Part 13

1422 Kata
"Namanya Arafah Adhelia ... dan dia ..." gumam Noah menyebutkan nama gadis itu. "Arafah?" ulang Arka. "Lalu?" Noah menyingkirkan tangannya dari kening Arafah lalu tersenyum menggelengkan kepalanya. "Bentar gue cari di google dulu," Rahang Arka otomatis terbuka. "Kalau gitu tadi ngapain lo pegang kening Arafah, pake cara sok-sok–an jadi cenayang." Gerutu Arka kesal. Noah nyengir lebar. "Hehe, habisnya wajah Arafah mulus, lembut deh. Jadinya pengen nyentuh terus." "NOAH. ELO." Tekan Arka menahan emosinya. Bukan Noah namanya jika terpengaruh dengan amarah saudaranya. Dia lebih memilih menyingkir dari tempatnya dan mengambil laptop milik Arka yang kebetulan tidak berada jauh darinya. Dia hanya membuka laptop tersebut lalu menatapnya dengan kening berkerut. "Kenapa lagi?" tanya Arka kesal karena sedari tadi Noah hanya diam dengan mata memandang Arafah. Jari-jarinya mengusap dagunya lalu menatap Arka seolah yakin dengan keputusan yang diambilnya. Kepalanya mengangguk-angguk, membuat Arka kesal melihatnya. "Setelah dipikir-pikir, mending gue pake cara manual saja deh." Kening Arka berkerut tak mengerti. "Maksud lo apa? Jangan ribet deh!" Noah menutup laptopnya dan berjalan ke arah Arafah, kali ini dia memegang pergelangan tangan Arafah. Membaca pikiran dan impian Arafah sekarang. Arka hendak berjalan menghampiri Noah dan menyingkirkan tangan saudaranya itu dari Arafah. Tapi dia segera mengurungkan niatnya ketika melihat wajah serius Noah. Dia ingin menyangkal lelaki itu karena bisa saja Noah sedang memanfaatkan keadaan untuk menyentuh Cinderella–nya. Tapi dia lebih memilih diam menunggu penjelasan Noah. "Gue tahu lo mulai suka sama Ara." Gumam Noah tanpa memandang saudaranya. Arka mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Sebelum gue menjelaskan semuanya sama lo, apa lo bakal nerima Ara apapun yang terjadi, apapun kekurangan yang dimiliki olehnya?" Lagi-lagi Arka semakin bingung dengan pertanyaan aneh Noah. "Apa sih yang mau lo jelasin? Jangan bertele-tele deh." "Gue enggak bakalan jelasin apapun sama lo sebelum lo jawab pertanyaan gue." Noah menelan salivanya lalu bertanya, "sekali lagi gue tanya sama lo, apa lo akan nerima Arafah? Apapun keadaannya, kekurangan yang dimilikinya? Jika memang lo enggak nerima, maka malam ini juga gue bawa Ara ke apartemen gue." Arka diam, mata hijaunya menatap Noah lalu mengangguk setuju. Dia tidak akan mempedulikan masalalu ataupun kekurangan Arafah. Dia tidak keberatan sama sekali. Noah menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan pelan. "Orang tuanya sudah meninggal sejak dia berusia tujuh tahun. Selama beberapa bulan Ara tinggal di Panti Asuhan hingga Hemmy dan Farah—paman dan bibi Ara—datang lalu membawa Ara ke rumah mereka. "Masa kecilnya cukup menyedihkan, Ara diperlakukan buruk oleh orang tua angkatnya. Dia dicaci, dihina, dipukul, hingga membuat Ara stres dan positif mengidap penyakit Skizofrenia." Arka tahu apa itu Skizofrenia. Salah satu penyakit jiwa di mana penderitanya lebih banyak menghayal dan cenderung terkesan dingin seolah menutup diri. Banyak orang yang menganggap kalau penderita Skizofrenia adalah orang gila. Mata hijaunya menatap Arafah yang terbaring lemah. Dia mengerti sekarang kenapa bodyguard itu menganggap