Part 16

1536 Kata
Seminggu telah berlalu sejak peristiwa penculikan serta penyelamatan Arafah. Semuanya kembali normal walaupun pada saat awal-awal Arafah mengalami trauma, tapi beruntung Arka cepat tanggap dengan menelepon Cloe dan meminta wanita itu untuk mengobati Arafah. Arafah benar-benar ketakutan. Peristiwa malam itu selalu terbayang di kepalanya, saat di mana Mario pamit pergi ke luar hingga tiba-tiba saja seorang lelaki dengan keadaan mabuk berat masuk ke dalam kamar. Arafah telah berusaha untuk berteriak meminta tolong dan melawan pria mabuk tersebut. Tapi tidak ada satu orangpun yang mau menolongnya. Perlawanan yang dilakukannya sia-sia karena tenaga lelaki tersebut sangat kuat. Berkali-kali dia mendapat pukulan dari lelaki tersebut, bahkan dia kena banting saat hendak melarikan diri. Saat dirinya telah berputus asa dan berdo'a semoga Tuhan mengirimkannya seorang penyelamat. Dan do'a nya terjawab dengan datangnya Arka untuk menyelamatkannya. Arafah sungguh berasa bersalah pada Noah. Karenanya sekarang, tangan lelaki itu mengalami cedera patah tulang karena telah membantu Arka untuk menyelamatkannya. Ethan meng-gips tangan kanan Noah dan menyuruh Noah untuk tidak beraktivitas berat dulu.   Dan kesempatan itu dijadikan Noah untuk merebut perhatian Arafah. Dan membuat Arka kesal dibuatnya. Tapi Noah tidak peduli, dia lebih senang ketika Arafah selalu membantu hal-hal yang harus dikerjakannya. Yang paling dia suka adalah bagian dimana Arafah menyuapinya saat makan, sebenarnya Noah bisa menggunakan tangan kirinya untuk beraktivitas—karena sesungguhnya Noah itu kidal—tapi kalau ada kesempatan kenapa tidak digunakan dengan baik. Sampai sekarang Arka sangat penasaran bagaimana bisa Hemmy menemukan Arafah di rumahnya. Tidak mungkin lelaki itu mengetahui kalau selama ini Arafah bersembunyi di rumahnya yang selalu tertutup. Dia berasumsi jika ada seseorang yang telah memberitahu Hemmy. Tapi siapa? Arka tahu jika Noah mengetahui semuanya, dia percaya kalau saudaranya itu telah menemukan orang yang berani memberi tahu Hemmy tentang Arafah. Tapi yang membuatnya gemas adalah Noah tidak mau memberitahunya, dia bilang, "Gue enggak bakalan kasih tahu lo, lagi pula lo enggak bakalan percaya." Hanya kata itulah yang selalu didapat Arka setiap kali dirinya bertanya perihal penculikan Arafah. *** Seperti biasa, setiap pagi Arafah bertugas untuk menyuapi Noah setelah menyiapkan sarapan untuk kedua lelaki yang sangat disayanginya, walau salah satunya dengan perasaan lebih. Dia berusaha untuk menghindari tatapan Noah, dia takut jika lelaki itu membaca pikirannya saat sedang memikirkan kehidupannya dan Arka. "Jangan ditutup-tutupi, aku sudah tahu, kok, kalau kamu itu—" Segera saja Arafah menyumpal mulut Noah dengan pancake. Dia tidak ingin mendengar cerita kelanjutan Noah yang pastinya akan membuat wajahnya merona merah. "Mas Noah, jangan baca pikiranku." Noah terkekeh, dia menjitak kening Arafah dengan tangan kirinya yang tidak sakit. "Haha, tak perlu membaca pikiranmu, kepalamu itu transparan." Sahut Noah lucu. Arafah hanya mencebik kesal lalu melanjutkan tugasnya tanpa menatap mata Noah yang mengingatkannya pada mata milik Mario. Tidak lama kemudian Arka datang dari arah belakang. Dalam hati dia mencibir kesal melihat aktivitas menyebalkan yang selalu dilihatnya setiap pagi. Kalau saja Noah tidak cedera mungkin sudah dari dulu dia menjauhkan Arafah dari lelaki itu. Tapi wajahnya seketika berubah ceria ketika telah sampai di meja makan, apalagi disambut dengan senyuman manisnya Arafah. Membuat kekesalan yang dirasakannya menguap entah ke mana. Dia duduk di kursi seberang Noah dan Arafah. "Gue baru tahu kalau badai bisa berhenti hanya karena lihat senyuman manis." Gumam Noah. "Kenapa?" Noah terkekeh pelan dan berkata, "Haha, biasa aja kali. Tapi emang bener 'kan apa yang gue katain." "Ya, deh terserah lo aja." Lelaki itu tersenyum sangat lebar, mata hitamnya beralih menatap gadis yang kini sedang menyodorkan s**u kepadanya. "Tuh Ara, Arka cemburu sama aku. Katanya dia enggak suka lihat kamu nyuapin aku. Tapi, Arka sangat suka sama senyuman kamu." Sontak saja kedua orang yang mendengar perkataan Noah bersemu merah. Refleks menundukkan kepalanya, sebisa mungkin untuk menghindari tatapan satu-sama lain. Noah menelengkan kepalanya, menatap kedua orang yang berusaha untuk menyembunyikan rasa malu mereka. Kekehan pelan ke luar dari mulutnya tapi kekehan itu tidak berlangsung lama karena tidak lama kemudian Noah merintih kesakitan ketika kedua orang itu menginjak serta mencubit tangannya. "Aww, mentang-mentang jodoh, ya. Nyiksa guenya aja barengan." Keluh Noah sedih. "Udah tahu nanya." Balas Arka tidak peduli. Kini Arafah tahu kalau Arka mulai tertarik—lebih tepatnya—dan sudah menyukainya. Noah menceritakan saat dirinya dibawa pergi oleh Tuan Hemmy. Saat itu Arka merasa sangat cemas, takut terjadi sesuatu padanya. Berulang kali Arka menelepon Noah hingga teleponnya diangkat dan Noah memberitahukan kalau dia telah menemukan keberadaanya. Arka semakin marah saat mengetahui kalau dirinya berada di klub dan dijual oleh Tuan Hemmy, sontak saja Arka geram dan menghabisi lelaki yang saat itu hendak menyentuhnya. Dan Arafah tidak bisa membayangkan kalau malam itu Arka tidak menyelamatkannya. Mungkin sekarang .... Arafah menggelengkan kepalanya, tidak ingin mengingat peristiwa itu lagi. Noah juga bercerita kalau sebenarnya Arka sudah melupakan Bintang sejak Arka bertemu dengannya malam itu, malam di mana dia kabur dan meminta tolong pada Arka. Tentu Arafah sangat senang mendengarnya, perasaannya terbalas. Seringkali kepalanya dipenuhi oleh kupu-kupu saking bahagianya, tapi disisi lain dia juga merasakan kecemasan yang teramat. Jika Arka menyukainya lalu bagaimana dengan Bintang? Bintang pasti kecewa dan sedih karena perasaan Arka telah mati untuknya. Dan pastinya Bintang akan merebut Arka semampu yang dia bisa. "Jangan memikirkan apapun! Ingat, percayailah apa yang diyakini oleh hati kecilmu." Perkataan Noah selalu menjadi penguat dan penghalau rasa gundahnya. Yang harus dilakukannya adalah mempercayai semuanya. *** Makan malam sudah berlalu sekitar satu jam yang lalu. Suasananya terasa agak sepi karena Arka tidak ikut ke dalamnya. Sampai sekarang lelaki itu belum juga pulang padahal jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Arafah ingin meneleponnya, tapi dia takut mengganggu lelaki itu dengan terlalu ikut campur pada urusan Arka. Tapi Arafah merasa cemas pada lelaki itu. Pasalnya Arka tidak pernah seperti ini sebelumnya, jika lelaki itu akan pulang terlambat atau lembur di kantor pasti dia akan memberitahunya dan menyuruhnya untuk tidur duluan. Tapi sekarang, tidak ada SMS atau telepon yang masuk membuat Arafah semakin cemas. Lalu dengan memberanikan diri, Arafah menelepon Arka. Ponselnya aktiv tapi teleponnya tidak diangkat. Berulang kali dia mencoba tapi hasilnya sama. Arafah menarik napas panjang dan berpikir positif. "Sepertinya Mas Arka sedang sibuk."Gumam Arafah berasumsi jika sekarang Arka sedang di kantor untuk mengurus pekerjaannya. Arafah melongok ke atas ketika telinganya menangkap suara petikan gitar. Dia mengerutkan keningnya dan berjalan ke atas sana. Arafah tahu siapa orang yang malam-malam begini main gitar. Siapa lagi kalau bukan Noah, satu-satunya orang yang berada di dalam rumah selain dirinya sendiri. Arafah tersenyum lebar. Sepertinya lelaki itu sudah sembuh, melihat tangannya sudah tidak digips dan bisa digerakan. Syukurlah jadi rasa bersalah Arafah bisa berkurang sedikit. "Mas Noah!" panggil Arafah duduk di karpet berhadapan dengan Noah. Noah mengangkat kepalanya lalu tersenyum lebar. Dia tak menghiraukan kecemasan Arafah terhadap Arka yang sampai sekarang belum pulang. "Belum tidur?" tanya Noah masih dengan senyumannya. Arafah menggelengkan kepalanya. Melihat senar-senar gitar yang sedang dimainkan oleh Noah. "Belum ngantuk." "Belum ngantuk atau lagi mikirin Arka?"ledek Noah tersenyum culas. "Eng–enggak siapa yang lagi mikirin Mas Arka. Aku memang belum ngantuk, jadinya jalan-jalan cari udara. Lalu aku lihat, Mas Noah di atas lagi main gitar. Ya udah, aku ke sini." Jelas Arafah panjang lebar. Noah menganggukkan kepalanya mengerti. "Mas Noah sendiri kenapa malam-malam gini main gitar?" "Aku bosan di kamar, enggak ada kerjaan juga. Daripada ganggu kamu, aku main gitar di sini. Eh, tapinya kamu sudah ada di sini. Ya udah." Arafah hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Dia mengamati Noah yang sedang memainkan gitarnya, lelaki itu tampak ahli memetik serta menekan senar gitar hingga membentuk sebuah suara yang begitu merdu, enak untuk didengar. Arafah sedikit mengernyit ketika melihat sebuah earphone menempel di daun telinga Noah. Apa Noah sedang mendengar lagu saat bermain gitar. Tiba-tiba saja Arafah teringat sesuatu. Dia menatap Noah dengan sangat teliti, mulai dari mata, hidung, bibir, dan bentuk wajah. Hampir sama dengan seseorang yang telah membelinya waktu itu. "Mario!" gumam Arafah spontan ketika melihat kalau Noah sangat mirip dengan Mario. "Eh?" Noah mendongak sambil mengernyit. Arafah tekekeh, "Hehe, wajah Mas Noah sangat mirip dengan Mario. Mata hitamnya, bentuk wajah, semuanya sama. Kalian seperti kakak-adik." Noah tertegun mendengar penjelasan Arafah. Matanya menatap kosong ke arah gadis itu, tiba-tiba saja kilasan masa lalu yang selama ini dia coba untuk melupakannya hadir kembali. "Tuh 'kan benar, wajahnya sangat mirip Mario. Kalian seperti saudaraan." Tambah Arafah lagi. Noah tersenyum kecil. "Oh ya?" Arafah menganggukkan kepalanya. "Iya, kata Mario dia membeliku bukan karena ingin menyentuhku, tapi karena ... karena Mario bilang kalau dia melakukan ini adalah agar orang yang dicarinya keluar dari persembunyiannya." Arafah tidak menyadari kalau wajah Noah berubah tegang dan sayu. Dia hanya tersenyum miris, jauh di dalam matanya. Ada luka masalalu yang selalu membuatnya ketakutan. "Baguslah." Komentar Noah lalu mendongak, "Besok aku akan pergi ke Eropa untuk sebulan ke depan. Ada beberapa pekerjaanku yang bermasalah di sana." Arafah terdiam, "Sebulan?" Noah mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu, mungkin sebulan lebih. Kamu tidak apa-apakan ditinggal di sini?" Sontak Arafah menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Lagipula masih ada Mas Arka yang nemenin aku. Jadi, Mas Noah jangan khawatir." Noah menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis. "Jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa telepon aku. Kalau Arka nyakitin kamu, maka ambil ponselmu dan hubungi aku, ok!" "Siap, Bos." Noah tersenyum lebar, dia menatap wajah ceria Arafah yang beberapa hari lalu sempat hilang. Entah mengapa hatinya berkata kalau dia tidak ingin meninggalkan Arafah sendirian. Dia takut terjadi sesuatu saat dirinya sedang pergi. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN