Part 18

1193 Kata
"Aku hamil ... anaknya Arka ...." Sontak Arafah tertegun mendengar kalimat yang diucapkan oleh Bintang. Dirinya merasakan sejuta aliran listrik yang menyengat tubuhnya dengan begitu keji. Hati kecilnya menyangkal perkataan Bintang tapi sebagian lagi menyuruhnya untuk mempercayai kalau Bintang benar hamil anaknya Arka. "Itu terjadi tiga minggu yang lalu," ujar Bintang mulai cerita. Walaupun pikirannya menyuruhnya untuk pergi dan tidak mendengar omongan Bintang, tapi hati dan tubuhnya berkata lain. Dia tetap duduk di hadapan Bintang dengan telinga yang setia mendengar setiap kalimat yang ke luar dari bibir wanita yang kini sedang mengandung putera Arka Orlando. "Tiga minggu lalu?" Lalu Arafah teringat malam itu. Malam di mana untuk pertama kalinya Arka tidak pulang ke rumah, dan saat pulang wajahnya terlihat sangat murung, begitu juga dengan tiga minggu terakhir ini. Apa keanehan yang terjadi pada Arka ada hubungannya dengan Bintang? "Aku masih ingat apa yang terjadi malam itu. Arka datang ke klub bersama teman kantornya, aku tidak tahu apa yang diminum atau apa yang dilakukan oleh Arka di sana. Karena yang kutahu saat itu adalah Arka mabuk berat." Suara Bintang tampak bergetar. Arafah mencoba untuk bertahan, walaupun hatinya merasa sakit. "Lalu, kami bertemu. Aku tidak tega melihat Arka yang saat itu mabuk berat. Jadinya aku berniat untuk mengantar Arka pulang dan membebaskannya dari wanita-wanita yang mengerubunginya. "Tapi, semuanya berubah ketika tiba-tiba saja Arka menciumku dan menyeretku ke dalam kamar yang terdapat di dalam klub sana. Lalu ... lalu semua itu terjadi begitu saja, aku tidak bisa mencegah Arka. Dia mabuk dan aku ..." Entah sejak kapan air mata itu menetes dari matanya. Yang Arafah rasakan sekarang adalah sakit hati, jadi sebab itukah akhir-akhir ini sikap Arka berubah, lebih murung dan seolah takut kehilangannya. "Dan sekarang aku mengandung anak Arka." Bintang menyelesaikan ceritanya dengan nada pelan. Arafah menundukkan kepalanya. Berusaha untuk menenangkan hatinya yang terluka. "Ara, maukah kau menolongku?"tanya Bintang penuh permohonan. *** Kini Arafah dan Arka duduk saling berhadapan. Saat pulang tadi, Arafah langsung memanggil Arka hendak meminta penjelasan pada lelaki itu. Arafah berusaha untuk menyiapkan mentalnya, agar nanti saat dia mendengar pengakuan Arka, hatinya tidak terlalu sakit. "Aku sudah tahu semuanya." Ujar Arafah tiba-tiba. Arka mengerut tidak mengerti. "Maksudmu apa?" Arafah menarik napas panjang, mata cokelatnya memandang Arka nanar. Haruskan dia meninggalkan Arka demi kebahagiaan orang lain? Sanggupkah jika dia kehilangan lelaki yang dicintainya, pahlawannya? "Bintang." Arafah memberi petunjuk atas maksudnya dia duduk di sini bersama Arka. Mendengar nama Bintang disebut membuat Arka tertegun seketika. Mata hijauhnya berkilat terkejut. Apa Arafah sudah mengetahui semuanya? Bagaimana bisa? "Tadi Bintang datang menemuiku. Dia menceritakan semuanya kalau ..." Arafah tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Hatinya terlalu sakit untuk meneruskan ucapanya kalau Bintang hamil anak Arka. "Itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Bintang salah, anak yang dikandungnya bukan anakku." Sergah Arka cepat. Arafah membelalakkan matanya tidak percaya. Arka menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. "Malam itu aku memang tidak pulang dan pergi ke klub bersama teman kantorku. Dan aku juga mabuk, tapi aku masih ingat apa yang terjadi malam itu. Tak pernah sekali pun aku menyentuh Bintang." "Tapi, dia yang menolongmu." "Dia memang menolongku." Arka mengakui. "Tapi, hanya sebatas menolong tidak lebih. Tidak mencium ataupun menyentuhnya," sergah Arka frustrasi. Dia benar-benar sangat frustrasi menghadapi situasi ini. Apalagi kemarin siang Bintang tiba-tiba saja datang ke kantornya dan memberikan test pack beserta surat pernyataan dokter kalau gadis itu sedang mengandung. Dia ingat dan tahu betul jika malam itu dirinya sama sekali tidak menyentuh Bintang, walaupun saat itu mereka tidur satu ranjang, tapi tidak ada kejadian apapun di antara mereka. "Tapi kalian—" "Kami memang tidur satu ranjang. Tapi, itu tak berarti apa-apa, karena aku hanya tertidur saja, tidak lebih." Ingin rasanya dia mempercayai ucapan Arka, tapi sebagian hatinya menolak. Terlebih lagi dia sudah berjanji pada Bintang kalau dia akan pergi meninggalkan Arka secepatnya dan mempersatukan Bintang dan Arka yang sempat terhalang karena kehadirannya. "Walaupun begitu, di mata orang lain, Mas Arka akan tetap menjadi ayah dari anak yang Bintang kandung." "Itu tidak akan terjadi. Aku akan mencari siapa ayahnya, aku akan mencari tahu siapa yang telah menghamili Bintang dan menyuruhnya untuk bertanggung jawab." Arafah tersenyum tipis, andai itu terjadi maka dia akan merasa sangat senang. "Tapi itu semua sudah terlambat. Mas Arka, atau Bintang tidak tahu siapa ayahnya bukan? Untuk sementara dugaan mengarah kuat pada Mas Arka." Memang benar apa yang dikatakan Arafah. Akan sangat susah mencari tahu siapa ayah dari anak yang dikandung Bintang jika Bintang tidak jujur dan lebih memilih menjadikan Arka sebagai kambing hitamnya. Melihat kediaman Arka. Dugaan Arafah semakin kuat, dia menatap nanar pada lelaki yang dicintainya. Hatinya semakin menganga sakit saat menilai kalau pada dasarnya Arka memang masih mencintai Bintang hanya saja dia tidak ingin mengakuinya. "Ak—" perkataan Arka terhenti ketika ponselnya berdering. "Tunggu." Lalu Arka menjawab telepon tersebut. Arafah melihat raut perubahan di wajah tampan Arka. Lelaki itu tampak pucat sesaat setelah menerima telepon entah dari siapa. Mata hijaunya kembali fokus pada Arafah, dia terlihat begitu panik. "Aku ada urusan sebentar, kumohon jangan pergi ke mana-mana, masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan." Setelah mengatakan hal itu Arka langsung pergi meninggalkan Arafah sendirian. "Apa yang harus kita bicarakan lagi? Semuanya sudah jelas bukan? Aku tidak pantas untukmu, aku hanya seorang gadis gila yang telah berani jatuh cinta pada pangeran tampan sepertimu. Dan sekarang sudah saatnya aku mengembalikan pangeran itu pada sang puteri. Agar hidup mereka aman bahagia." Arafah sudah memutuskan kalau malam ini dia akan pergi dari rumah Arka untuk selama-lamanya. Dia tidak ingin lagi mengganggu kehidupan Arka yang sudah sempurna. Arafah berjalan menuju kamarnya, dia tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Noah ataupun Arka. Dia hanya membawa flat shoes lusuh peninggalan ibunya, dan flat shoes pemberian Arka. Dia tersenyum kecil. Perasaan sakit kembali hadir ke dalam hatinya. Benar kata Bintang, dirinya memang tidak pantas memakai pakaian bagus dan mahal, dia hanya gadis miskin dan setengah gila yang berani mencintai lelaki sempurna seperti Arka. Tapi terlepas dari semua itu, bolehkah dirinya menyimpan flat shoes mahal pemberian Arka sebagai tanda kenang-kenangan? Kenapa tidak? Menarik napas panjang, mata cokelat bening Arafah melihat rumah yang telah memberinya banyak kenangan, rumah yang telah melindunginya selama ini, dan rumah yang telah mengenalkan padanya apa itu cinta dan kasih sayang seorang keluarga. "Mas Noah, maaf aku tidak bisa menuruti perkataan Mas Noah untuk tetap tinggal, semuanya terlalu rumit." Arafah tersenyum, "aku akan merindukan kalian." Gumam Arafah berjalan pergi meninggalkan rumah itu. *** "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Arafah kepada Bintang. "Tolong tinggalkan Arka." Arafah memejamkan matanya erat-erat, ditempelkannya kepalanya pada kaca mobil bus yang membawanya pergi meninggalkan kota yang telah memberinya banyak kenangan. "Jika kamu masih tetap bersama Arka, maka Arka tidak akan mau bertanggung jawab atas kehamilanku. Dia akan mengelak dari semuanya, dia tidak akan mau menikahiku." "Jadi, aku harus pergi?" Bintang menundukkan kepalanya. "Itu adalah hal yang terbaik, aku tidak ingin anak ini lahir tanpa ayah. Aku tidak ingin dia menderita." Air mata itu mengalir di wajah Arafah. Matanya menatap ke luar jalanan dengan sedih, hatinya berkata; semua yang dilakukannya adalah hal yang terbaik. Arka pasti akan bertanggung jawab untuk menikahi Bintang dan tidak membiarkan anak yang dikandung Bintang lahir tanpa ayah. "Semuanya memang telah berakhir. Walaupun begitu, hatiku akan selalu mengingatmu sebagai pahlawanku." ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN