"Maaf jika aku membuatmu ketakutan, aku tidak bermaksud seperti itu." Ujar lelaki tampan itu dengan lembut.
Arafah mengerjapkan matanya, tidak ada lelaki yang dia percayai di dunia ini kecuali Wendy, Arka, Noah dan teman-temannya. Baginya semua lelaki itu br*ngsek seperti ayah angkatnya.
"Aku mengerti perasaanmu. Tolong jangan takut, aku tidak akan menyentuhmu."
Mengerutkan keningnya, Arafah menatap heran pada lelaki yang ada di hadapannya. Jika lelaki itu tidak akan menyentuhnya lalu kenapa dia tidak akan menyentuhnya?
"Ta–tapi, ka ... mu sudah mem—"
Lelaki itu kembali tersenyum manis, yang bagi siapa saja yang melihatnya pasti akan terkagum. Kecuali bagi Arafah, dia terlalu takut terlebih perasaannya telah terkunci oleh lelaki yang selama ini telah menolongnya.
"Aku memang membelimu, tapi tujuanku bukan untuk menyentuhmu." Lelaki itu mengedikan bahunya. "Aku hanya ingin mengeluarkan seseorang dari persembunyiannya."
Arafah semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh lelaki itu. Membuat seseorang ke luar dari persembunyiannya? Siapa? Apa hubungannya dengannya?
"Tapi kenapa harus denganku?"
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, ekspresinya terlihat murung. "Karena kau adalah orang yang berharga baginya. Jadi dia akan datang padamu dan menyelamatkanmu dariku."
Hah apa maksudnya? Arafah semakin tidak mengerti saja. Lagipula siapa yang mau menjadikan dirinya sebagai hal yang berharga untuk seseorang. Pastinya lelaki itu salah alamat telah membelinya.
***
Arka datang ke klub yang disebutkan oleh Noah. Mata hijaunya berputar, menatap ke sekeliling klub yang ramai dipadati oleh orang-orang. Mengumpat kesal karena sedari tadi dia tidak menemukan keberadaan Noah, dan mengumpat lagi ketika sampai sekarang dia belum juga menemukan Arafah.
"Lama banget sih lo?!" kesal Arka setelah Noah datang dengan wajah datarnya.
"Ada urusan sedikit." Sahut Noah dengan nada datarnya.
Arka tidak perlu heran jika Noah bersikap acuh cenderung dingin jika di luar rumah—zona keluarga—saudaranya itu memang seperti itu. Sikapnya yang ramah dengan humor tinggi seketika lenyap ketika berada di luar. Seolah Noah mempunyai dua kepribadian.
"Ada apa lo manggil gue ke sini? Lo tahu 'kan kalau Ara hilang, enggak ada di rumah."
Noah memutar bola matanya jengah mendengar gerutuan Arka yang tiada habisnya. "Gue tahu kalau Ara hilang." Sahutnya masih dengan nada datar.
"Kalau tahu kenapa lo tenang-tenang saja? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Ara? Bagaimana jika Ara diculik oleh anak buah Hemmy?"
Noah meneguk winenya lalu kembali memandang Arka, masih dengan ekspresi datarnya. "Ara memang diculik oleh Hemmy."
Arka langsung membelalakan matanya ketika mendengar perkataan Noah. Tapi kenapa saudaranya itu bisa bersikap sangat tenang padahal keadaannya sedang kacau begini.
"Kenapa lo tenang-tenang saja? Sudah tahu jika Ara diculik oleh Hemmy. Elo malah enak-enakan duduk di sini."
"Gue tahu lo cemas, tapi gue butuh minum juga, Al. Sekalian cuci mata."
"Yang ada lo dosa, mandang cewek yang bukan muhrim lo."
Noah mendengus, "Kayak lo yang suci aja. Elo sama gue 'kan sebelas-duabelas."
"Terserah lo deh, gue cari Ara dulu." Percuma juga jika dia bicara dengan Noah. Lelaki itu tidak membantunya sama sekali.
Saat Arka hendak pergi untuk mencari Arafah. Noah segera mencegat Arka dengan mata hitamnya yang menatap ke seluruh penjuru klub. Arka mengernyit mengamati gelagat Noah yang tidak biasa. Dia tahu kalau lelaki itu sedang merencanakan sesuatu.
"Enggak semudah itu kita bisa dapetin Ara." Gumam Noah. "Lo lihat itu?!" tunjuknya pada seorang wanita yang sedang bercengkrama dengan Hemmy. "Wanita itu yang mendagangkan Ara. Kamar Ara dijaga oleh banyak pengawal."
"Kita bisa melawannya."
"Jangan meremehkannya. Mereka mempunyai ilmu beladiri yang cukup tinggi, terlebih lagi ada banyak pengawal yang berjaga. Bukannya hanya itu, sepanjang lorong juga dijaga."
Arka membelalakkan matanya, seketat itukah Arafah dijaga oleh wanita itu? Arka tidak bisa membayangkannya, pasti sekarang gadisnya sedang ketakutan.
"Lalu rencananya?"
Noah diam, matanya tampak menerawang, seolah sedang merencanakan sesuatu. "Lo bawa Ara, gue yang urus sisanya."
"Maksud lo, gue yang cari Ara lalu lo yang lawan anak buah itu."
Noah menganggukkan kepalanya, "Tidak ada cara lain lagi. Ayo, sebelum semuanya terlambat."
Mereka berdua langsung pergi. Berjalan dengan tenang dan tidak mencurigakan sama sekali. Sekali-kali matanya melirik orang-orang di sekitarnya. Hingga akhirnya langkah mereka terhenti tepat di depan lorong ruangan yang terletak cukup jauh dari lantai utama.
Benar apa yang dikatakan Noah kalau lorong itu dijaga oleh banyak orang. Hampir semua dari mereka berbadan besar. Arka menggelengkan kepalanya, sebelum mencari keberadaan Arafah dia harus membantu Noah terlebih dahulu membereskan anak buah dengan tampang sangar itu.
"Lorong sebelah kiri, pintu kelima. Ara ada di sana, cepat!"
"Enggak! Gue bantu lo dulu."
Noah menatap Arka tajam. "Tidak ada waktu lagi, cepat. Ara butuh lo."
Arka tidak bisa membantah ucapan Noah. Mendengar Arafah sedang membutuhkannya membuat pikirannya blank hanya tertuju pada Arafah seorang. Dengan begitu, Arka berlari meninggalkan Noah yang sedang berkelahi dengan para penjaga.
Arka terus berlari sambil mencari tempat yang dimaksud oleh Noah. Lorong sebelah kiri, pintu kelima. Lelaki itu tersenyum lebar ketika berhasil menemukan tempat yang dicarinya. Tapi sepertinya dia tidak akan mudah masuk ke dalam sana mengingat ada tiga bodyguard yang menjaga pintu tersebut.
"Lebih baik kalian minggir!"
"Siapa kau? Berani datang ke sini dan menantang kami?"
"Aku adalah kekasih dari gadis yang berada di dalam sana. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya."
Melihat para bodyguard itu tidak mengindahkan ucapannya. Arka langsung memukul satu-persatu dari mereka hingga tak berdaya. Percuma juga jika dia bermain halus dengan para bodyguard lemah itu, mereka tidak akan mengerti dengan ucapannya.
Setelah berhasil melumpuhkan tiga bodyguard yang menghalangi jalannya. Arka langsung mendobrak pintu yang terkunci dari dalam itu dengan sepenuh tenaga.
Brakk!!
Seketika wajahnya memerah, rahangnya terkatup kuat tatkala melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Dengan cepat dia menghampiri Arafah yang sedang dipaksa oleh seorang lelaki untuk melayaninya.
"Beraninya kau!"
"Siapa kau?"balas lelaki itu.
Arka merasa gelap mata. Dia terus memukul lelaki yang berani menyentuh gadisnya. Tidak ada yang diingikannya kecuali membunuh lelaki br*ngsek ini. Tapi, Arka segera mengurungkan niatnya, dia melepaskan lelaki itu dan menatapnya tajam.
"Sekali lagi lo nyentuh gadis gue. Maka siap-siap masuk rumah sakit, dan gue nggak akan biarkan lo hidup aman."
Lelaki itu tidak membalas ucapan Arka. Dia hanya meringis, tidak kuat untuk menggerakan badan sedikit pun.
Pandangan Arka teralih pada sosok gadis yang meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Dengan cepat Arka menghampiri Arafah dan memeluknya dengan erat, berusaha untuk menenangkan gadis itu.
"Tidak usah takut, aku di sini untukmu. Tenanglah, kamu akan aman bersamaku."
Arafah terus menangis, memeluk erat tubuh Arka. Dirinya sungguh ketakutan, dia tidak ingin berada di sini, tempat ini terlalu menyeramkan untuknya.
