Part 19

1388 Kata
Di sana—lebih tepatnya di ruang keluarga Anthony—terlihat semua anggota keluarga sedang duduk dengan tegang. Mereka saling terdiam hingga akhirnya kedatangan Arka cukup membuat situasi terasa panas. "Arka!" panggil Bunda Reina dengan nada datar. Arka sudah tahu kalau hal ini pasti akan terjadi. Ayah dan ibunya ada di rumah Bintang, duduk bersama Om Adam dan Tante Rachel. Pasti mereka akan membicarakan tentang kehamilan Bintang. Om Adam menyuruh Arka untuk duduk di sofa sebelah bundanya, dengan patuh Arka menuruti perintah Om Adam. Sekilas mata hijaunya melirik Bintang yang kini sedang menundukkan kepalanya dengan air mata mengalir di pipinya. Di samping gadis itu ada Valentino yang senantiasa memeluknya. "Ada hal yang harus Om bicarakan denganmu, Arka." Ujar Om Adam memulai pembicaraannya. Arka menelan salivanya, wajahnya terlihat tenang. "Kamu sudah tahu bukan apa yang terjadi pada Bintang?" Arka menganggukkan kepalanya, masih dengan sikap tenangnya. "Bintang sudah menceritakan semuanya pada kami. Dan jujur, kami sangat kecewa pada Bintang terlebih lagi pada kami—selaku orangtuanya—karena tidak bisa mendidik Bintang dengan baik." Arka tahu ke mana arah pembicaraan ini. Pasti Om Adam memintanya untuk bertanggung jawab atas kehamilan Bintang. Dia menarik napas panjang. "Maaf, jika sebelumnya saya menyela perkataan Om. Tapi, mohon dengarkan penjelasan saya dulu." Om Adam tersenyum lalu berkata, "Silahkan!" Perlahan cerita itu mengalir dari bibir Arka. Dia menceritakan semuanya, tentang bagaimana di pergi ke klub atas paksaan teman kantornya, dia yang saat itu mabuk parah dan ditolong oleh Bintang—yang kebetulan ada di sana—pergi ke salah satu kamar kosong. "Walaupun begitu, tidak pernah sekalipun saya menyentuh Bintang. Di kamar itu saya hanya ... tidur ..." "Benarkah seperti itu ..., Bintang?"tanya Om Adam meminta pendapat kepada Bintang. Bintang terus menangis. Dia tidak menjawab pertanyaan ayahnya, tapi kepalanya menggeleng. Dalam artian, semua yang dijelasakan oleh Arka adalah kebohongan belaka. Nyatanya lelaki itu telah menyentuhnya hingga akhirnya dia mengandung anak Arka. "Om tidak bisa menyalahkan Bintang ataupun kamu sendiri, Arka. Tapi Bintang mengatakan sebaliknya, anak yang ada di rahim Bintang juga membuktikan semuanya." Arka mengerutkan keningnya, wajahnya terlihat jengkel, menyadari kalau Om Adam menyalahkannya. "Maksud Om? Saya benar-benar menyentuh Bintang?"kesal Arka dengan nada dingin, wajahnya berubah kaku. "Saya bersumpah demi apapun kalau saya. Tidak. Pernah. Menyentuh. Bintang. Sedikit pun." Tekan Arka. "Arka!" tegurBunda Reina. "Memang benar, Bunda. Tak pernah sekali pun aku menyentuh Bintang. Jika pun aku ingin, mungkin sudah dari dulu aku melakukannya, saat aku masih mencintainya. "Jika aku meniduri Bintang itu sama saja dengan mengkhianati Arafah. Aku tidak mungkin melakukan hal itu, aku tidak ingin lagi kehilangan orang yang kucintai." Semuanya diam, mereka saling menundukkan kepalanya. Hal seperti ini belum pernah mereka duga sebelumnya, Bintang hamil dan semua dugaan mengarah pada Arka. Bunda Reina dan Ayah Aidan tampak heran ketika tiba-tiba saja Valent menelepon atas perintah Ibunya untuk datang ke rumah mereka. Ada yang harus mereka bicarakan, dan Bunda Reina sangat terkejut ketika mendengar pengakuan Bintang. Maka itulah dia dengan cepat menelepon Arka dan menyuruh puteranya itu untuk datang ke rumah Om Aidan dan Tante Rachel. "Tapi keadaan tidak bisa berubah, Arka." Ujar Bunda Reina. "Bintang hamil, dan semua bukti mengarah padamu." "Bunda, sudah aku bilang bukan aku yang melakukannya." Sergah Arka lagi. Sontak semuanya menatap tajam, kecuali Ayah Aidan, Valent, dan Bintang. Sedangkan yang lainnya tampak sedang mengatur pernapasan serta emosi mereka. Om Aidan memilih diam, membiarkan Bunda Reina untuk bicara dengan putera kandungnya. "Lalu siapa kalau begitu?" Arka diam tidak menyahut. "Itu berarti kamu, Arka." Bunda Reina menarik napas panjang. "Jadilah lelaki sejati, buktikan pada kami kalau kamu benar-benar anak kami. Nikahi Bintang, bertanggung jawablah atas perbuatanmu." Seketika Arka membelalakkan matanya tidak percaya, dirinya harus bertanggung jawab atas apa yang telah oranglain lakukan? Hah, mimpi saja! "Aku tidak mau. Aku tidak akan bertanggung jawab apapun karena memang aku tidak melakukan apapun pada Bintang." Mata hijaunya menyala. "Harusnya, Om Adam tanya lagi sama Bintang siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya! bukan main asal tuduh saja, bisa saja Bintang berbohong." Plakk "Arka!" "Reina!" Arka memejamkan matanya ketika sebuah tamparan keras menghantam pipi kanannnya hingga memerah dan sedikit biru. Dia menundukkan kepalanya lalu kembali terangkat, iris hijaunya menatap manik hitam sang bunda sedih. "Bahkan, Bunda tidak percaya padaku?"gumam Arka ironi. Bunda Reina tampak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya pada Arka. Tadi dia tak sengaja melakukannya, dia terlalu kesal pada anaknya yang tidak bisa menjaga bahasanya dengan baik. Kini hatinya semakin teriris ketika melihat luka di mata hijau Arka. Tatapan yang dulu pernah dilihatnya ketika anaknya kehilangan Raka untuk selamanya. "Pernikahan akan tetap dilaksanakan. Kamu tidak bisa membantah apapun!" Bunda Reina sudah mengambil keputusan final yang memberatkan bagi Arka sendiri. "Dan aku tidak akan menikahinya, sebelum aku menenukan baj*ngan yang telah menyebabkanku seperti ini." Setelah itu Arka pergi meninggalkan mereka dengan wajah kaku. Memendam amarah serta kekesalannya yang hampir memuncak jika saja dia tetap berada di sana. ***   Arka buru-buru datang ke rumah agar bisa bertemu dan berbicara dengan Arafah. Entah mengapa hatinya merasa tidak tenang, dia takut kehilangan Arafah untuk kedua kalinya. Dan dia juga butuh senyuman Arafah, butuh suara lembutnya agar semangatnya kembali seperti semula. Suasana rumah tampak sepi, terlihat jelas kalau di sana tidak ada siapapun. Dengan panik Arka berjalan ke arah kamar Arafah dan langsung membukanya tanpa permisi. Kosong. Arka tertegun, ketakutannya selama ini akhirnya terwujud. Buru-buru Arka berjalan ke arah rak sepatu, dan hatinya mencelos ketika matanya tidak melihat flat shoes lusuh yang biasa selalu terletak di rak paling ujung. Yang artinya Arafah telah pergi meninggalkannya. Tiba-tiba saja Arka merasakan dadanya begitu sesak, kesal, amarah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Dia berjalan ke arah ruang kerjanya, melamun untuk beberapa saat hingga tiba-tiba saja dia menyapu semua barang yang ada di mejanya dengan tangannya sendiri. Barang-barang berserakan di bawah, tapi Arka tidak mempedulikannya, dia tidak peduli jika barang yang dihancurkannya adalah barang berharga atau sangat penting. Hatinya terlalu sakit untuk memikirkan semuanya. "Arrgghh, kenapa semuanya jadi seperti ini? Aku tidak pernah menyentuh Bintang apalagi menghamilinya? Tapi kenapa semuanya menyalahkanku? Apa salahku?" Arka mulai meracau. Dia terduduk di bawah meja, punggungnya menempel di dinding yang sangat dingin. Kedua tangannya menjambak rambut cokelatnya dengan frustrasi. Dadanya terasa begitu sesak, dipenuhi dengan perasaan amarah dan kesedihan. Ingin rasanya dia menghancurkan semuanya, berharap sakit di hatinya bisa menghilang. Tapi yang dilakukannya sekarang hanya diam dan ... menangis? "Kenapa kamu pergi, Ara? Apa kamu juga tidak percaya padaku seperti bunda yang tidak percaya padaku?" "Kenapa semua orang menghakimiku? Mereka tidak mau mendengar penjelasanku dan malah mempercayai pembohong itu." "Br*ngsek, kalian memang br*ngsek." Teriak Arka lalu kembali menghancurkan benda yang dilihatnya. "Harusnya kalian percaya padaku! Bukan menyalahkanku." Kini ruangan Arka yang biasa rapi itu terlihat sangat kacau. Pecahan beling berserakan di lantai menyatu dengan berkas penting serta laptop yang menyimpan banyak data penting. "Dan lo, Noah. Kenapa lo enggak ada waktu gue butuh lo. Saat gue ada masalah lo ngilang gitu aja, dasar pecundang." Racau Arka ketika mengingat Noah yang tidak ada saat dirinya membutuhkan bantuan lelaki itu. *** Semuanya terasa sangat berbeda setelah kejadian itu. Tiba-tiba saja suasananya terasa begitu dingin dan tidak seru. Kafe Seven yang biasanya selalu ramai tampak sepi, walaupun jumlah pengunjungnya meningkat setiap harinya. Dikarenakan semua pemilik saham Kafe Seven hampir sibuk semua. Noah masih berada di Finlandia untuk mengurus beberapa perusahaan yang bermasalah, begitu juga dengan Ariel yang sedang pergi ke Jerman, mengunjungi neneknya untuk beberapa hari ke depan. Sedangkan Arka, lebih memilih bekerja dengan sikap yang berubah drastis. Apalagi setelah Arafah pergi, lelaki itu jadi semakin dingin dan kembali pada sifat awalnya yang cuek, dingin bagai es. Hariz dan yang lainnya cukup memaklumi keadaan Arka sekarang. Sahabat mereka itu sedang membutuhkan waktu sendirinya, apalagi setelah apa yang terjadi padanya. Sepertinya menenggelamkan diri pada pekerjaan cukup membuat hati mereka tenang, walau resikonya Arka akan terkena demam atau sebagainya karena terlalu kelelahan. Bukannya mereka tidak tahu dan lebih memilih diam dengan apa yang terjadi pada Arka. Karena memang mereka tidak bisa membantu Arka untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang di hadapi Arka. Karena menurut mereka yang bisa menyelesaikan masalah ini hanya Noah seorang.     Noah adalah lelaki jenius dengan insting yang sangat tajam. Dia juga bisa membaca pikiran setiap orang. Dan itu menguntungkan Arka jika Noah datang dan menyelidiki siapa ayah dari anak yang dikandung Bintang. Lelaki itu bisa membaca pikiran Bintang dan omongannya akan dipercayai oleh semua orang. Tapi sayang, sekarang Noah sedang pergi ke Finlandia dan tidak bisa diganggu sama sekali. ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN