Part 14

1439 Kata
Arka menempelkan benda persegi canggih itu ke daun telinganya. Keningnya berkerut samar ketika panggilannya tidak dijawab, sekali lagi dia mencoba untuk menghubungi orang yang sedari tadi dipikirkannya. Tapi sampai sekarang teleponnya tidak diangkat juga. "Tidak biasanya teleponku tidak diangkat?"gumam Arka pada dirinya sendiri. Mata hijau itu memandang foto seorang wanita yang sengaja dipasang menjadi wallpaper ponselnya. Keningnya berkerut samar ketika ada hal aneh yang dirasakannya. Tiba-tiba saja perasaannya berubah cemas, terus mengkhawatirkan keadaan Arafah di rumah. Terlebih lagi ponsel Arafah yang sampai sekarang sangat susah dihubungi. Pintu ruangan kantor terbuka menampakan sosok gadis cantik berkerudung hitam. Dia tersenyum ke arah Arka memberitahukan pada atasannya kalau sepuluh menit lagi Arka akan rapat dengan PT. Golden. Arka menganggukkan kepalanya dan menyuruh Nuri—sekretarisnya—untuk menyiapkan segalanya. Mengesampingkan rasa cemas yang dirasakannya pada Arafah. Arka mencoba untuk fokus pada pekerjaan yang sedang ditanganinya, terlebih lagi Noah tidak lagi masuk kerja katanya ada hal penting yang harus diselesaikannya. Jadi Arka harus bekerja lebih ekstrakeras lagi agar kliennya tidak kecewa dengan kinerja perusahannya. "Selamat siang, Pak Juan!" sapa Arka pada Juan selaku perwakilan dari PT. Golden. "Siang," ada kerutan samar di dahi Juan ketika mendapati Arka yang datang. Arka tersenyum profesional, dia berkata, "Maaf, CEO kami sedang berhalangan untuk datang. Beliau menyuruh saya dan timnya untuk menemui Anda." Jelasnya dengan lugas. Dalam hati menggeram kesal dengan perbuatan Noah yang seenak jidatnya keluar-masuk kerja. *** Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Arka bergegas pulang ke rumah. Dalam perjalanan dia kembali mencoba untuk menghubungi Arafah, tapi teleponnya masih sama: tidak diangkat sama sekali. Sesampainya di rumah. Arka segera masuk ke dalam, dia merasa heran karena biasanya saat pulang Arafah–lah yang selalu membukakan pintu. Tapi kali ini tidak ada, rumahnya juga tampak sepi dan lenggang. "Ara!" panggil Arka. "Ara ... Arafah!" sekali lagi Arka memanggil Arafah tapi tidak ada sahutan sama sekali dari gadis itu. Arka mencoba untuk menenangkan hatinya. Berpikir positif kalau mungkin saja sekarang Arafah sedang berada di kamarnya atau di kamar mandi. Dia berjalan menuju kamarnya masih dengan perasaan cemas di hatinya. Ini sudah kali keempat jam setelah kepulangan Arka dan selama empat jam juga Arafah belum keluar dari kamarnya. Tidak menyiapkan makan malam ataupun duduk bersantai di ruang keluarga. Arka berdiri di depan pintu kamar Arafah. Tangannya mengetuk pintu kamar gadis itu. Tapi sepuluh menit berlalu pintu itu belum juga terbuka. "Ara! Kamu di dalam?"teriak Arka khawatir. Karena merasa sangat khawatir, dengan terpaksa Arka membuka pintu kamar Arafah yang kebetulan tidak terkunci sama sekali. Keningnya berkerut tatkala ruangan itu kosong tidak berpenghuni. Dengan kecemasan yang sangat, Arka berjalan masuk. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar mandi. Siapa tahu gadis itu sedang berada di sana. Tidak ada Arafah di dalam sana, lalu Arka membuka lemari Arafah. Semua bajunya masih ada, lengkap dengan flat shoes usang kesayangan gadis itu. Jika semua barang-barang Arafah masih ada. Berarti gadis itu tidak pergi ataupun kabur. Kalau begitu sekarang Arafah berada di mana, Arka sudah berusaha untuk mencari keberadaannya di rumah. Tapi tidak ada. Terlebih lagi teleponnya tidak diangkat sama sekali. "Kamu ke mana, Ara?"desah Arka. Sekali lagi Arka mencoba untuk menghubungi ponsel Arafah, lagi, lagi teleponnya tidak diangkat. Arka terdiam, pupil matanya membesar ketika instingnya mengatakan kalau anak buah Hemmy telah menemukan keberadaan Arafah. "Arrgghh, sial." Umpatnya lalu berlari ke luar rumah dan menghidupkan mesin mobilnya untuk mencari Arafah. Siapa tahu gadis itu sedang berjalan-jalan di dekat komplek perumahan. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam tapi Arka masih berada dalam mobil. Fokus mencari keberadaan Arafah yang sampai saat ini belum dia temukan, dia sudah bertanya pada orang-orang tentang kepergian Arafah. Tapi tak satu pun dari mereka yang melihatnya. Arka tidak menyerah mencari keberadaan Arafah. Dengan cepat dia mendial nomor Noah dan menyuruh lelaki itu untuk membantunya mencari keberadaan Arafah, tidak peduli jika sekarang Noah sedang bertugas ataupun tidak. *** Di sebuah klub ternama di bilangan Jakarta. Terlihat orang-orang sedang berkumpul di lantai tempat mereka bisa menggoyangkan tubuh dan melepas kepenatan yang mereka rasakan setelah bekerja seharian. Mereka tampak bebas, liar dan b*******h. Terlihat sangat jelas dengan banyaknya pasangan mabuk yang sedang b******u atau sebagainya di lantai dansa. Di lain tempat, dua orang lelaki dengan ketampanan di atas rata-rata yang membuat para kaum Hawa terbius karenanya sedang duduk di kursi bar dengan masing-masing segelas wine di hadapan mereka. Mata mereka tampak fokus meneliti setiap tempat yang sudah biasa mereka kunjungi, mengabaikan deringan telepon yang memang dia abaikan sedari tadi. "Gue dengar lo dapat tugas ke Jepang." Ujar salah satu dari mereka memulai obrolan. "He-em." Lalu lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah pria di sampingnya. "Lo terima?"tanyany n lo mengabaikan tugas?" bahunya terangkat. "Yang gue denger kalau tugasnya enggak berat-berat amat." Senyuman jenaka terukir di bibirnya. "Ahh, sekalian liburan dan cari jodoh. Saudara lo aja udah dapet, masa lo enggak, Noah." Noah menghela napas berat. Merasa lelah untuk membicarakan tugas yang jelas-jelas tidak ingin dia ambil. Walaupun begitu hatinya mengatakan kalau dia harus menerima tugas itu. "Entahlah, gue pikir-pikir dulu." Pria di sebelah Noah adalah Restu, dia adalah partner sekaligus sahabat baik Noah selama lelaki itu bertugas. Seperti sekarang, Restu sedang menemani Noah—lebih tepatnya Restu meminta Noah untuk membantunya—menyelidiki dan menangkap seorang lelaki yang diincar oleh klien mereka. "Targetnya sudah ketemu?" Noah mengangkat kedua alisnya sebagai jawabannnya. Matanya mengarah pada sosok lelaki bertubuh gempal yang sedang dikelilingi oleh para wanita seksi. Restu menyeringai lebar sembari meneguk winenya. "Wow ... hebat juga tuh orang." Puji Restu takjub akan banyaknya wanita yang mendekati targetnya. "Dengan uang, orang-orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan." Sahut Noah tenang dengan mata fokus menatap targetnya malam ini. 'Aku dengar malam ini, Madam Helena punya gadis baru.' Ucap seseorang masuk ke dalam pikiran Noah. 'Cantik, mulus, perawan lagi. Tapi sayang dia sudah dibeli mahal oleh seseorang, katanya sih CEO besar.' Sahut lawan bicara yang lagi-lagi masuk ke dalam pikiran Noah. Mengernyit samar, Noah mengalihkan perhatiannya pada dua lelaki yang sedang menikmati minumannya di pojok klub. Entah mengapa Noah penasaran dengan gadis yang dibicarakan oleh kedua lelaki itu. 'Sayang sekali. Tapi ... yang aku dengar kalau gadis itu dibawa oleh Hemmy, katanya anak angkatnya.' 'Kejam juga dia. Anak angkatnya yang mana? Viona?' 'Bukan, kau tidak salah namanya ... Arafah ...." Kali ini Noah benar-benar terdiam. Matanya memandang lurus ke depan, berusaha untuk mencari tahu kalau gadis yang dimaksud oleh dua lelaki itu adalah Arafah. Arafah–nya Arka, Cinderella–nya Arka. "Sial!" umpat Noah kesal. Segera saja Noah mengambil ponselnya dan menjawab telepon Arka. "Arka, temui gue di klub biasa." Pandagan Noah teralih pada Restu yang sedang mengamatinya. "Sorry, gue nggak bisa bantu lo sekarang." "Kenapa?" "Ada sesuatu yang harus gue urus. Oh iya, jika udah beres tinggal telepon gue." Restu menganggukkan kepalanya mengerti. Walaupun dia tidak tahu apa yang menyebabkan sahabatnya sepanik itu. Karena biasanya Noah paling pintar menyembunyikan ekspresinya. *** "Dari mana saja kau selama ini, hah?!" tanya seseorang lalu menampar wajah Arafah dengan sangat keras. Tuan Hemmy mencengkram rahang Arafah kuat hingga gadis itu meringis karenanya. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam tubuh, siap meremukan dan membakar Arafah saat itu juga. "Beraninya kau pergi dariku?!"sekali lagi Tuan Hemmy menampar Arafah lalu tersenyum mengejek. "Tapi, selamanya kau tidak akan bisa pergi dariku. Sejauh kau berlari, saat itulah aku akan menemukanmu." Arafah hanya diam. Harusnya dari awal dia harus sadar kalau dia tidak akan pernah bisa lolos dari Tuan Hemmy. Lelaki itu terlalu membelenggunya, merantainya dalam kepedihan hidup. Sekarang tidak ada yang bisa menolongnya, dia sudah tertangkap. Sebentar lagi hidupnya akan berubah. Setelah malam ini, Arka dan Noah akan jijik padanya. "Bersikaplah dengan baik! Sebentar lagi Tuan kaya itu akan menemuimu. Jangan buat dia kecewa!" perintah Tuan Hemmy lalu pergi ke luar meninggalkan Arafah sendirian di dalam kamar. Arafah merasakan dadanya begitu sesak, wajahnya memerah, menandakan kalau sebentar lagi air mata turun dari mata cokelat indahnya. Dia frustrasi, bagaimana bisa Tuan Hemmy menemukannya. Bagaimana bisa Doni mengetahui tempat tinggal Arka? Dan, kenapa Tuan Hemmy begitu tega menjualnya pada lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia takut, takut jika lelaki itu akan menyakitinya, mengejeknya. Tidak lama kemudian terdengar suara decitan pintu. Sontak, Arafah mendongakan kepalanya, buru-buru dia mengusap air matanya dan memasang wajah tenang, walau itu tidak berhasil. Seorang lelaki berjalan masuk ke dalam, langkahnya begitu anggun dan pelan. Mata hitamnya menatap Arafah, senyuman manis hadir di wajah tampannya. Arafah terdiam menatap lelaki tampan yang ada di hadapannya. Wajah lelaki itu terasa familier, walaupun pencahayaan di ruangan ini remang tapi Arafah bisa melihat dengan jelas kalau lelaki itu mempunyai mata hitam kelam yang sangat tajam. Persis seperti milik seseorang yang dikenalnya. Arafah mencoba mengingat siapa orang yang ada di hadapannya. Kemudian matanya terbelalak ketika menyadari kalau perawakan serta mata hitam tajam itu milik .... ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN