BARRY baru saja bangun dari tidur siang yang panjang, rencananya menikmati sisa hari dalam ketenangan sepertinya berhasil. Dia masuk jam 13.00, sekarang sudah 18.30–tidak ada gangguan yang datang.
Tidak perlu drama membujuk Kania, karena gadis itu sudah lebih dulu memberitahu bakal latihan esok hari. Kewajiban laporan ke Alby pun tak perlu, karena sudah bertemu sama Kania tadi pagi. Andai saja hari bisa berjalan terus seperti ini...
Barry memiringkan badan, mengambil handphone—ada dua telepon dari sang kakak dan tiga dari adik perempuannya. Sudah bisa menebak alasan kedua saudaranya itu menelpon, Barry memilih lebih dulu menelpon ulang Bianca—adik semata wayangnya.
"Kenapa, boncel?" tanya Barry tanpa basi-basi begitu teleponnya diangkat.
Suara kekeh pelan terdengar di seberang sana, membuat senyum tipis Barry langsung muncul. "Bang, kapan ke Depok? Oh ya, aku udah cek transferan..." Kalimat itu berhenti sebentar, terganti tawa yang lebih renyah. "Thank you ya, Bang, udah dilebihin. Jandi enak aku tuh."
"Nggak tau nih, tapi gue usahain nengok lo minggu depan... kan ada tanggal merah tuh, nanti gue izin." Barry duduk tegak di ranjang, menyugar rambut hitamnya ke belakang, lanjut mengusap tengkuknya. "Jarang-jarang gue lebihin uang mingguannya, dipake yang bener, kalau bisa ke salon sana—facial, creambath, atau apa gitu—yang buat lo nggak stres."
"Mau aku pake buat beli novel. Sama aja bisa ilangin stres."
"Ya terserah lo, boncel."
"Eh, Abang, kalau mau ke Bandung nengok Kak Benita sama Ibu—ajak aku."
"Yakin mau ketemu Ibu?" Tidak ada sahutan di seberang sana, hanya helaan napas yang membuat Barry mengusap keningnya. "Jangan dipaksa, Bi. Gue—"
"Nggak kok, Bang. Itu kan Ibu aku juga, ya walaupun Ibu selalu musuhin aku—tapi ... aku mau liat Ibu."
"Oke, nanti—" Kalimat Barry terhenti, terkejut dengan gedoran nyaring di pintu kamar—dilanjut teriakan Bik Ninuk memanggil namanya.
"Kenapa, Bang?"
"Nggak papa. Kayaknya ada drama lagi."
"Hah?"
"Nanti gue telepon lagi. Lo jaga diri, jaga kesehatan. Oke?" Lalu, Barry menutup telepon cepat-cepat. Dengar berat hati memisahkan diri ranjang, mengambil secara asal kaus dan memakainya cepat sebelum membuka pintu. Dan ya, tebakannya soal drama sepertinya tepat, kalau tidak ada—tidak mungkin Bik Ninuk memasang wajah panik yang menjengkelkan itu. "Kenapa, Bik?" tanyanya sambil bersandar malas di kusen pintu, bersikap lemas—kelelahaan.
Bik Ninuk tidak menjawab, langsung saja menggeret Barry—membuat Barry kelimpungan menutup pintu kamar.
"Ada apa sih? Gawat?" Mau tidak mau Barry pasrah, siapa juga yang berani melawan emak-emak panik macam Bik Ninuk.
"Banget," sahut Bik Ninuk, menyeret Barry menaiki tangga—berjalan cepat sampai ke depan pintu kamar Kania.
Gue pikir ketemu Alby bikin nih cewek tobat, tenyata mental, gaes! runtuk Barry dalam hati. Barry sudah siap bertanya lagi, tapi suara barang dipecahkan di dalam sana—merapatkan bibirnya. Barry memandang Bik Ninuk, yang langsung ditanggapi dengan kedua bahu terangkat dan gelengan pelan.
"Dari keluar ruangan Bapak, Non Nia aneh. Di kamar diam aja, tiba-tiba nangis, terus diam lagi. Eh, pas Bibi anterin makan, dibuang. Semua obat-obatan di meja juga."
Barry menghela napas kasar, bertanya dalam hati, Terus apa hubungannya sama gue? Gue ini terapis jalan, bukan pawang ratu drama! By, By, kok bisa sih lo kuat pacaran sama cewek macem gini.
"Mas Barry..." Bik Ninuk nampak bingung dengan raut wajahnya, yang dia sendiri bingung harus menggambarkan seperti apa.
Barry mengangguk maklum, menepuk bahu Bik Ninuk ringan, lalu membuka kamar dengan gagah berani.
Begitu masuk, Barry mengerti kenapa Bik Ninuk terlihat panik dan ketakutan. Kamar mewah yang biasanya rapi itu terlihat berantakan, seperti gempa. Kania berada di tengah-tengah ruangan, duduk di kursi roda, menangis tersedu-sedu, dikelilingi banyak barang yang berhamburan, bahkan lantai marmer itu juga basah dan kotor.
Barry menghirup napas kuat-kuat, berusaha mengambil sebanyak-banyaknya udara—membuat cadangan—siapa tahu waktu dia maju dan bicara sama gadis itu, menipiskan kesabaran sekaligus oksigen. Baru satu langkah, pintu kamar terbuka kembali—Pak Ryan dan Ibu Yohana masuk. Dan Barry menepuk jidat tanpa disadari.
"Apa-apaan ini?! Kania!" Ibu Yohana setengah menjerit, sangat menyakitkan telinga Barry.
Orangtua Kania itu siap maju, namun Barry menghalangi secara otomatis—entah kenapa. "Biar saja Bu, Pak." Barry bicara dengan nada serius, melirik Kania yang boro-boro memandang ke arah dia dan orangtua Kania berdiri. "Sebelumnya Mbak Kania sudah pernah seperti ini, dan saya bisa menghadapinya—saya rasa, kali ini juga bisa."
Tidak memaksa untuk maju, Pak Ryan dan Bu Yohana keluar dari kamar, walaupun Pak Ryan perlu menarik paksa Bu Yohana—yang terlihat masih mau bicara sama Kania. Setelah tenang, Barry berjalan cepat menuju ke depan Kania.
"Keberadaan kamu di sini, nggak diperlukan lagi," kata Kania, begitu Barry berlutut di depan Kania sambil merapikan pecahan piring, mangkuk, dan gelas.
"Kok bisa? Mbak Nia saja belum jalan, berdiri aja masih sulit." Barry terdengar tidak acuh, terus saja mengumpulkan pecahan—menjadi satu.
"Kamu suruhan Alby, percuma, paling cuma sandiwara dia saja."
Barry berhenti, lalu memandang Kania. "Sandiwara?"
"Iya. Supaya dia terlihat peduli, padahal nggak."
"Masa sih?"
"Kalau memang semua perasaan dia ke saya nyata, pasti dia mau menikahi saya."
"Nikah? Kapan Alby diminta menikahi Mbak? Ketemu Mbak aja susah."
"Waktu saya di rumah sakit, setelah kecelakaan."
"Mbak Nia sendiri yang minta Alby nikah?"
Kania menggeleng, masih mempertahankan raut wajah keras.
"Terus siapa yang minta Alby nikah sama Mbak?"
"Orangtua saya."
"Mbak udah bangun?"
Kania menggeleng, lalu Barry menunduk dalam-dalam—lanjut lagi mengumpulkan serpihan beling, berusaha keras menyembunyikan tawanya. "Kenapa kamu ketawa gitu? Kamu ngeledekin saya?"
"Nggak." Barry memberanikan diri membalas tatapan Kania. "Mbak, saya tuh kenal Alby bukan itungan bulan tapi tahun. Bahkan sebelum Mbak ketemu dia kali... saya juga kenal Bagaskara yang lain, Mas Diaz, Alfa, Abe. Saya tau sifat mereka kayak apa, dan Alby ... sifat dia tuh beda."
Perlahan raut wajah Kania melunak, walau kilatan kesal belum hilang dari mata cewek itu.
"Alby itu orang yang penuh perhitungan, buat masalah kecil—kayak mau makan apa dia mikir panjang, jamnya cocok buat makan berat atau ringan, kalau makan itu—makan selanjutnya enaknya apa." Saat mengatakan hal itu, diam-diam hati kecil Barry bertanya; buat apa menenangkan Kania seperi ini? Itu urusan pribadi Kania-Alby, bukan urusan dia. Namun, melihat Kania terlihat buruk—menangisi sesuatu yang konyol, membuat Barry tidak suka. "Kalau buat hal itu aja Alby mikir segitunya, apalagi hal besar—seperti pernikahan...."
Entah terlalu sibuk mengamati dan memastikan perubahaan wajah Kania, atau sisi cerobohnya sedang muncul—Barry tidak sengaja melukai jarinya dengan salah satu pecahan piring.
"Sialan!" ketus Barry pelan. Siap mengarahkan jari manisnya ke bibir, mendadak jari itu direbut oleh Kania—yang entah kapan menjalankan kursi roda otomatis mendekatinya.
"Jorok!" kata Kania datar, membawa jari manis Barry ke pangkuan, lalu mengelapnya dengan keliman baju yang Kania pakai.
"Sama-sama jorok, Mbak. Kirain ada adegan romantis, dielap pake sapu tangan bunga-bunga, terus dikasih senyum paling manis, terus... awwww! Sakit, Mbak! Kok ditekan gitu?!"
Masih dengan wajah datar, Kania melepaskan jemari Barry, menjalankan lagi tuas kursi roda menuju lemari putih bawah telivisi, lalu kembali dengan membawa hansaplast bergambar piglet.
"Eh, tunggu! Mbak mau pakein saya itu?"
Tidak menjawab, Kania kembali mengambil alih jari Barry dan memasang hansaplast itu, diiringi celoteh protes Barry. Setelah hansaplast itu terpasang, keduanya terdiam cukup lama. Dan Barry tahu, Kania masih memikirkan penolakan Alby.
"Mbak, yang saya tau—Alby sangat peduli sama Mbak. Kalau urusan menikah, pasti dia punya alasan tepat kenapa nggak melakukannya. Cukup percaya sama dia, Mbak. Fokus sembuh. Dan semua bakal jadi lebih mudah."