Arka tertegun di tempatnya. Mata zamrudnya menatap kepergian Bintang dengan nanar. Bahkan sakitnya masih terasa di hatinya. Perlahan tangannya meraba dadanya yang terasa sesak.
"Maaf, Kak. Bintang enggak bisa balas cinta, Kak Arka."
"Kenapa? Apa aku enggak baik buat kamu?"
Bintang segera menggelengkan kepalanya.
"Enggak bukan begitu, Kak Al. Kak Arka sangat baik sama Bintang, tapi ... tapi, Bintang sudah menemukan kebahagiaan Bintang sendiri. Lebih baik, Kak Arka, cari saja gadis yang lebih baik dari Bintang."
Seketika itu juga dunia Arka runtuh mendengar perkataan Bintang. Bahkan dia belum menjalani hubungan apapun tapi dia sudah ditolak duluan oleh gadis itu. Rasanya sangat sakit saat cinta pertamanya hilang dari pandangannya. Rasa sakit saat cinta yang dirasakannya bertepuk sebelah tangan.
Kata siapa cinta tak harus memiliki? Buktinya sekarang dia tidak bisa melakukan apapun. Terasa sengsara jika kita tidak memiliki orang yang kita cintai, tapi kenapa orang-orang begitu mudah mengatakan kalau 'CINTA TAK HARUS MEMILIKI?'
Semudah mereka bicarakan tapi sangat susah untuk dilakukan. Setiap orang pasti ingin menggenggam setiap cintanya, pasti ingin memilikinya bukan hanya dilihat saja, bukan hanya untuk dirasakan.
Akan lebih bahagia jika kita membuat orang yang kita cintai tersenyum, bukan karena orang lain.
Arka meninju tembok yang ada di sampingnya dengan sangat keras. Dia berusaha untuk menyembunyikan lukanya, tapi dia tidak mampu. Luka yang selama ini ditahan-tahannya semakin menganga lebar, membuatnya terasa sangat perih.
Dulu dia selalu berharap jika dia bisa hidup bersama dengan Bintang. Mempumyai anak serta cucu dan meninggal duluan. Tapi nyatanya, dia harus membuang jauh-jauh harapannya, karena orang yang ikut andil dalam mimpinya telah pergi memilih orang lain.
Lelaki yang dianggap Bintang lebih baik daripada Arka.
Arka mengadahkan kepalanya ke atas langit yang diselimuti oleh awan kelabu. Mata hijau gelapnya terlihat begitu luyu dan tidak bersemangat, dengan perlahan dia melangkahkan kakinya menuju tempat di mana dia bisa mengurangi rasa sakit di hatinya.
***
Tempat yang dituju oleh Arka adalah Kafe Seven. Satu-satunya tempat yang membuatnya tenang setelah rumah milik Raka yang kini ditinggali oleh kedua orangtuanya. Di sini dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan, dia bisa berbagi keresahan bersama sahabat-sahabatnya walaupun Arka enggan untuk melakukannya.
Arka terus berjalan melewati deretan kursi serta meja yang berada di lantai dasar. Tujuan utamanya adalah atap kafe, tempat terbuka yang bisa menyegarkan otaknya yang sumpek.
Sahabat-sahabat Arka yang malam itu sedang berkumpul tampak mengerutkan keningnya melihat Arka yang terlihat aneh dari biasanya. Apalagi mata zamrud yang biasanya ceria itu terlihat redup. Fariz yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya menatap adik serta sahabatnya.
"Kenapa dengan Arka? Dia terlihat aneh." Gumam Hariz heran.
Fariz dan Ethan mengangguk setuju. Mereka juga penasaran dengan keadaan sahabat baik mereka.
Tiba-tiba saja Hariz tersenyum sangat lebar, bahkan dia menjentikan jarinya di depan wajah kakaknya serta Ethan.
"Apa?" sewot Fariz tidak terima dengan tindakan yang dilakukan oleh adiknya yang tidak sopan itu.
"Gue tahu kenapa Arka kaya gitu?" Hariz semakin melebarkan senyumannya lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Pasti dia habis ditolak sama Bintang,"
"Bagaimana lo bisa tahu?" selidik Fariz.
Hariz mengangkat bahunya tidak tahu, dia berbicara berdasarkan perasaannya tidak lebih. Membuat Fariz dan Ethan geram dengan tingkahnya.
Perhatian ketiga pria yang sedang berkelahi itu terhentikan tatkala melihat seorang pria tampan sedang berjalan ke arah mereka seraya memasang wajah datar dan dinginnya. Sangat jelas kalau pria itu sedang marah.
"Ini lagi, kenapa lo? Tugasnya gagal?"tanya Ethan yang sangat tahu kau Noah bekerja sebagai agen mata-mata sebuah lembaga swasta yang cukup terkenal.
Noah menipiskan bibirnya, mendudukan dirinya di atas kursi, sebelum mengeluarkan suaranya, dia menarik napas dalam-dalam lalu berkata,
"Enggak, tugasnya berhasil hanya saja ... satu tahanan sangat merepotkan." Jawab Noah terlihat lelah.
Ketiga pria itu mengangguk mendengar jawaban Noah yang selalu sama jika ditanya oleh mereka, atau siapapun. Jadi walaupun jawabannya tidak memuaskan, mereka hanya bisa manggut-manggut saja.
"Noah!" panggil Hariz tiba-tiba ketika kepalanya mengingat keanehan Arka.
Noah memutar bola matanya jengah, sejujurnya dia sudah mengetahui permasalahan Arka. Bukan karena tadi dia mengintip pembicaraan Arka bersama Bintang, melainkan dari kepala para sahabatnya yang dipenuhi oleh keanehan sikap Arka yang lain dari biasanya.
Lagipula Noah tahu kenapa Arka seperti itu.
"Gue capek, entar aja deh." Ucap Noah malas.
Sontak ketiga pria tampan itu menatap Noah dengan tatapan tajam setajam silet. Noah yang melihatnya hanya bisa mengendus kesal.
"Ok, ok. Gue pergi dan bicara sama Arka. Tapi please! sekarang biarin gue istirahat dulu. Jadi sana pergi, jangan ganggu gue!"
Ethan, Fariz serta Hariz melotot ke arah Noah. Mereka tidak menggubris ucapan Noah dan malah membangunkan Noah dari duduknya.
"Enggak, lo harus ngelakuinnya sekarang. Enggak ada istirahat buat lo." Ucap mereka barengan.
"Berisik." Noah mendelik kesal saat ketiga sahabatnya mendorongnya menuju tangga yang mengarah ke atap kafe. "Awas saja kalian!" ujar Noah sebelum menghilang dari pandangan ketiga pria tampan.
"Sekarang tinggal tunggu pertunjukannya." Kata Ethan senang yang dibalas anggukan kepala oleh Fariz dan Hariz.
***
Entah sudah berapa lama Arka berdiri di atap kafe yang didesain menyerupai taman kota versi kecil. Sedari tadi dia hanya berdiam diri, menatap ke depan, tidak menghiraukan angin malam yang bisa membuat tubuhnya sakit.
Sementara itu Noah sedang tertidur di ayunan taman. Wajahnya terlihat begitu damai menandakan kalau dia tertidur sangat pulas. Tadinya dia memang ingin berbicara dengan Arka tapi Noah mengurungkan niatnya. Tubuhnya terlalu lelah untuk berbicara, maka dari itulah sembari menunggu Arka merenung. Noah mengistirahatkan dulu tubuhnya.
Arka menghembuskan napas kasar, sudah terlalu lama dia berada di luar. Tapi tak sekalipun membuat tubuhnya menggigil kedinginan, tubuhnya terlalu kuat untuk hanya sekedar diserang virus flu. Kenapa begitu? Karena dulu sebelum Raka meninggal, papanya itu menyuntikan vaksin yang bisa mencegah penyakit agar tidak menyerang tubuhnya. Dan hal itu dilakukan Raka juga pada Noah.