***
Di tempat lain Noah sedang berusaha untuk menyingkirkan para bodyguard yang tiada habisnya. Sejujurnya dia cukup lelah mengingat dari tadi dia menghindar dan membalas pukul bodyguard dengan kemampuan cukup tinggi. Ada banyak korban yang telah dilumpuhkannya, tapi ada banyak juga yang keluar dan hendak memukulnya.
"Sial." Umpatnya kesal.
Noah masih terus melawan para bodyguard itu dengan tangan kosong. Tapi saat dirinya tengah membalas pukulan tiga bodyguard yang berani melawannya. Seseorang datang dari arah belakang dengan besi panjang yang hendak dipukulkan ke arah Noah.
Dengan tangkas, Noah menahan tongkat besi itu dengan tangannya. Terdengar suara retakan tulang yang bisa dipastikan kalau tangan Noah patah karena menahan tongkat besi itu.
Dia tidak meringis kesakitan atau apapun. Wajahnya masih datar, seolah pukulan itu tidak berarti untuknya. Maka dari itu dia membalikan keadaan dengan memukul lelaki itu dengan tongkat besi yang diambilnya. Wajahnya masih tetap datar ketika dirinya telah berhasil melumpuhkan semua anak buah yang berani menentangnya.
"Noah!" panggil seseorang berjalan ke arah Noah.
Noah tertegun mendengar suara panggilan yang selama ini selalu dihindarinya. Mata hitamnya menatap manik hitam serupa dengan milik Noah, wajah tampannya yang mirip dengan wajahnya.
"Mario!" balas Noah dengan nada datar.
Lelaki bernama Mario itu tersenyum lebar mendengar Noah menyebut namanya. "Senang bisa bertemu lagi denganmu, Noah."
Tapi Noah hanya diam, tidak membalas ataupun menyahuti ucapan Mario. Dia hanya memandang datar wajah tampan yang begitu mirip dengan wajahnya. Ada luka di mata hitam tajamnya, luka yang selalu dia pendam.
"Aku akan mengganti uang yang kau keluarkan untuk Ara. Tapi aku tidak akan berterima kasih padamu, kau meninggalkan Ara sendirian."
"Kenapa kau begitu peduli pada Arafah? Gadis itu tidak mencintaimu, dia mencintai orang lain."
Noah tersenyum miring. "Aku tidak peduli apa dia mencintaiku atau tidak, yang kupedulikan adalah menyelamatkannya untuk saudaraku."
"Dia hanya saudara angkatmu, dan kau ... kau berani mempertaruhkan nyawamu demi mereka?"
"Kenapa? Apa kau keberatan?" Noah tersenyum mengejek. "Setidaknya Arka—saudara angkatku—selalu ada untukku ketika aku membutuhkannya, setidaknya dia menganggapku ada, menganggapku sebagai saudaranya."
"Maafkan aku," gumam Mario pelan. "Kembalilah pada kami, jangan pernah menghindar dan bersembunyi lagi."
Noah mengatupkan rahangnya, menahan rasa amarah dan benci yang dirasakannya. "Untuk apa minta maaf? Aku tidak membutuhkan maafmu."
"Noah!"
"Sekalipun aku tidak pernah bersembunyi dari kalian, tapi pintu kalianlah yang sudah tertutup untukku. Kalian tidak bisa lagi menerimaku, dan aku tidak ingin kembali lagi pada kalian."
"Kenapa? Kau bagian dari kami, kau bagian dari Russell bukan Orlando."
"Kau tanya kenapa? Karena kalian telah mengusirku, kalian yang telah memutuskan hubungan denganku. Jadi jangan salahkan aku jika sekarang aku bagian dari Orlando."
Noah memejamkan matanya lalu membalikan badannya, berjalan meninggalkan Mario Russell yang tak lain adalah saudaranya, kakak kandungnya. Orang yang telah menyebabkannya menjadi seperti sekarang.
"Noah Aldric Russell, aku tidak akan menyerah. Aku akan membawamu kembali pada keluargamu yang sebenarnya."
Noah menghentikan langkahnya. "Cobalah sebisamu, tapi sebelum kau merubah dan membawaku kembali. Ada baiknya kalian merubah sifat kalian dan menerimaku dengan tulus."
Setelah itu Noah benar-benar pergi meninggalkan Mario yang tertegun dengan perkataannya. Berulang kali dia meminta maaf pada adiknya itu, berharap jika waktu bisa diputar ulang agar kehidupannya tidak menjadi seperti sekarang.
***