Arafah aneh. Karena gadis itu berbeda. "Saat Hemmy dan Farah tahu kalau Ara itu aneh, mereka mengusirnya saat ... hujan deras ..." Ada nada sedih saat mengatakan hal itu. Mata hitam Noah tampak menerawang seolah sedang mengingat masalalunya yang menyedihkan. "Kenapa tidak ada orang yang menolongnya?"tanya Arka geram. Noah tidak menjawab pertanyaan Arka, dia malah memikirkan pertanyaan yang diajukan oleh saudaranya. Dulu juga tidak ada orang yang mau menolongnya saat dia diusir dulu. "Karena Hemmy mengancam akan membunuh mereka dan Ara." Jawab Noah. "Dia sendirian di jalanan, dia menangis, dia kepanasan. Hingga akhirnya dia bertemu dengan Popy—gadis yang berasal dari panti asuhan—dia tidak tega melihat Ara yang saat itu sedang menangis, dia mengajak Ara ke panti, dan akhirnya menemukan penolongnya." Noah kembali terdiam, sama seperti dirinya yang ditolong oleh seorang lelaki yang sampai sekarang tidak pernah dilupakannya. "Di sana, Ara diperlakukan dengan sangat baik, di sana juga Ara merasakan indahnya sebuah keluarga. Yang perlahan dapat menyembuhkan penyakitnya. Tapi ..." "Apa yang terjadi?"desak Arka kesal karena Noah memotong ceritanya. "Sabar dong, Al! Tenggorokan gue kering, haus nih, bawain gue minum dong." "Elo bisa sendiri, ngapain nyuruh." Noah mencebik. "Caelah, heh dari tadi gue bercerita buat lo, dan sebagai imbalannya bawain gue minum." "Enggak. Sendiri." "Ya udah, kalau enggak mau, enggak lanjut cerita." "Isshh, lo ..." Arka beranjak ke luar dari kamar, berniat untuk membawakan air putih untuk Noah. Sementara Arka pergi, Noah menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. Matanya tak pernah lepas memandangi Arafah, ada setitik luka di matanya ketika menceritakan penderitaan Arafah yang tak jauh berbeda dengannya. "Nih!" Arka menyodorkan gelas yang berisi minuman. "Enggak sekalian bawain cemilan?"goda Noah yang langsung mendapat jitakan di kepalanya. "Caelah, jangan pake tabok kepala gue juga kali." Keluhnya. "Makanya jangan bercanda." "Hehe," cengir Noah. "Hemmy datang kembali." Ujar Noah melanjutkan ceritanya. "Dia tertarik pada Ara karena Ara telah sembuh dari penyakitnya serta kecantikannya yang menurutnya bisa menghasilkan banyak uang." "Maksud lo, Ara dijual sama Hemmy?" Noah mengangguk. "Ya, dia menarik paksa Ara ke rumah mereka dan menawarkan beberapa orang buat membeli tubuh Ara. Ada banyak orang yang membelinya, tapi Ara selalu lolos dari rencana Hemmy. Dia hanya tidak ingin menjadi wanita ... kotor."     Lalu ingatan Arka mengembara pada perjumpaan pertama mereka. Saat itu Arafah tampak ketakutan, dikejar oleh seseorang. Ternyata saat itu Hemmy hendak menjualnya, tapi Arafah segera kabur dari kejaran pengawal Hemmy. Dan malam ini juga terjadi untuk kesekian kalinya. "Tadi malam Hemmy telah berhasil membawa Arafah ke klub, setelah sebelumnya didandani selagi Ara tak sadarkan diri. Tapi, Ara keburu sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, lalu kabur dan nabrak lo lagi." Noah menggeram pelan, lalu dia bertanya, "Jadi apa keputusan lo? Lo masih tetap menerima Ara walau dia mempunyai banyak kekurangan?" Arka tahu kalau pertanyaan terakhir Noah mengandung suatu hal yang tidak bisa dijawabnya untuk sekarang. "Gue tetap pada keputusan gue. Sebisa mungkin gue bakal melindungi Ara dari kejaran anak buah Hemmy, gue juga akan menerima Ara apa adanya. Tapi ..." "Gue ngerti perasaan lo, Al. Sangat susah melupakan masa lalu dan cinta pertama lo. Tapi gue harap lo segera sadar dengan perasaan lo, sebelum semuanya terlambat." Noah mengakhiri ceritanya dengan ikut berbaring di samping Arafah. Tangannya memeluk erat gadis yang sedang tertidur di sampingnya. "Apa yang lo lakuin? Turun!" perintah Arka ketika melihat apa yang dilakukan oleh saudaranya. Noah menggerutu. "Isshh, apaan sih lo? Gue mau tidur, mumpung ada yang nemenin, jarang-jarang 'kan gue tidur sama cewek cantik." "Itu mah alesan lo aja. Cepat turun, lo enggak boleh tidur sama Ara." "Ahh, Arka, gue bosen tidur bareng lo mulu. Nanti disangka homo sama Ara, enggak mau." "Heh, memangnya gue juga enggak bosen tidur bareng lelaki aneh kayak lo. Sudah sana pergi." Malam itu Arka dan Noah terpaksa tidur bersama karena kamar Arka ditempati oleh Arafah, sementara kamar yang lain belum dibereskan oleh mereka. *** Sampai sekarang Arafah tidak tahu kenapa Arka menciumnya semalam. Sepulang dari pesta itu sikap Arka seperti biasa tidak ada yang berubah, tapi itu membuat Arafah terasa canggung jika berdekatan dengan Arka. Apalagi Bunda Reina dan Ayah Aidan sudah pulang, membuat Arafah semakin tidak nyaman. Seringkali Arafah berpikir kalau ciuman Arka itu membuktikan kalau lelaki itu menyukainya. Tapi itu tidak mungkin. Arka mencintai Bintang, terlebih lagi perasaan Arka sekarang sudah terbalas oleh Bintang. Terlebih levelnya berada jauh di bawah Arka. Dia hanya gadis miskin tanpa orangtua yang menumpang di rumah Arka. Dan nyalinya semakin menciut jika Arka mengetahui penyakit jiwa yang pernah dideritanya lima tahun lalu. Pasti lelaki itu akan berpikir ulang dan menjauhinya. Arafah menyandarkan punggungnya di sandaran sofa dengan mata yang menatap nyalang ke atas langit-langit. Keadaan rumah sepi karena hampir semua penghuninya telah pergi bekerja dari dua jam yang lalu. Bibirnya mengerucut, berpikir, sebaiknya dia harus mencari kerja untuk mengusir kebosanan yang melandanya sejak tinggal di rumah. Lalu pandangannya teralih pada benda pipih berwarna putih pemberian Arka. Kemarin lelaki itu memberikannya sebuah ponsel, katanya agar lebih mudah dihubungi jika terjadi sesuatu. Arafah sedikit merengut ketika melihat nomor yang disimpan oleh Arka. Hanya ada nomor Arka saja. Lelaki itu tidak membiarkan Noah ataupun Bunda Reina memasukan nomor mereka. Suara bel di depan pintu mengagetkan Arafah. Dia mengerutkan keningnya, merasa ada yang aneh. Tidak biasanya ada orang yang bertamu di siang bolong seperti ini. Terlebih lagi di rumah ini hanya ada Arafah seorang. Kalaupun orang itu ingin bertamu dengan Arka ataupun Noah, pasti akan langsung bertemu di kantor mereka. "Siapa?"gumam Arafah. Perlahan gadis itu beranjak dari duduknya, sambil bertanya-tanya siapa gerangan yang bertamu ke rumah Arka. Memasukan terlebih dulu ponselnya ke dalam saku lalu membuka pintu. "Ma–af ..." Arafah membulatkan matanya ketika melihat siapa orang yang bertamu ke rumah Arka. Dia menyeringai lebar. "Senang bertemu denganmu lagi Arafah Adhelia." Yang diketahui Arafah saat itu hanyalah kegelapan yang melandanya. ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN