terluka." Kali ini Alby maju dua langkah dan berada tepat di belakang Kania, dia merengkuh satu pundak Kania dan meminta Kania untuk berhadapan dengannya.
Mau tidak mau Kania mengikuti perintah Alby, tapi Kania tidak langsung menatap mata Alby. Kania memilih untuk memandangi lantai kamarnya.
Alby meraih dagu Kania, mengangkat wajahnya, dan membuat tatapan mereka bertemu.
"Apa kamu percaya sama aku?"
****
"Sialan!" geram Alby sambil memukul stir berulang kali. Sepanjang ingatan yang dia punya, tidak ada satu pun hal yang bisa menunjukkan dia layak menjadi pasangan Kania---seolah memaksa dia menerima semua yang terjadi sekarang sebagai hukuman.
Puas melampiaskan kesakitannya, Alby kembali melajukan mobilnya sampai ke gedung Mega Tarinka. Tidak seperti orang-orang yang memilih lift, Alby justru menggunakan tangga darurat. Masih ada sisa sesak di dadanya, dan menaiki tangga menyamarkan sesak itu.
Alby nyaris sampai ke lantai yang dia tuju, tapi dia mendengar suara makian, bunyi berisik---memukuli pegangan tangga.
Laras? Alby menggulung kedua lengan kemejanya sampai sebatas sikut, membuka dua kancing teratas, lalu kembali menaiki tangga. Benar saja ada Laras, duduk bersandar di salah satu anak tangga---satu tangan cewek itu mencengkeram handphone, satu yang lain memukul pegangan tangga.
"Laras? Kenapa?"
Laras masih menunduk sampai tersisa satu anak tangga di antara mereka, tepat sebelum Alby bertanya buat yang kedua---Laras mengangkat wajah dengan senyum pamer gigi. Tidak terlihat bermasalah, padahal beberapa detik lalu terlihat sangat putus asa.
"Eh, Pak Alby. Nggak papa, Pak," sahut Laras riang.
"Itu ... kenapa mukulin besi tangga?"
"Oh. Kesemutan. Biar semutnya cepat ilang."
"Baru tahu kesemutan bisa menyebabkan orang nangis."
Laras berdiri tanpa menghilangkan senyum. "Nggak nangis kok, Pak."
"Itu mata kamu merah."
"Ini mah, karena ngantuk." Seberapa besar usaha Laras mengikari dan terlihat baik, tapi Alby cukup akrab dengan hal seperti ini---terutama tawa sumbang yang dilantunkan Laras. "Eh, Bapak nggak perlu khawatir, saya udah segar lagi nih." Laras menepuk-nepuk pipi dan leher. "Saya balik ke kerja dulu ya, Pak. Permisi."
Laras meninggalkan tanggu darurat dengan cepat, tidak peduli kalau Alby belum puas dengan jawaban yang diberikan.
Alby yang seharusnya ikut keluar dari pintu besi memilih duduk di anak tangga, meluruskan kedua kakinya, lalu menengadah ke langit-langit. "Bukan urusan lo, Alby. Nggak usah ikut campur,"