Keesokan harinya Noah benar-benar pergi. Arafah melihat lelaki itu membawa tas besar di pundaknya, dia juga menitip pesan pada Arka untuk menjaganya dan jika terjadi apa-apa segera meneleponnya.
Tetapi ada yang aneh dengan sikap Arka. Lebih tepatnya setelah dia tidak pulang ke rumah malam itu. Sikapnya agak pendiam dari biasanya, Arafah selalu memergoki Arka sedang memandangnya dengan tatapan takut dan ... ragu. Seolah ada yang disembunyikannya dari Arafah.
Arafah berpikir mungkin Arka seperti itu karena dia ditinggalkan oleh Noah. Tetapi, presepsinya kembali salah. Arka tidak takut ditinggal pergi Noah. Tapi lelaki itu takut Arafah meninggalkannya, bahkan lelaki itu terang-terangan mengungkapkan perasaannya dan meminta pada Arafah untuk tidak pergi meninggalkannya.
Dan itu membuat Arafah semakin heran. Itu semua jelas bukan diri Arka. Dia tahu betul siapa Arka. Dugaannya adalah, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Arka darinya. Dan mungkin Arka takut dirinya mengetahui rahasia itu.
Seperti pagi ini, suasana di meja makan tampak hening. Kedua orang yang sedang duduk di sana terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan itu sudah terjadi sekitar dua minggu.
Arafah menelengkan kepalanya, menatap Arka yang seolah sedang merenung. Bahkan lelaki itu hanya memainkan sarapannya tanpa mau memakannya.
"Mas Arka, tidak dimakan sarapannya?"
"Eh, ya?" Arka tampak terkejut mendengar pertanyaan Arafah. Dia tersenyum.
"Mas Arka kenapa? Dua minggu terakhir ini Mas Arka terlihat aneh. Apa ada masalah?"
Arka diam, dia menatap gadis yang sangat dicintainya lalu menggeleng. "Tidak ada apa-apa, hanya tugas kantor yang lagi banyak."
Setiap kali dia bertanya kenapa, pasti selalu itu jawaban Arka. Tidak mungkin juga tugas kantor bisa banyak terus selama dua minggu berturut-turut. Tapi Arafah hanya diam, seolah puas dengan jawaban Arka. Padahal dalam hatinya dia ingin bertanya banyak, kenapa sikap Arka jadi aneh?
Berulang kali Arka membuka mulutnya tapi segera ditutupnya kembali ketika perasaan takut itu muncul. Dia benar-benar takut kehilangan Arafah, dia tidak ingin kehilangan orang yang sangat dicintainya. Tapi ...
"Ara?!" panggil Arka.
Arafah mendongakan kepalanya sebagai tanda sahutan.
Arka diam, dia tampak gelisah. "Ka ... kamu, kalau aku berniat untuk menikahi kamu, mau tidak?" Arka merutuki pertanyaan konyolnya. Seumur hidupnya, ini pertama kalinya dia tidak bisa bertanya dengan nada sopan ataupun dengan kosakata yang bagus.
Arafah diam, rona merah terlihat jelas di wajahnya. Segera saja dia menundukkan kepalanya, guna menutupi rasa malunya saat ini. Dia sungguh bahagia ketika Arka berniat untuk menikahinya, tapi ... dia ragu jika Arka mau menikahinya jika lelaki itu tahu penyakit jiwa yang dideritanya.
Melihat kediaman Arafah. Arka mengerti, walaupun dalam hatinya dia sangat takut kehilangan Arafah. Tapi dia mencoba untuk bersabar, mungkin Arafah membutuhkan waktu untuk menjawab lamarannya yang terbilang sangat aneh dan sangat terburu-buru.
"Tidak dijawab sekarang juga, tidak apa-apa, kok. Tapi kamu harus tahu kalau aku cinta sama kamu dan akan menikahimu jika kamu telah siap." Ujar Arka setelah selesai menghabiskan sarapannya.
Arafah tersenyum menganggukkan kepalanya. Sepanjang perjalanannya mengantar Arka ke depan rumah, Arafah berusaha untuk menenangkan detak jantungnya yang berdetak tidak normal.
"Aku pergi dulu, jaga diri baik-baik, ya. Kalau mau ke luar harus berhati-hati. Walaupun Hemmy tidak akan menangkapmu lagi, tapi ada baiknya kamu berjaga-jaga."
Arafah tersenyum lebar. "Oke, Mas Arka tenang saja. Aku pasti akan berhati-hati."
"Baguslah. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsallam," sahut Arafah melambaikan tangannya ketika mobil Arka sudah mulai bergerak.
Arafah menutup pintu rumah lalu disandarkan tubuhnya di pintu itu. Matanya menatap ke atas, Arka benar-benar terlihat sangat aneh. Akhir-akhir ini lelaki itu lebih pendiam dan murung, tapi saat bicara lelaki itu malah berniat untuk menikahinya.
"Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Mas Arka."
***
Arka duduk di kursi kerjanya dengan mata yang menatap fokus pada tabel dan diagram yang ada di laptopnya. Dia berusaha untuk fokus bekerja dan menenangkan hatinya yang kalut. Menyingkirkan bayangan yang selama ini menghantui mimpinya, ketakutannya kehilangan Arafah jika gadis itu mengetahui apa yang sedang dipikirkannya.
Terlebih lagi pekerjaannya begitu banyak. Untuk sementara waktu Arka harus menggantikan tugas Noah selama lelaki itu pergi untuk membereskan kekacauan yang terjadi di Eropa. Jadinya kepalanya semakin sakit.
Terdengar suara pintu terbuka. Sontak saja Arka mendongakan kepalanya. Seketika wajahnya berubah dingin saat melihat siapa yang masuk ke dalam kantornya. Ada perasaan tidak suka menyelinap ke dalam hatinya ketika melihat wajah cantik itu.
"Kak Arka, apa kabar?"tanya Bintang dengan nada riang walaupun wajahnya terlihat murung.
"Ada apa kamu datang ke sini?" balas Arka dingin.
Bintang menarik napas panjang, dia mendudukan dirinya di atas kursi sambil melihat-lihat interior ruangan Arka yang cukup simpel dan menarik.
"Ruangannya bagus, simpel tapi tenang." Ujar Bintang masih terus memindai ruangan kantor Arka penuh minat.
"Miniaturnya juga bagus." Komentar Bintang ketika melihat miniatur tokoh kartun Uchiha Sasuke di meja kerja Arka.
"Jangan bertele-tele, ada apa kamu menemuiku?"
Bintang diam, dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu memberikannya pada Arka.
Arka mengerutkan keningnya ketika melihat apa yang diberikan Bintang padanya. Sebuah benda tipis panjang, seketika matanya membulat saat mengetahui apa yang dimaksud oleh Bintang dengan benda itu.
"Kamu ...?"
***
Arafah memutuskan akan pergi ke Kafe Seven. Dia terlalu bosan tinggal di rumah, terlebih lagi tidak ada yang bisa dilakukannya di rumah, jadi lebih baik di pergi ke kafe, siapa tahu di sana Fariz sedang membutuhkan tenaganya.
Dengan langkah riang Arafah berjalan ke luar, matanya melirik kanan-kirinya, bibirnya tak berhenti tersenyum. Dia sungguh bahagia karena akhirnya bisa ke luar rumah dengan perasaan tenang dan bebas. Noah bilang padanya kalau Tuan Hemmy tidak akan mengejarnya lagi, entah apa yang dilakukan oleh lelaki itu.
Arafah naik bus saat pergi ke kafe yang sesampainya di sana. Fariz langsung mengomelinya karena bertindak ceroboh. Lelaki itu cemas, takut terjadi sesuatu padanya mengingat kendaraan umum cukup berbahaya akhir-akhir ini. Terlebih lagi dia tidak ingin dimarahi oleh Arka.
"Kak Fariz tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja, kok. Buktinya aku sampai dengan selamat." Sahut Arafah dengan riang.
Fariz memutar bola matanya jengah. "Dasar keras kepala." Hanya kata itulah yang keluar dari mulut Fariz. Tak tahu apa yang harus dikatannya pada Arafah.
"Tapi, lain kali kalau mau ke sini beritahu aku dulu biar nanti bisa jemput. Atau beritahu yang yang lain." Nasehat Fariz.
Kali ini Arafah yang memutar bola matanya jengah menghadapi sikap Fariz. Andai Arka tidak mengancam Fariz untuk menjaganya, maka sekarang dia tidak akan diomeli oleh lelaki yang berprofesi sebagai Chef itu.
"Lahh, kalau aku beri tahu Kak Fariz, atau yang lainnya. Nanti pekerjaan kalian terganggu. Aku tidak ingin menyusahkan kalian."
"Lebih baik disusahkan olehmu dari pada kami masuk rumah sakit." Sahut Fariz terdengar kesal.
Arafah hanya nyengir lebar. Matanya memindai setiap penjuru kafe yang terlihat cukup ramai. Dia menyeringai lebar, sepertinya kafe ini sedang membutuhkan tenaga bantuannya.
"Dilarang membantu!" perintah Fariz tiba-tiba, seolah mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu.
Arafah mengerucutkan bibirnya tidak setuju. Dia datang ke sini untuk membunuh rasa bosannya di rumah, berharap kalau datang ke sini dia bisa melakukan aktivitas. Tapi di sini malah sama saja, dia salah pilih tempat.
"Jangan berpikir untuk kabur dari sini!" peringat Fariz lagi.
Arafah semakin kesal karenanya, dia salah tempat untuk kabur. Dengan sangat terpaksa Arafah duduk di meja pantry, mengamati Fariz yang sedang menyeringai senang. Ya, senang karena dia akan aman dari amukan Arka.
Sejak kejadian penculikan itu Arka dan Noah meminta sahabat-sahabatnya untuk menjaga Arafah ke mana pun gadis itu pergi. Karena kalau tidak, maka siap-siap untuk masuk Rumah Sakit dan koma selama beberapa hari bahkan lebih. Tapi itu tidak menguntungkan sama sekali untuk Arafah. Walaupun dia bisa ke luar rumah dengan bebas, tapi percuma juga kalau terus dijaga seperti anak kecil.
Arafah menghembuskan napas kesal. Sudah hampir setengah jam dia berada di sini. Dan tugasnya hanya diam dengan mata yang mengamati suasana kafe.
Pernah sekali dia diam-diam membantu Hany—salah satu pelayan Kafe Seven—tapi hal itu tidak berlangsung lama karena Fariz mendatanginya dan menyeretnya untuk duduk kembali di meja pantry.
"Ahhh, bosannn." Keluh Arafah menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia cemberut kepada Fariz yang sedang asik mengolah bahan makanan.
"Kak Fa—"
"Aku tidak akan membiarkanmu bekerja."
"Kalau begitu apa yang harus aku lakukan, bosan?"
Fariz mengangkat bahunya lalu kemudian memberikan sepiring pasta racikannya.
"Kalau bosan, nih makan."
Arafah menggeram tak setuju. "Memangnya aku ini anak kecil apa?"
Sontak Fariz tertawa lepas. "Haha, baru nyadar, ya?"
Arafah hanya mendengus lalu memakan pasta buatan Fariz dengan wajah cemberut. Pastanya sangat enak, pantas saja jafe ini tidak sepi pengunjung jika makananannya saja enak begini. Tapi Arafah tidak berniat untuk memuji masakan Fariz, dia asik memakan pastanya.
"Lapar, Non?"
Arafah diam, tidak menyahuti sindiran Fariz. "Oh iya," kata Arafah tiba-tiba teringat sesuatu. Yang langsung disahuti oleh Fariz.
"Kak Fariz ngerasa nggak kalau akhir-akhir ini Mas Arka jadi agak aneh?"
Fariz berpikir sejenak, matanya menerawang membayangkan sikap Arka yang memang terlihat agak aneh akhir-akhir ini.
"Iya, aku merasa kalau Arka lagi ada masalah." Fariz tahu betul dengan sifat sahabatnya itu. Ada yang sedang disembunyikannya dari orang-orang.
"Masalah apa?"
Fariz mengangkat bahunya. "Biasanya Arka suka cerita kalau ada masalah. Biasanya dia suka cerita sama Noah, tapi kamu tahu juga kalau Noah lagi pergi keliling Eropa dan nggak bisa diganggu."
"Berarti sekarang Mas Arka lagi ada masalah?"gumam Arafah merenung.
"Mungkin? Tapi jika pun ada, semoga masalahnya cepat terselesaikan."
Arafah menganggukkan kepalanya. Walaupun jawaban Fariz kurang memuaskan, tapi sekarang dia tahu kalau Arka sedang mempunyai masalah cukup rumit.
***
Dan jawaban dari pertanyaan Arafah selama ini terjawab ketika tiba-tiba saja Bintang menemui Arafah saat dia masih berada di Kafe Seven. Wajah Bintang tampak kusut, seolah ada beban berat yang harus ditanggungnya.
Di kafe ada Fariz, tetapi lelaki itu tidak ingin ikut campur apapun dan memberikan waktu untuk kedua gadis yang menyukai Arka, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Arafah menduga jika Bintang menemuinya untuk mengancamnya menjauhi Arka. Tapi kemudian dugaannya meleset, memang benar Bintang datang menemuinya dengan sedikit ancaman, tapi Arafah tidak terlalu mempedulikannya karena kini fokusnya pada perkataan Bintang yang seolah seperti tersambar petir mendengarnya.
"Aku hamil ... anaknya Arka ...."
***