Mengingat Noah. Arka membalikam tubuhnya, menatap Noah yang sedang gelisah dalam tidurnya. Hal yang selalu dilihatnya jika dia tidur bersama Noah sedari kecil. Perlahan Arka melangkahkan kakinya menghampiri Noah, berniat untuk membangunkannya.
Tapi Arka dibuat terkejut ketika Noah menggumamkan sesuatu yang terdengar begitu menyakitkan.
"Jangan sakiti aku! Kumohon ... Jangan, sakit ..., jangan pukul ... Sakit, kumohon hentikan, sa ... kit ...."
Arka mengernyit pelan, wajah Noah tampak kesakitan.
Sepertinya mimpi yang dialami Noah begitu buruk, sebelumnya dia tidak pernah melihat Noah kesakitan seperti ini bahkan saat sahabatnya itu disayat oleh pisau sekalipun. Tapi sekarang Arka merasa melihat oranglain, diri Noah yang sebenarnya.
"Noah!" panggil Arka membangunkan Noah dari tidurnya.
"Jangan! Kumohon jangan! Sakit ...." Suara rintihan itu kembali terdengar dari mulut Noah.
Allen dan ayahnya bilang kalau Noah mempunyai masalalu yang kelam dan menyedihkan. Apa sekarang ini Noah sedang memimpikan masa kecilnya yang kelam? Tanya Arka dalam hati. Lalu dia kembali membangunkan Noah.
"Noah, bangun!!"
Usaha Arka untuk membangunkan Noah berhasil, dia melihat Noah yang tampak terkejut dengan napas tersengal serta keringat dingin yang bercucuran di sepanjang pelipis serta dahinya.
"Lo nggak papa?"tanya Arka setelah menunggu cukup lama.
Noah mengalihkan perhatiannya pada Arka, dia tahu kalau sahabatnya itu sedang mengkhawatirkannya. Maka dari itu Noah menggelengkan kepalanya dan tersenyum walaupun dalam hatinya dia merasa ketakutan setengah mati.
"Enggak, gue nggak apa-apa. Hanya mimpi buruk." Noah menarik napas panjang yang disaksikan oleh Arka. "Elo sudah merenungnya?" tanya Noah mengalihkan perhatian, tidak ingin membuat Arka mencemaskannya dan menanyakan hal yang tak ingin dijawabnya.
Arka mengerutkan keningnya tidak mengerti. Lalu setelah berpikir cukup lama akhirnya dia mengerti maksud Noah. Arka menghembuskan napas panjang lalu duduk di sebelah Noah, mata hijaunya menatap ke atas langit hitam, tidak ada hiasannya sama sekali, hanya awan gelap yang menaunginya.
"Jadi lo nyerah sekarang?" Noah tersenyum kecil ketika melihat isi kepala Arka yang sudah membuat keputusan. Bersyukur karena Arka tidak mengungkit masalah mimpinya lagi.
Arka menganggukkan kepalanya. Setelah dipikir-pikir lagi, tidak ada gunanya juga dia mengejar seseorang yang jelas tidak menginginkan kehadirannya. Mungkin Bintang bukanlah jodohnya, masih ada banyak wanita lain yang mungkin lebih baik dari Bintang.
"Ya, gue nyerah. Bintang bukan jodoh gue kali." Sahutnya disertai dengan senyuman pahit. Walaupun begitu, Bintang masih mendiami ruang di hatinya.
"Kenapa?"
"Karena Bintang enggak bahagia sama gue." Arka menundukkan kepalanya, "gue hanya mau hidup sama orang yang tulus cinta sama gue bukan karena sandiwara belaka."
Noah menaikan sebelah alisnya, masih mempertahankan sikap cuek dan datarnya. Padahal dalam hatinya dia sangat ingin menyemburkan tawanya, melihat wajah Arka yang tidak seperti biasanya membuatnya terlihat sangat lucu.
"Bagus, itu baru namanya sahabat gue." Ucap Noah seraya merangkul Arka. "Lagipula, ada saatnya lo bakal ketemu sama jodoh lo. Dan jika itu terjadi lo mesti perjuangin dia!"
"Doakan saja."
"Haha, tenang, gue bakalan ngedoain lo supaya ketemu sama jodoh lo. Dan gue juga bakal bantu lo buat move on dari Bintang."
"Thanks, No. Lo emang sahabat, saudara gue paling the best deh."
Noah terkekeh pelan. "Welcome, take it slow, Brother." Ucapnya seraya memamerkan senyuman lebarnya.
***
Sejak pembicaraan malam itu. Keadaan Arka berangsur-angsur membaik. Dia tidak lagi memunjukan kesedihannya karena dicampakan oleh Bintang justru sebaliknya. Lelaki itu lebih semangat, dia menggaet banyak klien untuk berinvestasi di perusahaannya, membuat sang ayah—Aidan—bangga melihatnya. Arka juga sering mengunjungi kafe dan kumpul bersama sahabat-sahabatnya.
Jauh dalam hatinya Arka masih merasakan sakit setiap mengingat kenangan Bintang. Tapi Arka selalu menampiknya dengan cepat, dia akan mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya dan berkumpul bersama teman-temannya yang memang sangat jarang dilakukannya karena terlalu sibuk mengejar seorang gadis yang tidak bisa didapatkannya.
"Akhirnya, lo insaf juga." Celetuk Fariz saat sedang berkumpul di kafe. "Harusnya dari dulu lo kayak gini. Bukannya sibuk ngejar Bintang mulu." Imbuhnya dengan nada kesal.
Arka mencibir, kesal karena selalu menjadi sindiran dari dua bersaudara yang begitu menyebalkan.
"Serah lo gue enggak peduli." Ucap Arka pada akhirnya seraya menyesap kopi panasnya.
Sekarang dia sedang bersama kelima sahabatnya yang tak lain adalah Fariz bersama istrinya Gabriella yang tak lain adik kandung Ethan. Hariz, Ethan dan Cloe—istrinya. Noah tidak tahu ke mana, lelaki itu sering pergi tanpa kabar. Lalu Ariel dan Valen, mereka jarang ngumpul malam dikarenakan jam yang diterapkan oleh Adam serta Rafael.
"Jadi kamu sudah nyerah buat ngejar Bintang lagi?"kali ini Cloe, sang dokter sekaligus partner Ethan di rumah sakit.
Arka memutar bola matanya jengah. Sudah ratusan kali dia mendapat pertanyaan yang sama dari orang-orang, dan sudah berapa kali juga dia bilang kalau dia ....
"Sudah gue bilang; gue nyerah buat ngedapetin Bintang. Dia berhak meraih kebahagiaannya sendiri."
"Lalu bagaimana dengan perasaanmu?"
Arka diam, mata zamrudnya meredup untuk beberapa saat. Dia menarik napas panjang lalu berkata,
"Jujur gue memang belum bisa melupakan Bintang. Tapi, sebisa mungkin gue mertahanin hati gue buat enggak ganggu Bintang." Arka menundukkan kepalanya. "... Mungkin gue mesti cari cewek lain lagi." Ucapnya tak tahu apa yang harus dikatakan.
Gaby—sebutan untuk Gabriella—merengut tidak suka ketika mendengar ucapan Arka yang terakhir. Mata cokelatnya memandang Arka tajam.
"Tapi jangan buat dia sebagai pelampiasan karena Kak Al tidak bisa mendapatkan Bintang. Jangan pernah coba untuk permainkan hati wanita, kualat tahu!" nasehat Gaby dengan bijak walau terselip amarah di dalamnya.
Arka sedikit tertegun dengan ucapan Gaby. Tapi secepat kilat dia menormalkan mimik wajahnya seperti biasa. Terlebih sekarang semua orang memandang ke arahnya, menyetujui nasehat istri sang Chef kafe itu.
"Tenang saja! gue enggak akan main hati kok. Jadi kalian tenang saja ..." Ucapan Arka terhenti tatkala ponselnya menyanyikan lagu Fall For You, milik Secondhand Serenade. "Tunggu bentar!"
Arka menggeser layar hijau dan menempelkan ponselnya ke daun telinga. Sedikit mengernyit ketika mengetahui siapa yang meneleponnya malam-malam begini.
"Hall—" belum sempat Arka menyapa sebuah suara di ujung telepon sana langsung memerintahnya untuk menjemputnya di sebuah klub ternama di Jakarta lalu sambungan terputus membuat Arka melongo dibuatnya. "Apa-apaan dia?"
"Kenapa? Siapa yang telepon?"cerca Ethan.
Arka mengangkat bahunya, memasukan ponselnya ke dalam saku celananya. "Noah, dia minta dijemput di klub. Katanya ban motornya kempes. Ya sudah, gue pergi dulu."
"Arka, gue ikut, ya?!" ujar Hariz tiba-tiba. Begitu berminat ketika Arka bilang mau pergi ke klub.
"Jangan! Lo mau dihukum sama papah?" bentak sang kakak yang tak lain adalah Fariz, membuat Hariz merengut dan mendesah kecewa karena tidak bisa pergi ke klub.
Setelah berpamitan. Arka ke luar dari kafe berjalan menuju parkiran tempat di mana mobilnya berada.
***
Dan di sinilah Arka sekarang. Berdiri di depan gedung sebuah klub ternama di kotanya. Kelab eksklusif yang hanya bisa dikunjungi oleh para membernya saja.
Pernah beberapa kali Arka masuk ke sana bersama sahabat-sahabatnya ataupun klien. Dan akhir-akhir ini dia begitu sering pergi ke sini disebabkan oleh kekacauan yang dibuat oleh Noah.
Arka melangkahkan kakinya masuk ke dalam klub. Suara hingar-bingar langsung menyentak gendang telinganya. Dia sedikit menyipitkan matanya, berusaha untuk mencari keberadaan Noah di antara ratusan manusia yang sedang menari tanpa kesadaran di kepala mereka.
"Woyyy, Arka!" panggil sang bartender.
Arka mengalihkan perhatiannya pada Gio yang sedang meracik minuman untuk pelanggannya. Dia berjalan ke arah meja bar membuat Gio tersenyum melihatnya.
"Hei, Bro. Apa kabar? Lama lo enggak ke sini. Bagaimana usaha lo buat dapetin cewek pujaan lo?"tanya Gio antusias.
Lelaki tampan bermata zamrud itu menghela napas berat. Tak perlu disebutkan Gio mengerti dengan keadaan sahabatnya sekarang. Lebih baik dia tidak meneruskan pertanyaannya jika tidak ingin mendapatkan amukan menyeramkan dari Arka.
"Sorry, jangan galau mulu! Di luar sana masih ada banyak cewek yang ngantre buat tidur sama lo." Arka mendelik mendengar ucapan Gio. "Hehe, bercanda. Mau minum apa?"
Arka menggelengkan kepalanya. Sekarang ini dia tidak dalam mood minum. Dia kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling klub, mencoba untuk menemukan keberadaan Noah.
"Lo sedang cari Noah?"tanya Gio mengetahui kenapa Arka datang ke sini. Dia terkekeh pelan, "saudara lo itu lagi asik berkelahi sama buruannya. Mungkin akan lama, soalnya musuhnya banyak. Walaupun Noah itu jago beladiri tapi kalau dikeroyok pasti memakan waktu banyak." Jelas Gio.
Arka mendesah pelan. Percuma juga dia datang ke sini jika Noah-nya saja tidak ada di dalam klub. Matanya memindai setiap ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang. Lalu tatapannya terhenti pada sosok wanita yang sedang berjalan cepat ke luar dari klub.
Arka memiringkan kepalanya sedikit, dengan mata yang terus memperhatikan gerak-gerik wanita itu. Dia merasa tidak asing lagi dengan wajah ketakutan itu. Arka mendengus kesal ketika wanita itu hilang dari pandangannya, padahal dia masih ingin menyelidiki wanita itu.
"Ya sudah, gue balik dulu."
"Enggak nunggu Noah dulu?"tanya Gio mengangkat kepalanya memandang Arka.
Arka menggelengkan kepalanya. "Jika ketemu, bilang naik taksi saja. Gue pulang dulu." Ucapnya berjalan pergi meninggalkan Gio.
***
Arka berjalan perlahan menuju parkiran mobil. Pikirannya sibuk oleh bayangan seorang wanita yang tadi dilihatnya. Hatinya dan kepalanya ngotot kalau dia pernah bertemu dengan wanita itu.
Tapi di mana??
Lelaki bermata zamrud itu menggelengkan kepalanya kesal. Setelah sampai di tempat di mana mobilnya terparkir. Arka mengulurkan tangannya hendak membuka pintu hingga ....
"Mas ... Mas to ... long saya!!" ucap seorang wanita dari belakang Arka.
Sontak Arka membalikan tubuhnya ke belakang. Seketika mata hijaunya membulat besar, melihat seorang wanita yang akhir-akhir ini selalu mendiami mimpinya. Wanita yang dijuluki Cinderella oleh Noah, wanita yang sebelah flat shoesnya ada padanya, dan wanita yang tadi dilihatnya sekaligus wanita yang sedang dipikirkannya.
"Loh kamu kan—" perkataan Arka terhenti tatkala seseorang memukul kepala wanita itu dari belakang. "Apa yang kau lakukan?"tanya Arka menahan tubuh wanita itu agar tidak jatuh.
Dua orang lelaki dengan tampang preman mendekati Arka dengan tatapan dingin di mata mereka.
"Berikan gadis itu pada kami!" perintahnya.
"Tidak!" bantah Arka. Tak perlu menjadi Noah yang bisa membaca pikiran setiap orang. Tapi Arka bisa memastikan kalau kedua preman ini ingin mencelakai wanita yang ada di dekapannya ini. "Apapun urusan kalian dengan gadis ini, aku tidak akan memberikannya pada kalian."
"Kau. Berani. Melakukannya." Desis salah satu dari mereka.
"Kenapa tidak?"entah mengapa Arka merasa tidak rela jika wanita yang sedang didekapnya ini berada di tangan dua preman bodoh itu. Maka dari itu dia memasukan tubuh wanita itu ke dalam mobil selagi masih ada waktu.
Saat Arka hendak berbalik kedua preman itu sudah berada di hadapannya. Dia sedikit mundur ke belakang ketika salah satu dari mereka melayangkan pukulannya. Baru saja menarik napas lega, preman satunya lagi langsung mengambil kesempatan memukul wajah Arka, dan kali ini dia tidak bisa lagi menghindar.
Arka menyeka darah yang mengalir di ujung bibirnya. Mata hijaunya menyala, menatap sengit kedua preman yang seenaknya memukul wajah tampannya. Tanpa ba-bi-Bu lagi Arka melayangkan satu pukulan telak pada kedua preman itu. Sedikit tersenyum ketika melihat lawannya tumbang hanya dalam satu pukulan saja.
Dia sangat berterima kasih pada Noah yang selalu memaksanya untuk ikut berlatih berbagai beladiri. Jadi dalam keadaan terdesak seperti sekarang dia bisa menggunakannya dengan sangat baik.
"Bodoh!" umpat kedua preman itu seraya bangun dari teparnya. Mereka kembali ingin memukul Arka tapi dengan cepat juga Arka menghindar, dan membalas pukulan mereka.
Sekali lagi mereka kalah di tangan Arka, membuat lelaki tampan bermata zamrud itu menyeringai lebar. Senang karena dia bisa memberi pelajaran pada orang-orang bodoh itu.
Dari kejauhan Arka melihat seorang lelaki bertubuh besar tengah berlari ke arahnya. Dia sedikit menyipitkan matanya, dalam sekejap Arka terdiam.
Dia ingat siapa lelaki bertubuh besar itu, lelaki yang dulu dia bodohi dan lelaki yang mengejar wanita yang kini berada di dalam mobilnya.
"Sial, gue harus segera pergi." Gumamnya langsung masuk ke dalam mobil. Dengan cepat dia menghidupkan mesinnya lalu menancap gas sekuat-kuatnya, dia tidak ingin wanita ini terkena bahaya lagi. Sudah cukup wanita itu dikejar-kejar oleh dua preman bodoh.
***