6

1402 Kata
Aku nggak tau. Om Ryan dan Tante Yohana mendadak menutup akses dunia luar ke kamu, bahkan Tante Yohana meminta agency kamu untuk membuat pengumuman kamu mundur dari dunia model.' 'Kamu dibawa ke Singapur. Aku datang tiap hari, tapi nggak pernah bisa masuk. Alasannya, mereka mau kamu sembuh total dulu. Kamu dibawa pulang ke Jakarta, tetap saja aku masih belum bisa ketemu kamu.' Kata 'kenapa' memenuhi otak Kania, permintaan sabar dari Alby semakin tipis seiring berjalannya waktu. Peringatan yang diam-diam diberikan Barry pun diabaikan oleh Kania. "Papa di rumah, Bik?" tanya Kania pada Bik Nem yang menyambut kepulangannya dari rumah sakit. "Ada, Non. Baru aja sampai, katanya mau makan siang bareng Ibu dan Non Nia," jawab Bik Nem. "Mungkin Ibu sebentar lagi pulang." "Aku mau ketemu Papa." Kania berusaha menutupi perasaannya, tapi sia-sia saja---raut wajah Bik Nem terlihat panik dan kebingungan---kalau Kania tidak salah tanggap, Bik Nem bahkan sibuk mencari jawaban dari Barry dan Bik Ninuk, yang masih setia berdiri di belakang kursi roda Kania. "Ayo, Bik!" tegas Kania sambil memajukan kursi roda lebih dulu, tidak lagi peduli pada Barry dan Bik Ninuk. Mau tidak mau Bik Nem berlari kecil, berusaha mengimbangi Kania. "Kenapa toh, Non?" "Cuma mau ketemu Papa." Menjalankan kursi roda lebih cepat secara otomatis. "Iya, tapi kenapa? Non keliatan marah banget. Jangan bilang, Non Nia, mau mogok pengobatan kayak waktu itu." Kursi roda Kania berhenti mendadak, genggamannya pada tuas pengatur kursi roda semakin erat. "Aku marah, dan Papa mungkin punya alasan buat meredakannya." "Non...." "Bawa aku ke Papa, Bik." Bik Nem tidak melanjutkan lebih jauh pertanyaannya, wanita paro baya itu mengelus rambut Kania penuh sayang, lalu mendorong kursi roda. Dalam sunyi, Bik Nem mengantarkan Kania ke kantor pribadi Pak Ryan. "Aku masuk sendiri aja, Bik," kata Kania berusaha terdengar tenang, tidak mau membuat Bik Nem kuatir. "Non." Kania meraih tangan kanan Bik Nem, menaruh dan menggenggam di atas pundaknya. "Bik Nem nggak perlu takut, nggak akan terjadi sesuatu yang buruk. Kan Bik Nem sendiri yang bilang, Papa Mama sudah berubah, lebih mudah diajak ngomong." Perlahan Kania melepaskan tangan Bik Nem. "Aku cuma mau jawaban dari semua pertanyaan yang menuhin kepala aku, Bik." Kemudian, Kania memasuki ruang kerja Pak Ryan seorang diri. Pria paro baya yang masih terlihat rapi dengan kemeja batik cokelat dan celana kain hitam, duduk nyaman di sofa tunggal besar, membaca buku—entah bertema apa. Pak Ryan menyadari kedatangan Kania, beliau segera menutup buku itu—keheranan melihat Kania menemui dengan wajah kaku. "Mama sudah datang?" Pertanyaan wajar, mengingat tujuan Pak Ryan pulang ke rumah. Kania menggeleng, lalu mengontrol kursi rodanya bergerak maju mendekati Pak Ryan. "Kenapa kamu ke sini sendiri? Ada Ninuk. Ada Barry juga. Atau si Bik Nem. Kamu nggak perlu repot urus kursi itu." "Ada hal penting dan pribadi yang mau aku bicarain sama Papa." "Oh ya? Apa, Nia?" Mau tidak mau Pak Ryan ikut serius, beliau meletakkan buku di meja, memosisikan diri—siap mendengarkan Kania. "Silakan bicara," kata Pak Ryan setelah beberapa menit berlalu, tapi Kania tetap diam. "Nia mau kerja lagi, di majalah Aya." Pak Ryan mengangguk. "Kenapa? Nia, Papa ini bisa loh menuhi semua kebutuhan kamu. Kamu mau apa, tinggal bilang. Kamu mau liburan, Papa bisa atur." "Aku kerja buat pengalaman, Pa." "Pengalaman? Oke. Nggak masalah, setelah kamu 100% pulih, kamu kerja di perusahaan Papa." "Apa?" "Kamu kuliah bisnis dan mau pengalaman, sementara Papa perlu pengganti di masa mendatang. Win win solution." "Maksud Papa, aku ganti Papa urus AtmadjaLand?" "Iya." Kania menunduk, memperhatikan kedua telunjuknya yang bertautan tanpa disadari. "Alby lebih hebat mengurus bisnis daripada aku. Dia lebih berpengalaman. Di masa mendatang..." Kania memberanikan diri menengadah, menatap lamat-lamat wajah Pak Ryan. "Alby yang bakal jadi penerus Papa." "Siapa bilang?!" tanggapan keras terdengar dari belakang Kania, dalam hitungan detik sang empunya suara sudah berdiri di samping Kania. "Mama?" Ibu Yohana memberikan tatapan tajam ke Pak Ryan lalu ke Kania, kemudian melanjutkan kalimat beliau, "AtmadjaLand selalu diteruskan sama keluarga, bagaimana bisa Alby menjadi penerus?" "Alby bakal menikahi aku, bukannya itu tujuan Papa menjodohkan aku sama dia, AtmadjaLand semakin kuat dan besar. Penggabungan dua perusahaan raksasa di Indonesia." Kania sekuat tenaga tidak terlihat gentar, padahal raut wajah orangtuanya sangat mengitimidasi—begitu keras—menahan marah. "Kania..." Pak Ryan berdiri, memasukkan kedua tangan ke saku celana, lalu menggeleng pelan. "Papa lebih suka kalau perusahaan dikelola anak Papa." Kania menggigit bibir bawah kuat-kuat, haruskan dia tertawa sekarang, karena apa yang dikatakan Pak Ryan terdengar seperti lelucon. Sejak kapan Pak Ryan percaya anak perempuannya, terutama Kania, bisa mengelola perusahaan besar itu? Tidak jarang Kania mendengar Pak Ryan mengeluh, karena tidak memiliki keturunan laki-laki. "Lebih suka perusahaan dikelola anak Papa, atau ini ada hubungannya sama Alby?" Ibu Yohana nyaris bicara kembali, namun Pak Ryan lebih dulu mencegah dengan menarik ujung siku Ibu Yoahan. "Kania, sebenarnya inti dari pembicaraan kamu itu apa?" Kania menarik napas tajam. "Kenapa Papa memutus segala bentuk komunikasi aku sama dunia luar? Aya? Alby? Kenapa sampai detik ini Kania nggak pernah ketemu Alby?" "Kami mau kamu pulih tanpa gangguan," jawab Ibu Yohana datar. "Kalau urusan Alby ... dia sibuk sama hotel dan Mega Tarinka, bagaimana dia punya waktu buat urus kamu? Dari dulu dia kan selalu sibuk." "Bohong!" tukas Kania. "Apa Kania?" Ibu Yohana nampak terkejut, begitu pun Pak Ryan. "Mama bohong. Semua yang Mama dan Papa bilang selama ini bohong." "Kania..." Panggilan Pak Ryan terdengar seperti peringatan. "Kenapa sih, Pa? Ma? Papa Mama marah karena aku kecelakaaan? Iya? Itu bukan salah Alby! Aku aja yang kurang hati-hati." Kania tidak acuh pada peringatan Pak Ryan, terus saja bertanya—menantang, bahkan terlihat sangat marah. "Konyol." "Yang konyol itu kamu!" bentak Ibu Yohana, beliau melepaskan tarikan Pak Ryan, melemparkan LV seri BEAUBOURG MM ke sofa. Dengan setengah membungkuk Ibu Yohana merengkuh kuat kedua bahu Kania. "Sadar nggak sih kalau semua yang kamu lakukan dari dulu itu konyol?! Hah? Jelas-jelas Alby nggak pernah peduli sama kamu!" "Mama ngomong apa sih? Alby—" Kania menggeleng, tidak terima. "Alby peduli sama aku. Mama jangan asal tuduh." "Asal tuduh? Mama sudah tau semuanya, Kania! Mama baca buku diary kamu! Bagaimana Alby bersikap dari awal ke kamu? Berpura-pura menerima kamu di depan kami!" "Ma..." Kania dan Pak Ryan kompak memanggil Ibu Yohana, namun diabaikan. "Apa bagusnya laki-laki itu sampai kamu berkorban sebanyak itu?! Kamu liat Kiandara! Apa yang dia dapat setelah mencintai salah satu dari Bagaskara itu?! Nothing!" Ibu Yohana semakin hilang kendali, bahkan air mata Kania pun tidak kuasa menghentikan kalimat demi kalimat menyakitkan. "Kamu mau bernasib seperti Kiandra? Iya? Sakit hati, lalu pergi begitu saja! Oh iya, Mama lupa ... kamu memang mau pergi dari kami. Apa kamu bilang? Rumah ini penjara tanpa sel. Orangtua yang nggak mengerti kamu." "Ma, nggak... Maksud aku—" "Mama sadar betul, selama ini bukan orangtua yang baik buat kamu. Itu alasan utama, kenapa akhirnya Mama atau Papa bersikap seperti ini. Berusaha menjauhkan kamu dari sakit hati." "Ma, dengerin aku," Kania memohon. Dia perlu membela Alby, yang tertulis di diary itu masa lalu. "Nggak! Kamu yang dengerin Mama!" tegas Ibu Yohana. "Nggak ada yang salah dari mencintai seseorang, tapi jangan jadi t***l karena itu." Ibu Yohana melepaskan tangan dari bahu Kania, mundur beberapa langkah, mengambil tas yang beliau jatuhkan, lalu meninggalkan ruangan begitu saja. Kania menatap Pak Ryan yang terdiam sambil memijat tulang hidung, sambil menangis. Orangtuanya salah paham. Sang ibu marah buat hal yang telah lalu. "Pa..." Kania berusaha tidak putus asa, mencoba buat meyakinkan Pak Ryan. "Mama salah paham." Kania memajukan tuas kursi roda ke tempat Pak Ryan berdiri, hati-hati meraih tangan Pak Ryan. "Itu ... semua yang aku tulis udah berlalu. Alby ... kami baik-baik saja. Alby nggak pura-pura lagi, Pa. Ka—" "Nia." Untuk pertama kalinya Pak Ryan menangkup wajah Kania, membuat tangis Kania semakin kencang—hatinya sakit dan tersentuh secara bersamaan. "Kalau semua memang sudah lalu, dan Alby membalas perasaan kamu, laki-laki itu pasti mau mengambil kamu sebagai istri—tapi nyatanya dia nggak mau." "Apa, Pa?" "Waktu kamu kecelakaan. Jujur, dokter—Mama Papa sempat putus asa sama kondisi kamu. Mama Papa juga sangat menyesal dengan semua hal yang terjadi sebelum kecelakaan, sikap kami ke kamu, tuntutan kami." Ibu jari Pak Ryan mengelus pipi Kania dengan lembut. "Saat dokter bilang kami harus siap kehilangan kamu, Mama merasa harus melakukan satu hal. Membahagiakan kamu. Kalau seandainya saat itu Tuhan meminta kamu kembali, seenggaknya kamu harus pergi bukan sebagai putri Atmadja tapi menantu Bagaskara—istri Alby—laki-laki yang sangat kamu cintai. Jadi Mama memohon, benar-benar memohon, Nia. Meminta Alby menikahi kamu, tapi ... dia nggak mau."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN